30 April 2009

BENTARA: Mogok Makan di Unipa

Ketika Rektor Bekukan Senat dan Skors Mahasiswa

Oleh Frans Anggal

Mahasiswa Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere mogok makan di depan rektorat. Mereka tolak keputusan Rektor P Wilhelm Djulei SVD yang bekukan pengurus senat perguruan tinggi dan menskors 3 mahasiswa selama 1 tahun.

Awalnya, biaya kuliah kerja nyata (KKN) Rp145 juta. Seluruhnya dibebankan pada 120 peserta KKN. Tiap peserta wajib setor Rp700 ribu. Senat protes. Terlalu mahal. Peruntukannya pun tidak wajar. Biaya yang seharusnya tanggungan yayasan, dibebankan juga pada mahasiswa, seperti honor panitia dan belanja alat tulis kantor. Persoalan ini tak terselesaikan dengan baik oleh panitia. Di bawah senat, mahasiswa pun gelar orasi di halaman kampus. Menanggapi aksi, rektor terbitkan SK tentang pedoman pelaksanaan organisasi kemahasiswaan. Senat nilai SK ini langgar aturan lebih tinggi dan matikan demokrasi kampus. SK mereka coret. Akibatnya, ketua senat dan dua rekannya diskors. Rektor juga bekukan organisasi senat. Sebagai protes atas kesewenang-wenangan ini, mereka mogok makan.

Mogok makan adalah sebuah cara perlawanan tanpa kekerasan. Awalnya, di Irlandia, mogok makan seringkali dilakukan di depan pintu rumah si pelanggar. Membiarkan seseorang mati di depan rumah karena kesalahan yang dituduhkan dianggap sebagai sesuatu yang mencemarkan si pemilik rumah.

Mahatma Gandi pakai cara ini dalam gerakan kemerdekaan India melawan Inggris. Efektif. Yang baru saja dan berhasil, mogok makan 5 hari Presiden Bolivia Evo Morales. Ia baru berhenti setelah parlemen Bolivia menyetujui UU yang memastikan pemilu 6 Desember 2009, sekaligus mengizinkan presiden pertama suku Indian ini bisa ikuti kembali.

Akankah mogok makan para mahasiswa Unipa efektif seperti Gandhi dan berhasil seperti Morales? Tak tahulah. Mogoknya Gandi efektif karena dia tokoh berpengaruh. Mogoknya Morales berhasil karena dia presiden. Yang mereka hadapi, penjajah Inggris dan parlemen Bolivia. Di Unipa? Mereka cuma mahasiswa. Lagi pula, ini di Indonesia. Mau mati, mati saja. Pancasila sudah jadi Pencak Silat. Demokrasi sudah jadi demo-crazy. Kekuatan logika (intellectual power) sudah diganti logika kekuatan (political power).

Jadi? Jawabannya bergantung pada rektor dan ketua yayasan. Yang jelas, kita prihatin. Sejak berdiri 2004, baru kali ini Unipa lakukan KKN. Eh, langsung bermasalah. Dan, awal masalah itu adalah uang. Buruk. Bukan karena uang tidak penting. Yang jadi soal: mengapa gara-gara uang KKN, masalah ikutannya begitu panjang dan dramatis. Ini hanya memperkuat kesan, dunia perguruan tinggi semakin mengabdi pada kepentingan pasar. Kapitalisasi pendidikan menjadi begitu mutlak. Semua ruangnya dijadikan komoditas untuk menumpuk modal. Tak heran, pendidikan menjadi begitu mahal.

Kita berharap, rektor dan ketua yayasan bijaksana. Membiarkan seseorang mati di depan rumah hanya akan mencemarkan si pemilik rumah.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 30 April 2009


SENGGOL

Di Manggarai, ibu-ibu protes di kantor pos karena tidak terima BLT.
Sabar ya bu, tunggu dekat pilpres.

Menurut Polres Sikka, dua buronan pencuri masih sembunyi di Bukit Kopong.
Itu hari, katanya, sudah lari ke Ende.

Kata Chatib Basri, birokrasi berbelit belum hilang di Indonesia.
Sudah berbelit, gemar pula berkelit.

Om Toki

Selengkapnya...

29 April 2009

BENTARA: Ngawurnya Bupati Pranda

Beberapa Pernyataan yang Memojokkan Gereja

Oleh Frans Anggal

Bupati Mabar Fidelis Pranda melontarkan pernyataan keras terhadap Gereja dalam seminar tambang di Labuan Bajo, Sabtu 25 April 2009. Tentang pernyataan ini, Flores Pos dan Pos Kupang hanya menyinggungnya sedikit. Yang lengkap justru beredar via SMS. Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr meneruskan SMS dari Rm Robert Pelita Pr di Labuan Bajo.

“Ini pernyataan-pernyataan Bupati Pranda yang bernada memojokkan Gereja kemarin dalam seminar. (1) Gereja jangan menjadi provokatur di tengah masyarakat. Kalau masyarakat sudah setuju kehadiran tambang, untuk apalagi kamu masuk ke sana? Jangan mengadu domba masyarakat. (2) Cincin nikah, cincin uskup, dan piala misa itu dari mana? (3) Mengapa pembalakan liar Gereja tidak omong, tapi tambang ngotot sekali? (4) Kita urus saja bidang kita masing-masing. Gereja jangan campur tangan lagi soal tambang. (5) Apa itu JPIC? Sampai dia buat pelesetan menjadi Gipi Asi, dengan nada sinis. (6) Dia menyapa Pater Simon sebagai Saudara. Tapi diawali dengan nada sinis juga. ‘Saya panggil Pater atau Pa moderator ini. Saya panggil Saudara saja. Karena saya tahu pastor itu hanya urus Gereja.’ (7) Yang menolak tambang itu anti-Pancasila dan UUD ’45.”

Bila ketujuh pernyataan Pranda dikritisi, kolom ini terlalu pendek. Ringkas saja, kata-katanya memang keras. Keras, karena memojokkan, bukan karena logis dan benarnya. Ia bernyali mengkritik Gereja dan para imam, sayangnya dengan bekal pengetahuan yang parah. Akibatnya: tahu sedikit, omong banyak. Tahu tidak betul, omong ngawur.

Dia tidak sendirian. Di Ende dan Lembata ada juga. Tahun 2008, ketika JPIC SVD dan Keuskupan Agung Ende mendampingi 11 pemilik tanah yang dikorbankan dalam ganti rugi tanah PLTU Ropa, Camat Maurole Gregorius Gadi mencap para imam provokatur, menghasut rakyat melawan pemerintah. Di Lembata, Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri juga menuduh para imam provokatur karena memihak masyarakat menolak tambang emas.

Tanggapan para imam? Singkat saja. Ini misi kehadiran Gereja yang tidak bisa ditawar-tawar. Bagi imam Katolik, tak ada pelayanan kepada Allah tanpa kepedulian terhadap sesama dan alam ciptaan. Tanggapan ini pun terasa cukup untuk dialamatkan kepada Bupati Pranda.

Seorang bupati cerdas, Katolik, yang tahu hakikat, tugas, dan fungsi Gereja serta kaum tertahbis, dan bersih diri, tak mungkin omong ngawur. Kalau sampai ngawur, mungkin ada apa-apanya. Lazimnya, pemojokan terhadap Gereja dan cap provokatur terhadap para imam merupakan tanda kegelisahan kekuasaan menghadapi kebusukannya sendiri yang tengah terancam terbongkar kedoknya.

Untuk itu, Gereja dan para imam akan maju terus. Ini tugas perutusan. Bersuara lantang justru ketika semua orang memilih diam.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 April 2009


SENGGOL

Di Sikka, empat kantor pemerintah dibobol maling.
Satpam jadi satnyak (satuan nyenyak).

Para saksi minta hitung ulang, pleno KPU Lembata ricuh.
Ikrar pemilu damai dulu itu, di mana?

Di Ende, UN SMP/MTs hari pertama berjalan lancar.
Biasa, semuanya lancar, kecuali otak.

Om Toki

Selengkapnya...

28 April 2009

BENTARA: Lamalera Tolak Congkak

Di Balik Rencana Konservasi Ikan Paus

Oleh Frans Anggal

Masyarakat Lamalera, Lembata, menolak rencana pemerintah pusat menjadikan Laut Sawu Zona II satu-satunya kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus. Bila ini terlaksana, hancurlah ola nue, tradisi penangkapan ikan paus yang merupakan mata pencaharian satu-satunya masyarakat Lefo Lamalera yang diwariskan turun-temurun.

Yang hancur bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga seperangkat nilai adiluhung. Sudah berabad-abad, ola nue menyangga nilai-nilai budaya yang kemudian berjalin berkelindan dengan nilai-nilai kristiani sejak masuknya agama Katolik di Lembata melalui Lamalera 1886.

Penangkapan paus berlangsung enam bulan, Mei-Oktober. Awal dengan bulan Maria, akhir dengan bulan Maria. Selama enam bulan, Lamalera berkanjang dalam doa rosiario. Sebelum melaut, 27-29 April dibuat upacara adat. Persiapan lahir-batin dan rekonsiliasi. Pada 30 April, sore hari, misa mohon keselamatan bagi arwah semua orang yang meninggal di laut. Pada 1 Mei, misa mohon keselamatan bagi yang akan melaut. Baru keesokan harinya, 2 Mei, mulai melaut. Lima hari seminggu, Sabtu dan Minggu istirahat. Hasil tangkapan dibagikan kepada semua warga kampung, dengan mengutamakan para janda, yatim piatu, dan fakir miskin. Ini luar biasa!

Semua ini terancam punah oleh kebijakan konservasi. Di Indonesia, kebijakan ini mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Begitu terpusatnya, secara sistematis ia memperlemah posisi masyarakat dan meruntuhkan tatanan sosial masyarakat.

Konservasi di Indonsia tergila-gila pada sains. Atas nama sains, segala hal yang tidak berbasis ilmiah dicampakkan. Begitu mutlaknya sehingga semua yang disebut kearifan lokal dan pengetahuan tradisional ditendang buang. Lucunya, di Jepang, negara yang sainsnya begitu maju, sistem pengelolaan sumber daya pesisir berbasis masyarakat masih dipertahankan, berseiring dengan kegiatan perikanan modern. Jepang tidak ahistoris seperti Indonesia.

Konservasi di Indonesia sok ilmiah, akhirnya terjerumus ke "ortodoksi lingkungan" (environmental orthodoxy). Lihat, begitu terjadi kerusakan lingkungan, masyarakat lokal yang miskin yang dipersalahkan. Kalau populasi paus di Laut Sawu menurun, tradisi ola nue di Lamaleralah yang dituding.

Yang tidak dilihat, orang miskin justru sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya mengingat mereka bergantung penuh pada lingkungan itu. Mereka pun dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, asalkan tersedia rangsangan dan informasi yang memadai. Ini yang semestinya dilakukan pemerintah, bukan secara sepihak menetapkan wilayah konservasi lalu datang sebagai pembunuh.

Penolakan mayarakat Lamalera sangat bisa dimengerti. Pusat congkak, Lamalera tolak.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 April 2009



SENGGOL

Turut Berduka Cita atas Meninggalnya
Bpk Piet Alexander Tallo, Mantan Gubenur NTT
“Requiescat in Pace”

Om Toki

Selengkapnya...

27 April 2009

Pertemuan Rasisme PBB Sahkan Deklarasi Akhir

JENEWA (ANTARA)

Pertemuan PBB mengenai rasisme hari Selasa mensahkan deklarasi akhir terhadap rasisme, xenopobhia dan sikap tidak toleran, satu hari setelah pidato anti-Israel oleh presiden Iran memicu walk out massal.

"Nyonya-nyoya dan tuan-tuan, anda telah mengambil keputusan yang penting untuk mensahkan dokumen ini," pemimpin pertemuan Amos Wako mengatakan, melukiskan pensahan dokumen tersebut sebagai "hasil yang bersejarah".

