26 April 2009

BENTARA: Ketika Gereja “Dijinakkan”

Kontroversi Tambang di Flores-Lembata

Oleh Frans Anggal

“Banyak upaya investor agar usaha mereka berjalan. Di antaranya dengan royal memberikan sumbangan, termasuk ke Gereja. Bagi saya, ini bagian dari upaya menjinakkan Gereja dalam menyikapi masalah pertambangan.”

Kata-kata ini dilontarkan George Junus Aditjondro, pembicara pada pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Kata-katanya bikin merah kuping Gereja. Tapi, ini harus dikatakan. Sebagai warga Gereja, ia berhak angkat bicara. Ia pun bicara pada saatnya, sebelum semuanya terlambat.

Aditjondro tidak mengada-ada. Tengoklah Freeport di Papua. Menambang tambaga dan emas sejak 1967 dan menjadi salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia. Namun, ia juga pemerkosa salah satu ekosistem dunia paling perawan dan hanya memberi sedikit berkah bagi penduduk sekitar.

Ketika kontroversi merebak, Freeport kucurkan jutaan dolar untuk iklan di media massa terkemuka Amerika dan Indonesia. Ia memperbaiki citranya yang tercoreng. Di Indonesia, ia terbitkan majalahnya sendiri, The Nation. Ia punya banyak teman di tempat tinggi. Juga di kalangan akademisi. Ia murah hati memberi jutaan dolar untuk berbagai universitas. Dengan ini, posisisnya tak tergoyahkan. Tak mengherankan, Tom Beanal, kepala suku Amungme di Papua, sampai bilang, di mata Freeport segala bentuk protes dan perlawanan masyarakat lokal tak lebih daripada “hiburan” belaka.

Seandainya Freeport masuk Flores-Lembata, ia akan pakai cara yang sama. Merangkul bupati. Sebab, di era otda, bupati punya kewenangan besar di bidang pertambangan. Merangkul uskup. Sebab, wilayah gerejawi ini mayoritas Katolik, dan Gereja masih dipandang sebagai benteng moral. Sekali jebol, selesai.

Kiita harus akui, gejala ini sudah tampak. “Bentara” Flores Pos edisi Kamis 15 November 2007 pernah menyorot, dalam kontroversi rencana tambang emas Lembata, Gereja lokal justru tidak memiliki posisi jelas. Ini membawa dampak serius. Tidak hanya bingung, umat kehilangan pegangan bersama. Kegamangan seperti ini memudahkan jalan masuk bagi investor yang sebelumnya sudah berbulan madu dengan penguasa.

Seorang umat, Yohanes Kia Nunang, pernah kirim SMS. “Saya seorang demonstran yang pernah bersama-sama dengan rakyat Kedang dan Leragere menolak tambang. Tapi saya diintimidasi oleh penguasa Lembata dan preman-preman bayarannya, maka saya pernah hijrah ke Paroki Hokeng, tinggal dengan Pater Pit Nong SVD.” Kisahnya hanya cuplikan kecil dari cerita panjang Flores-Lembata ketika Gereja sudah mulai dijinakkan.

Keuskupan Ruteng sedang menunggu uskup baru. Alangkah bagusnya kalau yang baru bukan hanya uskupnya, tapi juga posisi Gerejanya. Tegas bersikap dalam setiap tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM.

“Bentara” FLORES POS, Senin 27 April 2009


SENGGOL

KPU NTT jamin, DPT pilpres tidak akan bermasalah.
Berjanji saja sudah satu masalah.

Dana kampanye parpol akan diaudit tujuh akuntan.
Siapa mengaudit pengaudit?

Minum air kotor, warga Liang Bua di Manggarai (lokasi Homo floresiensis) sering menderita diare.
Cocoknya: Homo diaresiensis.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Diakonia Palang Pintu

Mencegah Jatuhnya Korban Pembangunan

Oleh Frans Anggal

George Junus Aditjondro punya usulan dalam pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Menghadapi dampak industri pertambangan dan pembalakan yang hancurkan lingkungan dan rugikan rakyat kecil, ia anjurkan Gereja kembangkan “diakonia palang pintu”. Bukan sekadar “diakonia palang merah”. Kalau “diakonia palang merah” hanya mengobati luka-luka pembangunan, “diakonia palang pintu” mencegah jatuhnya korban.

Usulan Aditjondro bukan hal baru. Ia hanya mengingatkan tugas Gereja. Diakonia atau pelayanan merupakan tugas Gereja secara menyeluruh selaku tubuh Kristus. Pelayanan tidak hanya kepada sesama umat, tetapi juga kepada umat lain, bahkan kepada seluruh ciptaan. Diakonia mencakup usaha menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. “Diakonia palang pintu” hanyalah penamaan baru atas satu dari tiga jenis diakonia Gereja.

Ada diakonia karitatif alias diakonia belas kasihan. Pelayanan cuma-cuma kepada yang tak mampu.Tidak untuk membawanya menuju perubahan, tetapi sekadar meringankan deritanya. Analoginya: memberi ikan kepada orang lapar. Ikan habis, lapar lagi, dan harus dikasih lagi. Sampai kapan? Jika karitatif melulu, diakonia hanya melahirkan ketergantungan.

Yang dilayani harus berubah. Ia harus dimampukan dan diberdayakan. Misalnya melalui penyuluhan atau bantuan modal kerja. Analoginya: memberi kail dan keterampilan mengail, bukan lagi memberi ikan. Ini diakonia reformatif.

Dalam kenyataan, beri ikan dan kail saja tidak lagi cukup. Peningkatan modal dan teknologi sering belum mampu menjawab masalah yang dihadapi. Analoginya: ada kail dan mau pergi mengail, tapi sungainya sudah dikuasai orang lain. Pengail diusir. Ke sungai lain, sama juga. Semua ikan mati tercemar oleh limbah pabrik yang dibangun di atas sungai. Bagaimana mencegah atau mengusir si penyerobot demi tetap hidupnya si pengail dan tetap lestarinya sungai, itulah diakonia transformatif.

Dalam diakonia transformatif, Aditjondro menekankan perlunya mencegah dampak buruk pembangunan. Gereja harus berjuang juga di aras ini. Jangan tunggu korban jatuh baru tolong. “Diakonia palang merah” atau diakonia karitatif tidaklah cukup. Perlu dan sudah saatnya “diakonia palang pintu”.

Perjuangan JPIC OFM dan JPIC SVD mendampingi masyarakat tolak tambang emas di Lembata adalah contoh yang tepat. Tepat tindakannya dan tepat waktunya. Mencegah. Sedangkan dalam tolak tambang mangan di Manggarai, tepat tindakan tapi tidak tepat waktu. Terlambat. Tak mengapa, daripada tidak sama sekali. Kita bangga, Gereja seperti ini.

Yang mengecewakan, jika hierarki Gereja mengabaikan “diakonia palang pintu” karena keenakan dengan “diakonia palang sejajar”. Sejajar dengan penguasa, sejajar dengan pengusaha, merugikan rakyat.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 April 2009


SENGGOL

Kasus dana kesehatan DPRD Manggarai, ketua dewan dituntut empat tahun penjara.
Urus kesehatan, jadi pesakitan.

DPRD Ende minta bupati kembalikan bekas sekolah Cina.
Dikembalikan, malah berebutan.

Di Sikka, KPPS perempuan curang, caleg perempuan mengadu ke panwas.
Diberi kuota, malah baku makan.

Om Toki

Selengkapnya...