Wako, jaksa agung Kenya, menambahkan bahwa langkah itu "menunjukkan bahwa orang dapat tetap terlibat secara konstruktif dan mencapai konsensus".

Beberapa utusan mengatakan pidato Ahmadinejad telah memperkuat ketetapan hati para utusan untuk mensahkan deklarasi itu secepat mungkin, dengan demikian memajukan pensahan itu ke Selasa, ketimbang seperti yang direncanakan Jumat.

"Kita tidak dapat membiarkan keputusan dan konsensus kita dihancurkan oleh kejadian atau ketidaktoleranan dan hasutan seperti yang kita saksikan kemarin," dubes Inggris Peter Gooderham mengatakan.

Presiden Iran Mahmoud Ahamdinejad, yang sebelumnya menyerukan Israel untuk dihapuskan dari peta, Senin mengkritik pembentukan "pemerintah yang sama sekali rasis di Palestina yang diduduki" pada 1948. Ia menyebut Israel sebagai "rezim yang sangat kejam dan rasis represif".

Pidatonya telah mendorong walk out oleh 23 utusan negara-negara Uni Eropa, dan kesibukan kutukan dari negara-negara Barat.*


Selengkapnya...

Realisasi Raskin 18, 22 Persen

Jumlah Rumah Tangga Miskin 577.640

Oleh Leonard Ritan

KUPANG (FLORES POS) -- Realisasi raskin periode Januari- 16 April 2009 baru sebanyak 18,22 persen atau 6.314ton dari target penyaluran untuk periode ini sebanyak 34.658 ton. Ada empat kabupaten yang belum merealisasikan penyaluran raskin yakni Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo dan Timor Tengah Selatan (TTS).

Demikian laporan Kepala Divisi Regional (Divre) Bulog NTT, S. Ariyanto pada acara launching raskin 2009 bertempat di lapangan Batuplat-Kota Kupang, Rabu (22/4).

Ia menjelaskan, pagu raskin untuk NTT tahun 2009 ditetapkan sebanyak 577.640 rumah tangga miskin (RTM) dengan jumlah beras sebanyak 103.975 ton. Bila dibandingkan dengan tahun 2008, terjadi penurunan jumlah RTM sebanyak 45.467 RTM atau 7,29 persen dari jumlah tahun 2008 sebanyak 623.107 rumah tangga sasaran (RTS). Dengan demikian, jumlah beras pun berkurang sebanyak 5.068 ton (4,46 persen) atau berkurang menjadi 103.975 ton dari jumlah tahun 2008 sebanyak 109.043 ton.

Walikota Kupang Daniel Adoe berharap program raskin dapat meringankan beban masyarakat terkait daya beli beras di pasar. Pemerintah pusat melalui pemerintah provinsi NTT diharapkan dapat meneruskan program raskin karena terbukti memiliki multiplier efek terhadap berbagai aspek pemberdayaan masyarakat.

Gubernur Frans Lebu Raya menyampaikan, bersamaan dengan launching raskin 2009, juga di-launching program bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan bencana alam tingkat provinsi NTT. Ketiga program itu merupakan wujud nyata kepedulian pemerintah dan rasa kemanusiaan yang utuh dari pemerintah terhadap masyarakat.

Menurutnya, pelaksanaan bantuan untuk ketiga program dimaksud bertujuan untuk membantu mengurangi sebagian beban pengeluaran RTS penerima dan sebagai bentuk kependulian terhadap korban bencana.

“Saya berharap ke depan jumlah RTM di NTT berkurang. Raskin hanya memenuhi sebagian dari beban masyarakat. BLT hanya membantu masyarakat untuk mengantisipasi tingginya harga beli pasar. BLT janganlah membuat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah,” pinta Lebu Raya.

Lebu Raya mengingatkan agar pelaksanaan ketiga program ini benar-benar tepat sasar dan tepat waktu. Yang berhak menerima adalah orang-orang yang pantas diberikan dengan memenuhi sejumlah kriteria yang berlaku. Jangan sampai, petugas dengan kewenangan yang dimiliki menyalahgunakan penyaluran raskin. Fakta menunjukkan, gara-gara raskin banyak kepala desa harus berurusan dengan hukum. Karena mereka membelokkan raskin ke tempat lain dan dijual guna mendapat keuntungan.

Lebu Raya menambahkan, subsidi pemerintah untuk program raskin sebesar Rp5.800/kg. Sedangkan yang dijual kepada masyarakat seharga Rp1.600/kg. Artinya, pemerintah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk melaksanakan program raskin.

Karena itu, dalam penerapannya harus benar-benar tepat sasaran. Diharapkan, pada saatnya terjadi pengurangan jumlah RTM di NTT. Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin di NTT sebanyak 27 persen dan tahun 2008 menurun menjadi 25,68 persen dari total penduduk NTT sebanyak 4 juta lebih.*

Selengkapnya...

DPRD Minta Bupati Kembalikan Bekas Sekolah China

Ahli Waris Tolak Kembalikan ke Yayasan

Oleh Anton Harus

ENDE (FLORES POS) -- Menindaklanjuti pertemuan antara ahli waris, pengurus Yayasan Hua Chiao, Pemda Ende, Dandim 1602 Ende, Senin (20/4), DPRD Ende menyurati Bupati Ende untuk segera kembali tanah bekas eks Sekolah China itu ke yayasan Hua Chiao.

Surat bernomor 105/170/A.12.481/IV/2009 ditandatangani Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ende, Ruben Resi.

Surat itu menyebutkan, masalah status tanah eks SMEA Negeri (sekolah China) yang terletak di Jalan Pasar, Keurahan Mbongawani, Kecamatan Ende Selatan dan selama ini menjadi polemik antara para pihak telah diupayakan untuk diselesaikan.

DPRD Ende, kata Ruben, telah menyurati Bupati Ende nomor 301/170/D.7.460/2005 tentang permohonan pengembalian tanah milik eks sekolah China. Memperhatikan surat Komandan Kodim 1602 Ende, nomor 13/175/VIII/2005 tanggal 9 Agustus 2005, perihal permohonan pengembalian tanah eks sekolah Hua Chiao Ende, di samping itu penegasan terhadap hal yang sama juga disampaikan oleh Komnas HAM melalui suratnya nomor J.4.U.M.08.10-652 tanggal 12 September 2006 tentang tanggapan atas pendapat Wakil Bupati Ende tentang eks sekolah China di Ende yang ditujukan kepada Bupati Ende.

Berdasarkan data dan fakta yang ada serta merujuk pada surat-surat tersebut, Dewan minta agar tanah eks sekolah China yang dimiliki oleh Pemda Ende cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende dengan gambar situasi nomor 43/1993 tanggal 24 Februari 1993 dan sertifikat nomor AG.730949 tanggal 27 September 1997, dipertimbangkan agar dikembalikan kepada Yayasan eks sekolah China (Hua Chiao) Ende.

Ahli Waris Tolak
Ahli Waris tanah eks sekolah Hua Chiao (sekolah China) Alex Joan Sine cs menolak tanah bekas sekolah China dikembalikan ke Yayasan. Alex Joan Sine mengatakan itu kepada Flores Pos, Kamis (23/4) di Ende.

Dia mengatakan, penolakan yang sama telah ia sampaikan saat pertemuan dengan Dewan. Karena Yaysan telah dibubarkan. Tanah eks sekolah China merupakan milik perorangan atau para ahli waris, bukan milik Yayasan. Sampai saat ini, para ahli waris masih memiliki bukti-bukti yang kuat sebagai pemilik yang sah atas tanah tersebut.

“Kami berharap pak bupati mau mempertimbangkan keberatan yang kami ajukan ini. Sebagai ahli waris kami keberatan jika tanah ini diserahkan ke yayasan. Kami minta kesediaan pemerintah dan Dewan untuk melihat kembali status kepemilikan tanah ini. Kami harap pak bupati tidak menyerahkan tanah ini terlalu cepat kepada yayasan,” kata Alex Joan Sine.

Pihaknya juga telah pula meminta bantuan PADMA Indonesia untuk mendampingi para ahli waris dalam penyelesaian kasus tanah ini. Alex Joan dan Maria Marselina Nona selaku ahli waris telah memberikan kuasa kepada PADMA Indonesia di Jakarta untuk mendampingi mereka.

Kepala divisi Advokasi PADMA Indonesia, Gabriel Goa, per telepon membenarkan pengakuan Alex Joan Sine cs.

“Kami telah menerima surat kuasa dari Alex Joan Sine dan Maria Marselina Nona. Kami akan melakukan upaya pendampingan hukum terhadap Alex Joan Sine cs. Saat ini kami telah mendapat jawaban dari Dirjen AHU Departemen Hukum dan HAM Abdul Bari Azed. Kami sedang melakukan penelusuran tentang keberadaan Yaysan Sekolah China di Ende. Kami berharap persoalan ini bisa diselesaikan dengan baik oleh Pemda dan DPRD Ende serta para pihak yang bersengketa. Harapan kami, tanah itu dikembalikan kepada mereka yang benar-benar berhak,” kata Gabriel Goa.

Selengkapnya...

Caleg Perempuan Mengadu ke Panwas

Pelanggaran pada Saat Pencentangan

Oleh Syarif Lamabelawa

MAUMERE (FLORES POS) -- Sejumlah calon anggota legislatif perempuan untuk DPRD Kabupaten Sikka mengadu ke Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu setempat, Kamis (23/4) terkait pelanggaran saat pencontrengan atau pencentangan di TPS 6 Natuweru, Desa Watugong, Kecamatan Alok Timur.

Di antaranya Maria Misraela, Getrudis Kaunang, Y.C. B.L. de Rosari, Prima Maria, dan Paskalia Labang Lameng. Sejumlah caleg laki-laki Blasius Seo, Eduardus Sareng, Sisco Bero, dan Abdul Muis ikut serta mendampingi mereka.

Maria Misraela, salah seorang caleg dari PSI ketika ditemui di Sekretariat Panwaslu Kabupaten Sikka menjelaskan, di TPS 6 Natuwera, Desa Watugong terjadi pengalihan hak suara pemilih oleh anggota KPPS.

Di TPS tersebut, banyak pemilih yang tidak bisa mencontreng sehingga mereka meminta bantuan Agnes, anggota KPPS. Namun Agnes justru tidak mencontreng nama yang diminta para pemilih.

“Ada empat pemilih yang minta bantuan untuk contreng saya di PSI , tapi bukan nama saya yang dicontreng. Anggota KPPS ini malah mencontreng nama I Made Griastuti Tirta di PKPB. Hal ini yang diprotes oleh para pemilih,” kata Misraela.

Dia menduga pengalihan pilihan politik pemilih pada saat pencontrengan ini dilatari oleh praktik politik uang (money politics).

Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Getrudis Kaunang menilai pengalihan ini sebagai tindakan mencoreng citra perempuan politik. “Kasus Watugong itu menunjukkan tindakan mmencoreng citra perempuan politik di kabupaten,” katanya.

Calon anggota DPRD Kabupaten Sikka dari PDIP, Blasius Seo berharap agar tatanan demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah ini tidak dirusak dengan cara-cara kotor seperti praktik politik uang. Lebih ironis lagi, yang merusak tatanan demokrasi itu adalah para politisi sndiri.

“Hapuslah anggapan bahwa rakyat bisa dibeli. Rakyat boleh susah tapi tidak boleh diukur dengan materi,” tandasnya.

Ketua Panwas Kabupaten Sikka, Alfon Gaudensius Sero menganggapi pengaduan para caleg perempuan ini mengatakan, pihaknya akan mengkaji pengaduan itu untuk diteruskan ke kepolisian.

“Dari aspek waktu, memang pengaduan ini sudah lewat waktu. Tapi kita tetap menghargainya untuk tetap dilanjutkan atau tidak ke kepolisian,” katanya.*


Selengkapnya...

Ketua DPRD Dituntut 4 Tahun Penjara

Kasus Dana Kesehatan DPRD

Oleh Christo Lawudin

RUTENG (FLORES POS)-- Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Ketua DPRD Manggarai John Ongge empat tahun penjara dalam kasus dana kesehatan DPRD Manggarai tahun 2007.

Dalam sidang Kamis (23/4), tidak banyak pengunjung sidang. Terlihat kalangan keluarga John Ongge. Penjagaan sidang cukup ketat.

Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Slamet Riyadi dengan anggotanya Desbertua Naibaho dan Agus Maksum. John Ongge didampingi penasihat hukum Gabriel Kou. JPU terdiri dari Emerensiana, Febrianti, dan Eka Nugraha dengan panitera pengganti Maksi Kabelen.

Dalam kasus yang sama ini, Kepala Askum AJB Bumiputra Perwakilan Kupang Abdulah Jafar hadir. Tetapi, begitu tiba di PN Ruteng, Jafar mendadak tensi tinggi sehingga dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil tahanan kejaksaan.

Persidangan berlangsung selama berjam-jam karena JPU membacakan naskah tuntutan setebal 250 halaman. JPU Maria Febriana dalam tuntutan menyatakan, terdakwa John Ongge secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan korupsi secara bersama-sama, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara seperti diatur dan diancam pidana penjara sesuai dengan Pasal 18 (1) UU No 31/1999 dan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 (1) KUHP dan pasal 64 (1) KUHP menyatakan, pidana terhadap terdakwa 4 tahun penjara.

”Terdakwa juga tetap berada dalam tahahan, membayar denda Rp200 juta, subsider 6 bulan kurungan. Terdakwa juga dihukum dengan membayar uang pengganti Rp11 juta. Jika terdakwa tidak membayarnya dalam sebulan usai ada putusan tetap, maka harta bendanya disita guna dilelang,” kata JPU Maria Febriana.

Hal yang memberatkan, kata jaksa yakni perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian terhadap negara, c.q. pemerintah Kabupaten Manggarai, perbuatannya merusak citra dan kredibilitas lembaga DPRD, dan perbuatan terdakwa telah melukai perasaan rakyat untuk memberantas korupsi. Kemudian, terdakwa selama persidangan merasa tidak bersalah dan tidak menyampaikan rasa penyesalan atas perbuatannya.

Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, bersikap sopan selama mengikuti persidangan, telah mengembalikan uang rawat jalan yang diterima sebesar Rp6 juta dan disetor ke kas daerah, dan dia juga sebagai orang suami yang menjadi tulang punggung keluarga.

John Ongge mengatakan tuntutan itu terlalu berat. Menurutnya, JPU mengabaikan keterangan saksi terdakwa dan tuntutan itu memberatkan, padahal
dirinya tidak makan uang.

”Saya tolak itu. Saya tidak makan uang. Saya hanya tanda tangan MOU saja. Saya mohon majelis hakim memutuskan perkara ini seadil-adilnya,” katanya dengan suara keras dan memukul meja penasihat hukumnya.

”Majelis Hakim, saya hanya sampaikan unek-unek saja. Apakah JPU punya hati nurani. Mestinya 40 anggota Dewan dan Bupati harus hadir di sini. Saya hanya jalankan perintah,” katanya.

Menurut Humas PN Ruteng Agus Maksum, pada sidang yang sama JPU membacakan dakwaan terhadap Kepala Askum AJB Bumiputra Kupang, Abdulah Jafar. Namun karena Jafar saat tiba di PN Ruteng terkena tekanan darah tinggi dan dilarikan ke rumah sakit, maka tuntutan terhadapnya urung dilaksanakan.

”Kita tunggu saja sampai kondisinya siap untuk persidangan. Kita tak bisa paksakan ikut sidang kalau kondisinya tidak sehat. Pekan depan, sidangnya beragendakan pembelaan pengacara terdakwa atas tuntutan JPU,” katanya.

Kepala Askum Perwakilan Kupang, Abdulah Jafar yang ditemui di PN Ruteng, Kamis sore mengatakan, dirinya tidak siap karena kondisi kesehatan yang terganggu. Namun, apakah sidang tuntutan dilanjutkan atau tidak, tergantung JPU dan Majelis Hakim.
”Saya kurang siap karena lagi sakit. Semuanya tergantung mereka,”katanya.

Kasus dugaan korupsi dana asuransi kesehatan 40 anggota DPRD Manggarai ini terjadi tahun 2007 lalu. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPKP, ada temuan penyimpangan uang asuransi sebesar Rp380 juta. Ketua DPRD Manggarai John Ongge dan Kepala Askum AJB Bumiputra Abdulah Jafar dijadikan tersangka. Keduanya sudah ditahan di Rutan Lapas Labe, Kelurahan Carep, Kecamatan Langke Rembong, Manggarai.*

Selengkapnya...

Sanggar “Besi Pare”, Penampilan Terbaik pada Festival Seni Budaya

Oleh Frans Kolong Muda

LARANTUKA (FLORES POS)
Sanggar Seni “Besi Pare” Kelurahan Lokea, Kecamatan Larantuka meraih juara penampilan terbaik I dalam pentas Festival Seni Budaya Daerah Tingkat Kabupaten Flotim di Larantuka, Rabu (22/4) malam. Tampil dengan tarian “Wai Rae”, sanggar seni “Besi Pare” menggugah hati ribuan pasang mata yang menyaksikan kegiatan gelar seni budaya tahunan Lamaholot tersebut.

Ketua Sanggar “Besi Pare” Dominikus Ras Dalima menjelaskan, sinopsis tarian “Wai Rae” digarap dari pranata kehidupan mayarakat Lamaholot umumnya tentang air yang menjadi sumber kehidupan. Air yang muncul dari kandungan bumi, mengalir membagi diri dan menabur kehidupan bagi manusia dan makluk hidup lainnya. Air, tumbuh dari keesaan Khalik, mengajak insan-Nya untuk terus bersujud dan merenung asal air itu datang dan akan kembali.

Keanekaan hidup yang dibangun untuk dihidupi diungkapkan dalam gerak tarian “Wai Rae”. Tari ini mengajak kita untuk lahir dalam sukma ke-Ilahi-an, hidup dalam daya keabadian dan tumbuh dalam syukur yang khusukdan tak terhingga.

Ketua Pelaksana Ferstival Seni Budaya Kabupaten Flotim, Benediktus Bolibapa Herin yang ditemui Flores Pos di ruang kerjanya di Kantor Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Infokom, Kamis (23/4) menyebutkan, kegiatan seni budaya Lamaholot ini digelar setiap tahun. Festival seni budaya Flotim diikuti 18 sanggar seni dari 18 kecamatan se-Kabupaten Flotim ditambah dua sanggar eksibisi yakni sanggar “Vinsensia” Kelurahan Sarotari dan Sanggar “Citra Abadi” Kelurahan Waibalun.

Tim juri yang menilai tampilan 18 sanggar tersebut menjatuhkan penilaian yakni, tampilan terbaik I dari Sanggar “Besi Pare”, terbaik II Sanggar “Tawa Gere” SMP Awas, Kecamatan Klubagolit dengan menampilkan tarian “Neket Tane”, terbaik III Sanggar “Pati Beda” dari Kecamatan Demon Pagong yang membawakan tarian “Pute Ture”, terbaik IV Sanggar “Soliwuyo Patibala dari Kecamatan Wotan Ulumado dengan tampilan tarian “Wuhu Amet”, terbaik V sanggar “Timu Tawan, Kecamatan Witihama, dan terbaik V Sanggar “Helan Lamaleda” Kecamatan Ile Boleng.

Para juara diberikan hadiah berupa piala bergilir, piala tetap dan uang untuk terbaik I Rp 5 juta, terbaik II Rp4 juta, terbaik III Rp3 juta, terbaik IV Rp2 juta, terbaik V Rp1,5 juta dan terbaik V Rp1 juta. Panitia juga memberikan uang pembinaan sanggar kepada masing-masing sanggar senilai Rp1 juta.

Ben Herin mengatakan penampilan terbaik I Sanggar “Besi Pare” akan mewakili Kabupaten Flotim untuk mengikuti Jambore Pariwisata Tingkat Provinsi NTT yang akan digelar di Kalabahi,Kabupaten Alor pada September 2009 dan penampilan terbaik II Sanggar “Tawa Gere” Kecamatan Klubagolit akan mewakili Flotim untuk mengikuti Festival Seni Budaya Rayon II se-daratan Flores-Lembata pada Mei 2009 di Borong, Kabupaten Bangarai Timur.

Asisten Perekonomian dan Pembangunan (Asisten II) Setda Flotim, Dominikus Demon mewakili Bupati Flotim, Simon Hayon membuka kegiatan Festival Seni Budaya Flotim. Bupati Simon dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Domi Demon, menekankan penting warisan budaya daerah kepada generasi muda Flotim.

“Membangun,memupuk,dan mengembangkan seni budaya daerah berarti membangun manusia Flores Timur (Flotim) dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat serta jati diri masyarakat Lamaholot yang berbudaya, bermartabat, dan berdaya saing. Seni budaya Lamaholot yang diwariskan para leluhur perlu dijaga, dipelihara dan dilestarikan serta diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dengan demikian nilai-nilai seni itu tidak pudar dan punah dimakan arus globalisasi. Even festival seni budaya ini merupakan ajang memupuk rasa cinta pada seni budaya kita sendiri. Seni budaya Flotim tidak diadopsi dari luar melainkan lahir dari kandungan adat budaya Lamaholot sendiri. Even ini merupakan wahana perekat persatuan, memupuk rasa cinta antar sesama saudara yang semakin kuat,” urai Bupati Simon.


Selengkapnya...

Molor Terus Lanjutan Poyek Macet SMAN Solor Barat

Oleh Frans Kolong Muda

LARANTUKA (FLORES POS) -- Proyek macet alias proyek molor pembangunan gedung kelas baru SMA Negeri Solor Barat di Nusadani kini menjadi keprihatinan orangtua murid, para guru dan murid lembaga pendidikan tersebut. Faktanya, proyek tersebut dikerjakan pada Oktober 2007 silam namun hingga berita ini diturunkan fisik gedung belum juga rampung.

Tim teknis Pemkab Flotim yang turun ke lokasi proyek senilai Rp260-an juta itu pada akhir tahun anggaran 2008 lalu telah menghitung volume pekerjaan fisik yang dikerjakan kontraktor pelaksana CV Naslia. Setelah dihitung tim teknis dari Dinas PU dan Bagian Ekonomi Pembangunan Setda Flotim, tercatat hasil kerja fisik baru 40 persen,sementara laporan konsultan kepada Bidang Sarana dan Prasarana Dinas P dan K Flotim sudah 60 persen. Konsultan “dituduh” telah membohongi pemerintah dalam hal ini Dinas P dan K Flotim.

Kasus proyek molor ini juga sebagaimana dilansir media ini beberapa waktu lalau bahwa pihak orangtua murid telah meminta Kejaksaan Negeri Larantuka untuk segera bertindak melakukan pemeriksaan terhadap kontraktor dan konsultan.

Kepala SMA Negeri Solor Barat,Martinus Nebong Keraf yang ditemui Flores Pos Sabtu (18/4) mengatakan, pihak sekolah menyesalkan terlantarnya proyek pembangunan gedung kelas baru itu. “Kami dari pihak sekolah sedang menungguh sejauhmana tanggung jawab dalam penyelesaian fisik proyek tersebut. Tembok bangunan tiga lokal ruang kelas itu sudah dibangun dan item pkerjaan lantai,atap, dan kuda-kuda belum dikerjakan. Proyek ini macet selama tiga tahun anggaran. Sekolah dan orangtua murid merasa heran mengapa proyek ini dibiarkan terus terlantar. Kasihan anak didik yang sekolah di ruang kelas bersekat tripleks. Ada 5 rombongan belajar gunakan ruang kelas bersekat. KBM praktis tidak kondusif,” keluhnya.

Tinus memprediksikan tahun ajaran baru 2009/2010 akan “meledak” murid baru sehingga Dinas P dan K harus berpikir untuk meminimalisir hambatan kegiatan belajar mengajar (KBM) akibat terbatasnya ruang kelas di sekolah itu. Murid yang ada saat ini sebanyak 150 orang dan diperkirakan tahun ajaran baru akan bertambah menjadi 200-an murid.

Kepala Dinas P dan K Flotim, Ankletus Taka Boli yang dikonfirmasi Flores Pos di ruang kerjanya baru-baru ini mengatakan, lanjutan pekerjaan fisik proyek macet itu akan menjadi perhatian pihaknya. “ Pemerintah Flotim dan Dinas P dan K, akan perhatikan penyelesaian proyek pembangunan ruang kelas SMAN Solor Barat. Tahun anggaran 2009 ini akan dituntaskan,” ujarnya berjanji.

Kadis P dan K yang baru dilantik Januari lalu itu mengaku, Pemerintah Flotim tidak mungkin telantarkan pembangunan gedung kelas SMAN Solor Barat.*


Selengkapnya...

Perkembangan Kebijakan Wakaf di Indonesia

Oleh Kh. Tholhah Hasan
Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia

JAKARTA (ANTARA)
Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf.

Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah dibangun di atas tanah wakaf.

Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka.

Masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid, semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf.

Namun, perkembangan wakaf kemudian hari tak mengalami perubahan yang berarti.
Kegiatan wakaf dilakukan terbatas untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, langgar, madrasah, perkuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.

Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf, seperti PP Noor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja.

Ini berarti tak jauh beda dengan model wakaf pada periode awal, identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun terbatas pada kegiatan sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan lain-lain.

Dalam perjalanannya, Peraturan Pemerintah ini bertahan cukup lama dan tidak ada aturan lain yang dibentuk hingga tahun 2004.

Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi.

Walaupun cukup banyak lembaga wakaf yang berdiri, akan tetapi hanya sebagian kecil lembaga wakaf (nazhir) saja yang mampu mengelola harta benda wakaf secara optimal.
Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan wakaf di Indonesia belum mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan umat.

Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf.

Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud).

Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya UU No. 41/2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bererak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak, seperti uang.

Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf.

Untuk dapat menjalankan fungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf Uang (PMA wakaf uang) yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf.

Setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf.

Setelah itu, pada juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.*




Selengkapnya...

Pendapatan Masyarakat Ditargetkan Rp4 Juta per Tahun

Oleh Leonard Ritan

KUPANG (FP) -- Pemerintah Provinsi NTT menargetkan pada tahun 2010 terjadi peningkatan pendapatan masyarakat dari Rp3 juta menjadi Rp 4 juta per tahun. Pemerintah akan memacu pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat.

Pada pembukaan Musrenbang di aula utama EL Tari Kupang, Selasa (21/4), Gubernur Frans Lebu Raya mengtatakan, program pemberdayaan yang akan dikembangkan pemerintah adalah menjadikan NTT gudang ternak, provinsi jagung dan provinsi koperasi.

Meski demikian pembangunan ekonomi masih diadang oleh usaha peningkatan kualitas angkatan kerja, rendahnya diversifikasi usaha untuk perluasan lapangan kerja baru, dan rendahnya nilai tukar produk di tingkat petani. Selain itu kurangnya akses pasar produk ekonomi rakyat daerah, serta masih tingginya ketergantungan fiskal pada pemerintahan pusat.

Di bidang kesehatan, katanya, ditemukan masalah rendahnya derajat kesehatan masyarakat, kinerja institusi/kelembagaan kesehatan, terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga maupun sarana dan prasarana kesehatan. Ini berimbas juga pada kendala pembudayaan pola hidup sehat. Selain itu penyediaan pangan lokal bagi ketahanan dalam mengatasi masalah gizi buruk.

Lebu Raya menyayangkan kasus keracunan makanan di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU) beberapa waktu lalu. Di Penite, Kabupaten Kupang terdapat 216 warga keracunan makanan.

“Saya minta semua pemerintah kabupaten/kota melakukan pengawasan secara ketat terhadap semua produk makanan yang dijual agar bisa terjamin higienitasnya. Usaha kesehatan sekolah (UKS) dan kantin-kantin sekolah pun perlu diawasi agar makanan yang dijual pun cukup higienis,” katanya.

Kepala Bappeda NTT, Benny Rudolf Ndoenboey mengungkapkan, evaluasi kegiatan 2008 menunjukkan kondisi sumberdaya manusia masing kurang. Misalkan, masih terdapat proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas terutama di daratan Sumba dan Belu. Angka kematian bayi cukup tinggi yakni 57 per 1000 kelahiran hidup. Diharapkan pada 2013 mendatang, terjadi penurunan menjadi 45 per 1000 kelahiran hidup.

Benny menambahkan, pendapatan domestik regional bruto (PDRB) kabupaten juga masih rendah di bawah Rp1,5 triliun. Hanya Kota Kupang PDRB pada tahun 2007 sebesar Rp3 triliun. Sedangkan PDRB NTT baru mencapai Rp19 triliun. Kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB NTT berasal dari sektor pertanian sekitar 40 persen, jasa-jasa sekitar 23 persen, perdagangan, hotel, dan restoran sekitar 16 persen, dan sektor bangunan sekitar tujuh persen.*

Selengkapnya...

PDIP Sesalkan Polri yang Tidak Netral

JAKARTA (ANTARA)

Tim Badan Pemenangan (BP) Pilpres PDIP menyesalkan sikap institusi Polri yang dinilai tidak netral dan tunduk pada kepentingan kekuasaan dengan menolak menindaklanjuti pengaduan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terkait dengan sejumlah dugaan pelanggaran pemilu.

"Kami sangat menyesalkan sikap Polri yang tidak netral dalam menindaklanjuti berbagai pengaduan kecurangan pemilu ini," ujar Sekretaris Tim BP Pilpres PDIP Hasto Kristianto di Jakarta, Rabu.

Dikemukakannya, pada saat mengusut dugaan politik uang yang diduga dilakukan oleh tim sukses Edi Baskoro Yudhoyono, Polri tampak bertindak secara berlebihan.

"Di situ Polri tidak bisa membedakan kapan Edi Baskoro sebagai caleg dan kapan sebagai anak presiden," ujar Hasto.

Mengenai berbagai temuan dugaan pelanggaran pemilu yang telah ditemukan, Hasto menegaskan, pihaknya telah berkomitmen untuk mengedepankan langkah hukum dan siap bekerja sama dengan komponen masyarakat lainnya yang juga melakukan gugatan hukum.

"Gugatan hukum itu tentunya berkaitan dengan hilangnya hak konstitusional jutaan warga negara Indonesia untuk memilih," katanya menambahkan.

Hasto mengatakan bahwa langkah-langkah hukum atas adanya dugaan tindak pidana pemilu dan buruknya manajemen pemilu tersebut semata-mata dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi.

Upaya tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kredibilitas penyelenggaraan pemilu di masa-masa yang akan datang, serta melindungi hak konstitusional warga untuk memilih.

Selain itu, Hasto menambahkan, pihaknya juga mendesak KPK untuk melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi sehubungan dengan pengadaan surat suara yang dilegalkan oleh surat edaran KPU dan pengadaan seluruh sarana perhitungan tabulasi nasional.*
Selengkapnya...

Jusuf Kalla: Golkar Tak Mau Didikte

JAKARTA (ANTARA)

Ketua Umum DPP Partai Golkar M Jusuf Kalla saat membuka Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rapimnasus) mengatakan, partainya tidak mau didikte dalam membangun koalisi dengan partai lain untuk membentuk pemerintahan ke depan.

"Kita telah lalui komunikasi tapi pembicaraan buntu. Golkar tidak mau didikte, Golkar berpendapat setiap koalisi harus sepadan," kata Jusuf Kalla saat membuka Rapimnasus Golkar di Jakarta, Kamis.

Dalam pidatonya, tidak seperti biasanya Jusuf Kalla membacakan teks dan dilakukan dengan pelan namun tegas.

Atas pernyataan tersebut, ratusan orang peserta Rapimnasus langsung bertepuk tangan.
Jusuf Kalla mengatakan, tanpa kemitraan yang sepadan, maka semua tidak akan bisa berjalan dengan baik.

Dalam kesempatan itu, ia juga menyatakan rasa bangga kepada para anggota kabinet dari Partai Golkar yang semuanya pengurus DPP.

"Golkar akan memutuskan sendiri siapa kader yang terbaik, bukan ditentukan oleh orang lain yang akan memilih," kata Kalla yang dalam pidatonya terlihat sangat berhati-hati dan berkali-kali melihat teks yang dipegangnya.

Sebagai Wapres, tambah Kalla, ia telah bekerja dengan sebaik-baiknya, karena itu baik buruknya pemerintah juga menjadi tanggung jawab bersama.
Sekitar 300 orang peserta hadir dalam Rapimnasus Partai Golkar tersebut. Mereka terdiri dari para ketua dan sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD), pengurus Dewan Pimpinan Pusat, serta Dewan Pembina Golkar.*
Selengkapnya...

Carut Marut Pemilu

Oleh Benny Obon
Mahasiswa STFK Ledalero

Pemilu legislatif 2009 sudah diselenggarakan. Kita patut berbangga karena pesta lima tahunan itu dilaksanakan dengan aman. Tidak ada konflik berarti. Meski demikian, pemilu kali ini sungguh mengecewakan banyak pihak. Tingginya persentase masyarakat yang tidak ikut pemilu disesalkan.

Banyaknya masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilu merupakan prestasi terburuk dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia. Masyarakat yang merupakan substansi dasar dalam suatu negara demokrasi sebenarnya menjadi penentu sekaligus ukuran berjalan tidaknya proses demokrasi.

Namun, apa yang terjadi jika kebebasan masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu dalam suatu negara demokrasi dibatasi?

Dalam sejarah penyelenggaraan pemilu sejak reformasi di Indonesia, pemilu kali ini merupakan yang terburuk. Carut marut dan kegagalan itu disebabkan oleh lemahnya kinerja kerja KPU.

Sebagai penyelenggara, KPU mesti independen dalam segala hal. Independensi KPU tampak dalam kinerja kerja yang apik, teratur dan teliti. Keapikan itu menunjukkan jati diri lembaga tersebut sebagai yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Namun, pada pemilu lagislatif ini, KPU tidak menunjukkan esensi tersebut. Di sini KPU menjadi “pembunuh” demokrasi yang sedang bersemi dengan tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu.

Setidaknya ada beberapa kepincangan yang dibuat oleh KPU yang menyebabkan pemilu kali ini carut-marut dan dinilai gagal. Pertama, soal pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT). Persentase masyarakat wajib pilih yang tidak terdaftar cukup tinggi.

Ketidaktelitian dalam pemutakhiran daftar pemilih menyebabkan banyak masyarakat kehilangan hak suaranya. Hal ini disebabkan karena KPU menggunakan data dari daftar pemilih dalam Pilkada dan Pilgub dari setiap daerah beberapa waktu lalu. Itu berarti kalau seorang wajib pilih tidak terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada dan Pilgub, otomatis ia juga tidak terdaftar sebagai pemilih tetap pemilu legislatif. Cara kerja KPU seperti ini menunjukkan bahwa mereka lebih suka cari gampang dan tidak mau bekerja keras.

Hal lain yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak suaranya dalam pemilu kali ini adalah migrasi. Kita tidak dapat menyangkal bahwa setiap saat banyak masyarakat yang berpindah tempat tinggal dari suatu daerah ke daerah lain. Misalkan saja, seseorang yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada atau Pilgub dalam kota X, ketika ia pindah ke kota Y ia kehilangan hak suaranya karena tidak termasuk dalam daftar pemilih dalam kota tersebut.

Ini juga disebabkan karena bertepatan dengan hari raya keagamaan umat Kristiani. Umumnya pada setiap hari raya keagamaan banyak masyarakat beragama yang melakukan mudik dan merayakan hari raya keagamaan di tempat lain. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada waktu upacara prosesi di Larantuka beberapa waktu lalu. Begitu banyak mahasiswa dan masyarakat biasa yang datang dari luar daerah dan umumnya mereka sudah berada di Larantuka satu minggu sebelum upacara Semana Santa dimulai. Itu berarti mereka tidak mengikuti pemilu. Sehingga tidak heran kalau persentase pemilih yang tidak ikut pemilu begitu tinggi.

Kedua, soal penentuan cara memilih dari coblos ke centang. Penentuan cara memilih dengan memberi tanda centang mengandaikan masyarakat sudah masuk dalam suatu diskursus rasio atau sudah mengalami rasionalitas. Dengan demikian masyarakat dapat memahami apa itu centang dan bagaimana memberi tanda centang. Kenyataan yang ada bahwa tingkat pendidikan masyarakat kita masih rendah. Hal ini menyulitkan masyarakat dan menimbulkan apatisme dalam diri sehingga mereka lebih memilih untuk tidak mau mengikuti pemilu atau tidak mau datang ke TPS-TPS. Memang sudah ditetapkan bahwa memilih dengan mencoblos juga sah – sebagai upaya untuk menyelamatkan suara rakyat. Namun karena sudah tertanam dalam diri masyarakat bahwa pemilu kali ini terlalu rumit apalagi didukung oleh kurangnya sosialisasi oleh KPU, maka mereka tetap memilih untuk tidak mengikuti pemilu.

Ketiga, soal jadwal pemilu yang bertepatan dengan hari raya keagamaan umat Kristiani. Sejak jadwal pemilu dikeluarkan sudah muncul penolakan dari berbagai kalangan dan mendesak KPU untuk menunda jadwal pelaksanaan pemilu. Namun, KPU tetap pada pendiriannya. Sikap KPU tersebut menimbulkan ketidaksenangan. Ekspresi ketidaksenangan ini pada gilirannya menimbulkan apatisme dalam diri masyarakat sehingga mereka tidak mau mengikuti pemilu. Dengan demikian menambah penjang daftar pemilih yang tidak ikut serta dalam pemilu.

Keempat, soal penentuan daerah pemilihan bagi para caleg. Penentuan daerah pemilihan bagi para caleg merupakan suatu upaya membatasi kebebasan politik bagi para caleg dan juga bagi masyarakat. Di sini ruang demokrasi dibatasi karena para caleg dibatasi hanya pada wilayah-wilayah yang sudah ditentukan oleh KPU – tanpa melihat basis suara yang mendukung seorang caleg. Sehingga tidak heran ada caleg yang berpotensi dan berwawasan luas tidak mendapatkan suara yang cukup di daerah pemilihannya.

Umumnya setiap caleg mempunyai basis pendukungnya tersendiri. Misalnya, caleg A berdomisili di kota P dan ia mendapat bagian di daerah pemilihan X dalam kota tersebut, sementara ia mempunyai basis pendukung yang kuat di daerah pemilihan Y. Maka, para pendukung caleg A di Dapil Y tidak dapat memilihya sementara mereka tetap pada pendirian tidak mau mendukung calon lain. Sikap seperti ini menimbulkan apatisme dalam diri para pemilih dan pada gilirannya mereka memilih untuk tidak ikut dalam pemilu.

Pengalaman carut-marutnya pemilu legislatif kali ini menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Carut-marut pemilu juga dapat menujukkan masyarakat kita belum dewasa dalam berpolitik. Masyarakat sebagai elemen dasar suatu negara demokrasi mesti benar-benar menunjukkan partisipasinya dalam berpolitik. Kebebasan sebagai ciri khas negara demokasi mesti digunakan sepenuhnya oleh masyarakat. Kebebasan masyarakat tersebut mesti didukung oleh independensi KPU.

KPU tidak boleh membatasi dan memasung hak dan kebebasan masyarakat dalam politik. Pengalaman carut-marut pemilu tersebut juga menjadi bahan refleksi menghadapi pemilu presiden nanti. Sehingga berbagai kepincangan pada pemilu legislatif tidak akan terjadi lagi pada pemilu presiden.*

Selengkapnya...

Kejaksaan Tetapkan Empat Tersangka Korupsi BRI

JAKARTA (ANTARA)

Kejaksaan Agung (Kejagung), Rabu, menetapkan empat tersangka kasus dugaan pembobolan uang Bank Rakyat Indonesia (BRI) senilai Rp226 miliar.

Keempat tersangka tersebut, Asri Uliya, mantan pimpinan Cabang BRI Syariah Serang, Banten, sekarang menjabat sebagai Senior Staff pada Divisi Kredit Retail Kantor Pusat BRI, Amir Abdullah (Direktur Utama PT Nagari Jaya Sentosa (NJS)), Muhammad Sugirus (Direktur PT Javana Artha Buana, Komisaris Utama PT NJS), dan Dedih Wijaya (Karyawan BRI Cilegon).

Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah, di Jakarta, Rabu, mengatakan, kasus pembobolan uang BRI itu, sudah ditetapkan empat tersangka.

"Empat orang sudah ditetapkan sebagai tersangka," katanya.

Keempat tersangka itu, telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara melalui BRI sebesar Rp169 miliar.

Kasus itu bermula pada 2006-2007, BRI Kantor Cabang Syariah Serang, mengadakan kerjasama (PKS) dengan PT NJS dan PT Javana Artha Buana (JAB) untuk pemberian fasilitas pembiayaan kredit kepemilikkan kios pada Plaza Nagari Minang, Pasar Baru Bantar Gebang, dan rumah tinggal di Cilandak Town House, Jakarta Selatan.

Ketiga gedung itu dibangun oleh kedua perusahaan tersebut untuk selanjutnya dijual kepada BRI.

"Dalam perjanjian kerjasama yang disebutkan PT NJS dan PT JAB, berkewajiban untuk mencari calon nasabah yang akan mendapatkan pembiayaan kepemilikkan kios dan rumah tinggal. PT NJS dan JAB juga bertindak sebagai penjamin (avalis) atas pembiayaan yang akan diberikan oleh Bank BRI dengan sistem Murabahah (pembiayaan dengan sistem jual beli)," katanya.

Ia menyebutkan faktanya sebanyak 438 calon nasabah untuk yang diajukan oleh PT NJS dan PT JAB, tidak pernah mengajukan permohonan pembiayaan.

"Namun dengan dalih berlibur ke Anyer, mereka diminta untuk menyerahkan foto copy identitas, kemudian dipaksa untuk menandatangani permohonan pembiayaan ke kantor BRI Syariah Serang dengan imbalan uang antara Rp50 ribu sampai Rp150 ribu," katanya.

Nasabah juga, kata dia, dipaksa membuat surat pernyataan peminjaman nama dan data-data kepada PT NJS untuk akad kredit pembiayaan tersebut.

BRI Syariah sendiri langsung memproses permohonan pembiayaan tersebut, dengan menggunakan data-data fiktif calon nasabah sebanyak 438 orang dengan total pokok pembiayaan sebesar Rp226 miliar.

"Faktanya dana yang diajukan itu tidak sesuai dengan perjanjian kerjasama antara PT NJS dan PT Javana Artha Buana (JAB) dengan BRI," katanya.*

Selengkapnya...

Indonesia dan Swedia Gelar Dialog HAM

JAKARTA (ANTARA)

Pemerintah RI dan Swedia mengelar dialog Hak Azasi Manusia (HAM) yang diadakan di Stockholm, Swedia selama dua hari dari tanggal 23 hingga 24 April.

Sekretaris pertama Pensosbud KBRI Stockholm, Dody Sembodo Kusumonegoro, kepada koresponden Antara London, Kamis mengatakan dalam dialog HAM Indonesia diwakili oleh berbagai instansi,

Diantaranya perwakilan institusi pemerintah, Komnas perlindungan anak cacat, Ombudsman Indonesia dan perwakilan-perwakilan LSM seperti Pusat Rehabilitasi anak dan penyandang cacat.

Sementara dari Swedia diwakili oleh perwakilan institusi pemerintah, anggota parlemen, dan wakil dari SIDA, RWI dan Handisam.

Dialog HAM antara kedua negara diluncurkan tahun lalu oleh Menteri Luar Negeri RI, Dr. Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Swedia, Carl Bildt, di Jakarta April tahun lalu diikuti dengan Lokakarya selama 3 hari, yang merupakan Dialog HAM pertama antara kedua negara.

Hasil dari dialog pertama antara lain dilaksanakannya beberapa program dan kerjasama konkrit capacity building di bidang HAM diantaranya peningkatan fasilitas untuk penyandang cacat dan kenakalan remaja serta pengadaan beasiswa untuk melanjutkan studi humanitarian law di Swedia.

Menurut Dody, dalam dialog kali ini akan membahas berbagai isu yang merupakan kelanjutan dari dialog pertama di Jakarta tahun lalu diantaranya capacity building untuk masyarakat madani terutama dalam pemajuan hak penyandang cacat dan penanganan anak-anak yang bermasalah dengan hukum. Selain itu juga dibahas isu HAM terkait lainnya .

Selama berlangsungnya dialog di Stockholm, kedua delegasi berkesempatan melakukan peninjauan ke the National Board of Institutional Care dan tempat penanganan kaum muda bermasalah di Uppsala.

Para delegasi akan dapat mengetahui dan bertukar pengalaman mengenai penanganan dan perawatan anak-anak bermasalah di Swedia.

Menurut Dody, hubungan bilateral antara Indonesia dan Swedia meningkat dengan pesat dalam dua tahun belakangan ini.

Dialog HAM merupakan salah satu dari banyak kerjasama yang ada diantara kedua negara dan saling bertukar pengalaman dan meningkatkan kerjasama untuk mendukung upaya dalam pemajuan HAM.*

Selengkapnya...

AS Dirikan Komando Cyber

WASHINGTON (ANTARA) --

Pemerintahan Barack Obama berencana membentuk komando militer baru yang khusus mengamanan jaringan komputer Pentagon (Departemen Pertahanan AS) dan kemampuan ofensif dalam perang cyber, lapor Wall Street Journal, Selasa, mengutip sejumlah pejabat yang mengetahui rancangan itu.

Prakarsa ini akan menajamkan lagi upaya militer AS dalam melindungi jaringan internetnya dari serangan peretas (hacker), terutama dari negara-negara seperti China dan Rusia.

Para pejabat Pentagon, seperti dikutip Wall Street Journal, menyebutkan bahwa komando baru ini akan dioperasikan dalam beberapa minggu ke depan.

Komando cyber ini kemungkinan akan dikomandani seorang perwira bintang empat dan untuk permulaan akan menjadi bagian dari Komando Strategis di bawah Pentagon, demikian The Journal mengutip para pejabat yang mengetahui pasti proposal pertahanan baru ini.

Juru bicara Pentagon dan Gedung Putih tidak bisa dimintai pendapatnya mengenai rancangan ini.

Presiden Barack Obama diperkirakan mengumumkan satu rencana untuk meningkatkan keamanan cyber bulan ini setelah rampungnya satu kajian Gedung Putih mengenai hal itu, demikian Wall Street Journal.

Menteri Pertahanan Robert Gates berencana mengumumkan pembentukan komando cyber yang baru dalam tubuh militer AS ini setelah tuntasnya pengkajian Gedung Putih, kata sejumlah laporan mengutip para pejabat militer lintas angkatan yang mengetahui rencana itu.

The Journal baru-baru ini melaporkan bahwa spionase militer telah berulang kali membobol program persenjataan paling berharga Pentagon, yaitu proyek pembuatan pesawat tempur Joint Strike Fighter yang bernilai 300 miliar dolar AS (sekitar Rp3,3 triliun).

Identitas para pembobol jaringan dan skala kerusakan terhadap proyek pertahanan ini tidak terkirakan, lapor The Journal.

Mengutip para mantan pejabat pemerintah AS, The Journal melaporkan bahwa serangan peretas itu tampaknya berasal dari China, kendati adalah sulit memastikan asal pembobol mengingat mudah sekali menyembunyikan identitas di internet.

Kedutaan besar China menegaskan bahwa China menentang dan melarang semua jenis kejahatan cyber, demikian The Journal. *


Selengkapnya...

26 April 2009

BENTARA: Ketika Gereja “Dijinakkan”

Kontroversi Tambang di Flores-Lembata

Oleh Frans Anggal

“Banyak upaya investor agar usaha mereka berjalan. Di antaranya dengan royal memberikan sumbangan, termasuk ke Gereja. Bagi saya, ini bagian dari upaya menjinakkan Gereja dalam menyikapi masalah pertambangan.”

Kata-kata ini dilontarkan George Junus Aditjondro, pembicara pada pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Kata-katanya bikin merah kuping Gereja. Tapi, ini harus dikatakan. Sebagai warga Gereja, ia berhak angkat bicara. Ia pun bicara pada saatnya, sebelum semuanya terlambat.

Aditjondro tidak mengada-ada. Tengoklah Freeport di Papua. Menambang tambaga dan emas sejak 1967 dan menjadi salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia. Namun, ia juga pemerkosa salah satu ekosistem dunia paling perawan dan hanya memberi sedikit berkah bagi penduduk sekitar.

Ketika kontroversi merebak, Freeport kucurkan jutaan dolar untuk iklan di media massa terkemuka Amerika dan Indonesia. Ia memperbaiki citranya yang tercoreng. Di Indonesia, ia terbitkan majalahnya sendiri, The Nation. Ia punya banyak teman di tempat tinggi. Juga di kalangan akademisi. Ia murah hati memberi jutaan dolar untuk berbagai universitas. Dengan ini, posisisnya tak tergoyahkan. Tak mengherankan, Tom Beanal, kepala suku Amungme di Papua, sampai bilang, di mata Freeport segala bentuk protes dan perlawanan masyarakat lokal tak lebih daripada “hiburan” belaka.

Seandainya Freeport masuk Flores-Lembata, ia akan pakai cara yang sama. Merangkul bupati. Sebab, di era otda, bupati punya kewenangan besar di bidang pertambangan. Merangkul uskup. Sebab, wilayah gerejawi ini mayoritas Katolik, dan Gereja masih dipandang sebagai benteng moral. Sekali jebol, selesai.

Kiita harus akui, gejala ini sudah tampak. “Bentara” Flores Pos edisi Kamis 15 November 2007 pernah menyorot, dalam kontroversi rencana tambang emas Lembata, Gereja lokal justru tidak memiliki posisi jelas. Ini membawa dampak serius. Tidak hanya bingung, umat kehilangan pegangan bersama. Kegamangan seperti ini memudahkan jalan masuk bagi investor yang sebelumnya sudah berbulan madu dengan penguasa.

Seorang umat, Yohanes Kia Nunang, pernah kirim SMS. “Saya seorang demonstran yang pernah bersama-sama dengan rakyat Kedang dan Leragere menolak tambang. Tapi saya diintimidasi oleh penguasa Lembata dan preman-preman bayarannya, maka saya pernah hijrah ke Paroki Hokeng, tinggal dengan Pater Pit Nong SVD.” Kisahnya hanya cuplikan kecil dari cerita panjang Flores-Lembata ketika Gereja sudah mulai dijinakkan.

Keuskupan Ruteng sedang menunggu uskup baru. Alangkah bagusnya kalau yang baru bukan hanya uskupnya, tapi juga posisi Gerejanya. Tegas bersikap dalam setiap tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM.

“Bentara” FLORES POS, Senin 27 April 2009


SENGGOL

KPU NTT jamin, DPT pilpres tidak akan bermasalah.
Berjanji saja sudah satu masalah.

Dana kampanye parpol akan diaudit tujuh akuntan.
Siapa mengaudit pengaudit?

Minum air kotor, warga Liang Bua di Manggarai (lokasi Homo floresiensis) sering menderita diare.
Cocoknya: Homo diaresiensis.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Diakonia Palang Pintu

Mencegah Jatuhnya Korban Pembangunan

Oleh Frans Anggal

George Junus Aditjondro punya usulan dalam pertemuan Tahun Peduli Kemiskinan Keuskupan Ruteng. Menghadapi dampak industri pertambangan dan pembalakan yang hancurkan lingkungan dan rugikan rakyat kecil, ia anjurkan Gereja kembangkan “diakonia palang pintu”. Bukan sekadar “diakonia palang merah”. Kalau “diakonia palang merah” hanya mengobati luka-luka pembangunan, “diakonia palang pintu” mencegah jatuhnya korban.

Usulan Aditjondro bukan hal baru. Ia hanya mengingatkan tugas Gereja. Diakonia atau pelayanan merupakan tugas Gereja secara menyeluruh selaku tubuh Kristus. Pelayanan tidak hanya kepada sesama umat, tetapi juga kepada umat lain, bahkan kepada seluruh ciptaan. Diakonia mencakup usaha menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. “Diakonia palang pintu” hanyalah penamaan baru atas satu dari tiga jenis diakonia Gereja.

Ada diakonia karitatif alias diakonia belas kasihan. Pelayanan cuma-cuma kepada yang tak mampu.Tidak untuk membawanya menuju perubahan, tetapi sekadar meringankan deritanya. Analoginya: memberi ikan kepada orang lapar. Ikan habis, lapar lagi, dan harus dikasih lagi. Sampai kapan? Jika karitatif melulu, diakonia hanya melahirkan ketergantungan.

Yang dilayani harus berubah. Ia harus dimampukan dan diberdayakan. Misalnya melalui penyuluhan atau bantuan modal kerja. Analoginya: memberi kail dan keterampilan mengail, bukan lagi memberi ikan. Ini diakonia reformatif.

Dalam kenyataan, beri ikan dan kail saja tidak lagi cukup. Peningkatan modal dan teknologi sering belum mampu menjawab masalah yang dihadapi. Analoginya: ada kail dan mau pergi mengail, tapi sungainya sudah dikuasai orang lain. Pengail diusir. Ke sungai lain, sama juga. Semua ikan mati tercemar oleh limbah pabrik yang dibangun di atas sungai. Bagaimana mencegah atau mengusir si penyerobot demi tetap hidupnya si pengail dan tetap lestarinya sungai, itulah diakonia transformatif.

Dalam diakonia transformatif, Aditjondro menekankan perlunya mencegah dampak buruk pembangunan. Gereja harus berjuang juga di aras ini. Jangan tunggu korban jatuh baru tolong. “Diakonia palang merah” atau diakonia karitatif tidaklah cukup. Perlu dan sudah saatnya “diakonia palang pintu”.

Perjuangan JPIC OFM dan JPIC SVD mendampingi masyarakat tolak tambang emas di Lembata adalah contoh yang tepat. Tepat tindakannya dan tepat waktunya. Mencegah. Sedangkan dalam tolak tambang mangan di Manggarai, tepat tindakan tapi tidak tepat waktu. Terlambat. Tak mengapa, daripada tidak sama sekali. Kita bangga, Gereja seperti ini.

Yang mengecewakan, jika hierarki Gereja mengabaikan “diakonia palang pintu” karena keenakan dengan “diakonia palang sejajar”. Sejajar dengan penguasa, sejajar dengan pengusaha, merugikan rakyat.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 April 2009


SENGGOL

Kasus dana kesehatan DPRD Manggarai, ketua dewan dituntut empat tahun penjara.
Urus kesehatan, jadi pesakitan.

DPRD Ende minta bupati kembalikan bekas sekolah Cina.
Dikembalikan, malah berebutan.

Di Sikka, KPPS perempuan curang, caleg perempuan mengadu ke panwas.
Diberi kuota, malah baku makan.

Om Toki

Selengkapnya...

23 April 2009

BENTARA: Alma-Mater, Bapa-Angker

Tepatkah Siswi Hamil Dilarang Ikut UN?

Oleh Frans Anggal

Beda sekolah, beda kebijakan. Di Sumba Timur dan Rote Ndao, 13 siswi dilarang ikut ujian nasional (UN) karena hamil. Di Manggarai, sebaliknya. SMK Karya Ruteng tetap mengizinkan siswi hamil dan melahirkan ikut UN. Dua peristiwa ini masing-masing diberitakan Pos Kupang dan Flores Pos. Dua-duanya di halaman depan. Dinilai penting dan menarik.

Begitu seringnya siswi hamil jelang UN. Begitu seringnya pula mereka dilarang ikut UN karena hamil. Saking seringnya, baik kasus maupun sikap sekolah terhadapnya dianggap biasa pula. Banyak sekolah pakai aturan yang sama. Jangan coba-coba hamil sebelum UN. Berani hamil, batal UN. Bahkan dikeluarkan. Sekolah negeri, sekolah swasta, sama saja.

Karena yang hamil hanya perempuan maka selalu siswilah yang jadi korban. Siswa, karena tidak hamil, berpeluang luput. Karena hamilnya yang dilihat maka, sejauh tidak hamil, siswi yang berhubungan seks pun bisa luput. Siswanya apalagi. Dari sisi dampak seperti ini, adilkah sekolah?

Tak ada siswi yang mau hamil. Mereka tahu akibatnya. Bukan hanya tidak bisa ikut UN, tetapi lebih daripada itu. Mereka menanggung derita batin karena malu dan rasa bersalah. Menanggung aneka cap masyarakat dan penolakan keluarga. Hamil menjadi pengalaman traumatis.

Sudah begitu, yang bersangkutan masih harus menerima hukuman lagi dari sekolah. Dilarang ikut UN. Ada yang sampai dikeluarkan. Sekolah, yang selalu dijuluki alma-mater, ‘ibunda yang penuh kasih’, ternyata lebih bercitra ayah yang gemar menghukum ketimbang ibunda yang rahim merangkul. Justru ketika sang anak sangat membutuhkannya, bukan dekapan kasih ibu yang diterima, tetapi kepalan tinju ayah. Sekolah bukan lagi alma-mater, tetapi bapa-angker. Nanti, saat butuh dana dari alumni, barulah bermanis diri: “Mohon sumbangan untuk alma-mater”.

Pelajar kelas III SLA rata-rata berusia di bawah 18 tahun. Anggapan dasar ini jugalah yang digunakan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ketika membatasi usia anak di bawah umur. Usia di bawah umur adalah usia di bawah 18 tahun. Karena asumsinya begitu maka pelajar kelas III SLA masih harus digolongkan sebagai anak di bawah umur.

Menurut UU Perlindungan Anak, yang merupakan ratifikasi atas Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, orang di bawah umur harus dianggap tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual. Karena itu, bila hamil, ia harus dianggap sebagai korban. Korban harus ditolong, bukan dihukum.

Dalam cara pandang ini, kebijakan SMK Karya Ruteng tetap mengizinkan siswi hamil dan melahirkan ikut UN sangatlah tepat. Kasek Nobertus Janu memakai alasan kemanusiaan. Benar. Lebih daripada itu, ini hak anak atas pendidikan.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 April 2009


SENGGOL

Di Lembata, caleg yang meninggal beberapa bulan lalu turut dipilih.
Hebat. Lembata punya wakil di alam baka.

Di Sikka, dua buronan pencuri lolos dari kepungan polisi.
Kalau Polres Ngada, tangkap orangtuanya.

Produsen semen bilang, wajar kenaikan harga semen saat ini.
Konsumen bilang, kurang ajar.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Dari “Pati Ka” ke Patiha

Pemkab Ende Kembali ke Enam Hari Kerja

Oleh Frans Anggal

Mulai 1 Mei 2009 Pemkab Ende kembali memberlakukan enam hari kerja, Senin-Sabtu, setelah satu setengah tahun berjalan dengan lima hari kerja, Senin-Jumat. Dengan enam hari kerja maka uang lauk-pauk PNS ditiadakan. Itu berarti menghemat Rp17,9 miliar setahun. Khusus untuk tahun berjalan, dana yang bisa dihemat melalui kebijakan baru ini separo dari angka itu. Dananya akan dialokasikan untuk masyarakat miskin.

Pemberlakuan kembali enam hari kerja merupakan bagian dari usaha Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar berhemat besar-besaran di birokrasi. Birokrasi di Ende boros. Banyak yang dimakan, banyak pula yang ikut makan, karena makanannya banyak. Lihat struktur anggarannya. Berlimpah untuk birokrasi. Anggaran belanja aparatur 81,26 persen. Sedangkan untuk publik hanya 18,74 pesen. Itu pun kalau tidak ikut dimakan.

Pola boros untuk birokrasi tapi kikir untuk publik inilah yang hendak diubah. Porsi birokrasi dikurangi agar porsi publik bisa ditambah. Salah satu jalan, kembali ke enam hari kerja. Karena dengan itu, uang lauk-pauk sebagai dampak lima hari kerja dihapus. Dananya dialihkan untuk memperbesar anggaran belanja publik.

Lebih jauh, kembali ke enam hari kerja tidak cukup hanya sebatas itu. Kembali ke enam hari kerja haruslah juga menjadi gerakan kembalinya birokrasi menjadi abdi masyarakat. Kali lalu, dalam kajian pemkab ketika hendak membelakukan lima hari kerja, sisi inilah yang kurang diperhatikan.

Kelender kerja masyarakat masih kalender lama. Kerja enam hari. Istirahat satu hari. Ende masih Ende yang dulu, belum menjadi New York. Siklus kerja masyarakat seperti ini semestinya terefleksi dalam kalender birokrasi selaku pelayan. Mengurangi hari kerja, meski tidak mengurangi jam kerja, sama artinya dengan mengurangi akses masyarakat mendapatkan pelayanan.

Birokrasi tahu itu. Lalu, kenapa mesti lima hari kerja? Apakah karena lebih efektif, efisien, ekonomis? Tidak juga. Ketika Bupati Don Wangge sidak ke lima unit kerja yang beban kerjanya paling tinggi, apa yang ditemukan? Pukul 14.00 banyak pegawai tidak bekerja lagi. Kalau begitu, kenapa lima hari kerja? Jawabannya ini: karena ada uangnya! Uang lauk-pauk. Dulu-dulu, ketika uangnya belum nongol, mana ada lima hari kerja. Begitu duit datang, Ende langsung menjadi New York.

Hasilnya? Seperti temuan Bupati Don itu. Pukul 14.00, kabur atau nganggur. Birokrat kita berkalender New York, tetapi masih berkebiasaan Flores. Orang Flores terbiasa tidur siang. Tak heran, setelah makan siang dengan uang lauk-pauk tadi, banyak pegawai terbuai rayuan pulau kapuk. Ngantuk. Untuk hal seperti inikah Rp17,9 miliar dihabiskan dalam setahun?

Kembali ke enam hari kerja, tepat. Pertimbangannya memenuhi asas patut, teliti, hati-hati. Disingkat, patiha. Bukan sekadar pati ka (kasih makan).

“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 April 2009


SENGGOL

Ketua Tim Penggerak PKK NTT: Perempuan berperan majukan NTT.
Jelaslah Bu. Tks.

Di Flotim, rekapitulasi hasil pileg belum dapat dilakukan.
KPU-nya masih pilek.

Paskah Suzetta: Pemerintah akan naikkan gaji PNS 2010.
Halus, iklan capres.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Sembrononya Polres Ngada

Mempersoalkan Surat Jaminan Kasus Buron

Oleh Frans Anggal

Di Ngada, seorang tersangka kasus pencurian melarikan diri dari sel mapolres. Polisi cari, tidak ketemu. Polisi dapat akal. Tengah malam, ayah dan ibu si buronan diangkut ke mapolres. Mereka dipaksa menandatangani surat jaminan. Isinya: jika anak mereka tidak ditemukan atau tidak menyerahkan diri maka mereka sebagai orangtua akan masuk sel.

Jangankan pakai ilmu hukum, pakai akal sehat saja sudah jelas, betapa sembrononya Polres Ngada. Tersangka disel oleh polisi. Dijaga oleh polisi. Ia berada penuh di bawah tanggung jawab polisi. Kalau ia lari, siapa yang salah? Polisi! Si petugas jaga. Bukan orangtua tersangka. Pihak yang bersalah itulah yang bertanggung jawab. Kalau wujud tanggung jawabnya mesti berupa masuk sel, si petugaslah yang masuk, bukan orangtua tersangka.

Secara hukum, jaminan selalu dalam pengertian sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk membujuk pembebasan seorang tersangka dari penjara, dengan pemahaman bahwa sang tersangka akan kembali ke persidangan atau membiarkan jaminannya hangus. Biasanya jaminan berupa uang akan dikembalikan pada akhir persidangan jika tersangka hadir dalam setiap persidangan.

Ada yang namanya sita jaminan. Jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan. Sitaan tidak untuk dilelang atau dijual, tapi hanya disimpan oleh pengadilan. Dengan penyitaan, tergugat kehilangan kewenangan menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan barang itu tidak sah dan merupakan tindak pidana.

Yang terjadi di Ngada, tahapannya belum sampai di pengadilan, jaminan sudah dikarang-karang. Jaminan itu pun dipaksakan oleh polisi, bukan atas kehendak bebas orangtua tersangka. Yang dijaminkan pun bukan uang atau barang, tapi manusia, orangtua tersangka. Mengerikan! Manusia disamaderajatkan dengan barang atau benda sebagai jaminan. ‘Penyakit’ khas Indonesia.

Di Indonesia, keluarga sering menjadikan diri jaminan untuk menyertai pengajuan penangguhan penahanan oleh kuasa hukum. Ini salah kaprah. Dasar yuridisnya tidak ada. Tak ada peraturan soal sanksi atas jaminan itu. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Tommy Soeharto. Istri Tommy menjamin suaminya tidak akan melarikan diri. Jaminan berupa surat itu ternyata tidak ada sanksinya ketika Tommy benar-benar melarikan diri.

Atas dasar yang sama, dalam kasus di Ngada, orangtua tersangka pun tidak dapat diberi sanksi meski sudah menandatangani surat jaminan. Menyel mereka sama artinya dengan merampas kemerdakaan. Ini sudah termasuk delik, bukan lagi upaya paksa hukum. Jadi, Polres Ngada, jangan sembrono!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 April 2009


SENGGOL

Di Lembata, dua anak panti asuhan Don Bosco tenggelam saat piknik.
Piknik = Pikir sebelum Nikmat.

Wabup Sikka ajak tokoh agama majukan pembangunan.
Mereka sudah dari dulu, Pak.

BLT naikkan daya beli masyarakat 6 persen.
Juga naikkan daya pesona capres.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Untuk Kadiskes Manggarai

Kasus Honor Tenaga Harian Lepas

Oleh Frans Anggal

Di Manggarai, sudah empat bulan tenaga harian lepas bidang kesehatan belum menerima honor. Januari hingga April 2009. Jumlah mereka ratusan, umumnya perawat, tersebar di seluruh Manggarai. Jam kerja mereka sama seperti jam kerja PNS. Kalau akhir bulan PNS muka cerah terima gaji, para tenaga lepas ini hanya lonto acu, menunggu dalam ketidakpastian. Kini mereka sudah tidak tahan. Mereka mengeluh sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Apakah karena tidak ada anggaran? Anggaran ada, kata Wakil Ketua DPRD Jack Mut Naur. Anggaran untuk tenaga harian lepas pada sejumlah instansi sudah dialokasikan dalam APBD. Kalau begitu, kandas di mana?

Kandas di Dinas Kesehatan. Tapi Kadiskes Yulianus Weng punya alasan. Bukan tidak bayar, tapi belum, karena masih diproses. Pihaknya sudah mengajukan permohonan SK kepada bupati agar para tenaga lepas punya kekuatan untuk mendapatkan haknya. Prosesnya masih di dinas pendapatan dan keuangan. Yang ia khawatirkan, kalau tenaga harian tidak ada dalam DPA Diskes Manggarai maka mereka tidak akan menerima honor.

Ini mengerikan. Para tenaga lepas itu direkrut. Dipekerjakan. Tapi kerja tanpa SK. Lalu, karena tidak ada SK, honor tidak diberikan. Kadiskes gampang saja bermaian bahasa. Kata “tidak” diganti dengan “belum”. Bukan tidak bayar, tapi belum bayar. Bukan tidak ada SK, tapi belum ada SK.

Dalam banyak kasus, para pejabat suka berulah seperti ini. Memakai language game atau ‘permainan bahasa’ untuk menyembunyikan kenyataan sebenarnya dan ketidakbecusannya sendiri. Lapar dibilang rawan pangan. Rawan pangan dibilang rawan daya beli. Harga naik dibilang harga disesuaikan. Rakyat makan ubi hutan karena kelaparan dibilang ubi hutan itu pangan alternatif’ warisan nenek moyang.

Pujangga Inggris William Shakespeare sangat tepat ketika menggoreskan seuntai bait yang menyentil soal bahasa dan penamaan. What is in a name? Apa arti sebuah nama? Mawar, dengan nama apa pun yang kita berikan padanya, ia tetap semerbak mewangi.

Dalam kasus honor tenaga harian Diskes Manggarai, istilah apa pun yang digunakan, ia tetap kasus. Tidak bayar honor atau belum bayar honor, sama saja. Dua-duanya tetap menceritakan ketidakbecusan manajemen. Dari sisi dampaknya juga sama saja. Para tenaga lepas mengeluh. Mereka sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Honor itu hak para tenaga harian lepas. Mereka sudah direkrut, sudah dipekerjakan, dan sudah bekerja. Soal hak, tidak ada diskusi. Hak hanya mengenal satu kata: penuhi! Ada SK atau tidak, anggarannya masuk APBD atau tidak, diperhitungkan dalam DPA diskes atau tidak, itu bukan tanggung jawab mereka. Itu urusan DPRD, bupati, kadiskes, dan kadis terkait.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 April 2009


SENGGOL

Mulai 1 Mei 2009, Pemkab Ende berlakukan enam hari kerja.
Setelah eksperimen yang mahal.

Psikolog: Caleg yang stres karena gagal, bermental pencari kerja.
Pemilihnya bermental cari ‘gizi’.

Kadis PU Ngada: Dalam tender, pungutan pada kontraktor dilarang.
Kalau uang datang sendiri?

Om Toki

Selengkapnya...

21 April 2009

Dua Anak Panti Asuhan Don Bosco Tenggelam

Delapan Anak Selamat

Oleh Maxi Gantung

LEWOLEBA -- Dua anak Panti Asuhan Don Bosco Lewoleba, Maria Ose Muda dan Helena Monika Ehe, Minggu (19/4) tenggelam di Pantai Lerahinga Kecamatan Lebatukan. Delapan lainnya berhasil diselamatkan. Dua jenazah korban sempat dibaringkan di Panti Asuhan Don Bosco sebelum dibawa ke keluarga masing-masing.

Keluarga besar Panti Asuhan Don Bosco Lewoleba, Minggu (19/4) berpiknik di Pantai Lerahinga. Ada 70 anak panti yang ikut. Bersama mereka ada orang tua, karyawan, dan para suster.

Kepala Panti Asuhan Don Bosco Suster Yuli, CIJ belum bisa dimintai keterangannya karena masih lelah dan masih trauma dengan peristiwa tersebut. Dia minta wartawan konfirmasi pada suster lainnya.

Suster Servia CIJ, didampingi Suster Yakobin mengatakan, rombongan berangkat dari Lewoleba pkl. 10.00. Di lokasi piknik, anak-anak mandi, tapi mereka mandi di pinggir pantai. Sedangkan anak-anak lainnya duduk di pinggir pantai. Suster Servia kupas mentimun untuk anak-anak usia 2-5 tahun.

Mereka bentangkan terpal di pinggir pantai. Suster Yuli minta Suster Theresia membeli ikan. Sekitar 30 menit sesudahnya, dia mendengar teriakan anak-anak bahwa ada teman mereka yang tenggelam.

Musa, karyawan di Pantai Asuhan langsung berenang dan membantu 10 anak tersebut. Suster mengatakan ia melihat anak-anak memeluk di Musa. Delapan anak bisa diselamatkan dan berhasil dibawa ke pantai dalam kondisi lemas. Dua lainnya tidak bisa diselamatkan.

Masyarakat sekitar datang membantu mencari Maria Ose dan Helmi menggunakan perahu. Mereka temukan Maria Ose, siswa kelas VI SD masih bisa bernafas, tapi mulutnya berbusa. Selang beberapa lama, mereka temukan Helmi, siswa kelas II SD. Kondisinya parah. Mata belalak dan lidah menjulur.

Sepuluh anak ini sempat dilarikan ke Puskesmas Hadakewa namun karena kondisi mereka parah akhirnya dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Lewoleba. Namun Tuhan menghendaki lain, Maria Ose dan Helmi tidak tertolong. Sementara 8 teman lainnya dirawat di rumah sakit. Delapan anak ini sudah sembuh dan kini sudah kembali ke Panti Asuhan Don Bosco.

Lorensia Peni Mukin (kelas VI SD) yang selamat dalam peristiwa itu menjelaskan mereka mandi kurang lebih dua meter dari bibir pantai. Saat itu pasang surut dan lautnya tenang. Mereka melihat ada kayu besar terapung. Maria Ose memegang salah satu bagian ujung kayu tersebut. Teman-teman lainnya memegang Maria Ose untuk tarik ke bibir pantai. Namun mereka tidak sadar justru mereka terbawa ke dalam bersama kayu tersebut. “Kami tidak sadar kalau kami terbawa arus. Kami mandi dekat pantai saja,” katanya.

Petrus Demo Tolok (kelas VI SD) mengatakan mereka mandi tidak jauh dari Maria Ose dan kawan-kawan. Mereka kaget dengar teriakan teman-teman lainnya.

Anak Rajin
Sr Yakobin CIJ mengatakan Helmi rajin. Dia ingat sekali dengan Helmi. Jika anak-anak lain belum datang, Helmi duluan membersihkan ruang kelas.
Petrus Demo Tolok mengatakan Maria Ose dan Helmi selama mereka hidup bersama di panti asuhan baik-baik saja. “Kami kehilangan adik, kakak teman dan sahabat yang senasib”.

Dibawa ke Keluarga
Jenasah Maria Ose dan Helmi dibawa ke keluarga mereka masing-masing. Helmi dibawa ke Lewokukung Kecamatan Nubatukan. Orang tua Helmi dan kakak-kakaknya masih hidup dan tinggal di Lewokukung.

Maria Ose asal Leragere, ayahnya sudah meninggal dunia. Ibu dan dua kakaknya masih hidup dan semuanya tinggal di Panti Asuhan. Jenasah Maria Ose disemayamkan di rumah Kunkradus Koli Muda di Berdikari Keluarhan Lewoleba.*
Selengkapnya...

Dua Puluhan Ketua KPPS Datangi KPUD

Tolak Honor

Oleh Christo Lawudin

RUTENG -- Sebanyak 20-an Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) dari Kecamatan Wae Rii mendatangi KPUD Manggarai, Senin (20/4) untuk mempersoalkan honor. Mereka menilai, pada saat penjelasan soal honor, mereka akan diberi Rp400 ribu. Namun, pada saat pembayaran, mereka hanya diberi Rp200 ribu, sehingga mereka tolak.

Dua puluhan Ketua KPPS dan anggota KPPS tersebut datang dari Desa Ranaka, Wae Rii, Bangka Jo, Golo Mendo, Timung, dan Golo Cadar. Sekitar 15 menit menunggu di halaman kantor KPUD, mereka diterima Sekretaris KPUD Bona Jenadut yang didampingi anggota KPUD Deby Syukur.

Mereka tidak puas dengan penjelasan KPUD, langsung meninggalkan tempat pertemuan. Mereka berencana memboikot pemilu presiden jika masalah ini tidak segera diselesaikan.

Situasi pertemuan aman. Sebagai langkah antisipatif, Kabag Ops Polres Manggarai Agustinus Nggana bersama sejumlah anggota Polres sempat datang ke KPUD.

Seorang KPPS Kornelis Man di hadapan Sekretaris KPUD Bona Jenadut
mengatakan, mereka terpaksa datang ke KPUD karena ada perbedaan antara penjelasan besarnya honor dan realisasi pembayaran. Dikatakan, pada saat sosialisasi, honor ketua KPPS untuk tahap dua Rp400 ribu. Saat pembayaran dijelaskan, hanya Rp200 ribu untuk Pileg dan Rp200 ribu untuk Piplres.

”Penjelasan ini yang kami tidak mengerti. Kami tidak terima ini. Mengapa tidak disampaikan dari awal seperti ini. Makanya, kami datang ke KPUD,” katanya.
Seorang anggota KPPS, Hilarius menambahkan, kerja para KPPS bersama anggotanya cukup berat. Karena itu, kalau honornya hanya seperti itu,pasti banyak yang tidak mau terima. Lebih baik memilih pekerjaan lain daripada mengurus pelaksanaan Pileg.

”Kami pertanyakan, mengapa akhirnya seperti ini. Mengapa penjelasan dari awal tak terbuka untuk 2 tahap untuk Pileg dan Pilpres. Kita kecewa sekali. Untuk Pilpres, kita tak urus lagi. Cari orang lain saja,” katanya.

”Honor tak sama memang untuk para ketua dan anggotanya. Ketua Rp225 ribu dan anggotanya Rp200 ribu. Yang jelas, yang dibayar hanya setengah dari penjelasan awal Rp 400 ribu. Kami tolak kalau honor seperti itu.”

Sekretaris KPUD Bona Jenadut mengatakan, sesuai dengan aturan dan petunjuk penggunaan dana untuk Pemilu tersebut ada 2 tahap. Tahap pertama, pembayaran honor untuk pelaksanaan Pileg dan tahap berikut untuk Pilpres. Pengaturan tersebut sudah jelas dari pusat. Di daerah tinggal hanya membayarnya sesuai dengan petunjuk tersebut.

”Aturannya seperti itu. Kita tak buat di sini. Karena itu, tidak ada belaskasihan untuk honor. Kita hanya laksanakan aturan pusat,” katanya .*

Selengkapnya...

Ahli Waris Minta Tanah Eks Sekolah China

Kembalikan ke Yayasan

Oleh Anton Harus

ENDE -- Para ahli waris tanah eks sekolah China minta pemerintah segera mengembalikan tanah eks sekolah kepada pemiliknya. Mereka menolak tanah ini dikembalikan ke yayasan sekolah China, karena yayasan tersebut sudah lama bubar.
Hal ini terungkap dalam dengar pendapat dewan, pemerintah, Dandim 1602 serta para ahli waris Ende di ruang gabungan komisi DPRD Ende, Senin (20/4).

Rapat dengar pendapat ini dipimpin Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ende Ruben Resi, didampingi Ketua Komisi A, Agil Ambuwaru dan anggota komisi A lainya.

Ruben Resi membuka rapat dengar pendapat ini dengan membacakan sejumlah keputusan, baik dari DPRD Kabupaten Ende maupun surat dari Departemen Hukum dan HAM RI yang pada intinya meminta Pemkab Ende segera mengembalikan tanah eks sekolah China ini kepada Yayasan Sekolah China (Hua Chiao).

Dalam acara dengar pendapat dengan para ahli waris dan pemerintah Kabupaten Ende serta Dandim 1602 Ende M. Shokir dan sejumlah tokoh masyarakat Kabupaten Ende Bai Ibrahim dan Heden Mochyeden diperoleh kesimpulan bahwa tanah eks sekolah China akan dikembalikan kepada Yayasan Sekolah China.

Dalam pertemuan ini pemerintah diwakili Asisten III Setda Ende Bernadus Guru, Kabag Otdes Martin Satban, Dandim 1602 Ende M Shokir, ahli waris Maria Marselina Nona, Randa Ndapanamung serta anak Ketua Yayasan Sekolah China Agustinus Aris Budiman serta P H Budiman, Dari tokoh masyaraat hadir H. Bai Ibrahim serta Heden Mochyeden.

Wakil Ketua DPRD Ende, Ruben Resi mengatakan, pembicaraan tentang tanah eks sekolah China sudah final. Meski tanah ini sudah disertifikat oleh pemerintah Kabupaten Ende untuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, namun karena prosesnya tidak benar, maka pemerintah harus mengembalikannya ke Yayasan Sekolah China Ende.

Asisten III Bernadus Guru pada kesempatan itu mengatakan, ia hadir dalam pertemuan itu tanpa ada pesanan khusus dari Bupati Ende. Namun Bernadus Guru meyakinkan peserta rapat bahwa sikap bupati pasti baik Bupati Ende dalam dua kali pembicaraannya selalu berusaha untuk mencari cara terbaik kembalikan tanah eks sekolah china ini.

Bertahap
Dandim 1602 Ende M. Shokir pada kesempatan itu mengatakan, soal kronologi tanah eks sekolah China sudah jelas. Menurut M. Shokir, Kodim sejak semula selalu berusaha untuk bekerja sesuai aturan. Namun yang lebih penting adalah kepentingan negara. Kodim bersusaha agar situasi tetap kondusif dan selalu mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Tanah ini dulunya dititipkan ke Kodim sesuai kondisi politik saat itu. “Tetpai sekarang situasi politik sudah lain. Keadaan sudah kondusif. Es sudah mulai mencair. Yang penting kita tidak keluar dari aturan yang ada,” kata M. Shokir.

Ketua Komisi A, Agil Ambuwaru mengatakan, tanah eks sekolah China ini sudah tidak ada persoalan lagi. Penyelesaian secara politik sudah final. Kalau ada pihak ketiga yang mau masuk silakan gugat ke pengadilan. Sementara Pemda kalau mau menguasai tanah itu harus ada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. “Kalau sekarang sudah disertifikat, itu namanya penggelapan,” kata Agil.

Dua saksi hidup pengambil alihan tanah eks sekolah China Bai Ibrahim dan Heden Mochyeden pada kesempatan itu, menyatakan pengambil alihan tanah sekolah China saat itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini, kata keduanya, yang bertindak sebagai ketua pemuda Ansor saat itu masih ada kaitannya dengan peristiwa G 30 S PKI. Bai Ibrahim mengatakan, kembalikan tanah itu secara baik-baik. Jangan lewat proses Hukum. Heden Mochyeden merupakan orang yang langsung bertemu ketua paguyuban masyarakat Tiong Hoa di Ende saat itu. Ketika itu, dia menyerahkan tanah tanpa syarat kepada masa pemuda Ansor.

Kembalikan ke Pemilik
Para ahli waris tanah eks sekolah China yang hadir pada rapat kemarin, Maria Marselina Nona, Randa Ndapanamung dan Alex Joan Sine meminta dewan untuk memfasilitasi agar tanah ini tidak dikembalikan ke yayasan. Alasan mereka karena Yayasan Sekolah China sudah lama bubar. Yansen Budiman yang selama ini bertindak atas nama Yayasan Sekolah China hanya sebagai ketua Paguyugan Orang Tiong Hoa dan mengurus soal pekuburan orang Tiong Hoa di Ende, tetapi bukan ketua Yayasan Sekolah China. Untuk itu mereka minta agar tanah dikembalikan kepada para ahli waris.
Terhadap permintaan ini baik Ruben Resi, Agil Ambuwaru dan Dandim M. Shokir tidak sependapat. Mereka tetap meminta pemerintah kembalikan tanah ini kepada Yayasan Sekolah China.

“Penyelesaian di dewan secara politis. Pemerintah akan kembalikan tanah ini kepada Yayasan Sekolah China. Soal nanti ada urusan dalam keluarga, itu menjadi urusan keluarga. Dewan dan pemerintah tidak mau ikut campur,” kata Ruben Resi.

Agustinus Aris Budiman mewakili Ketua Yayasan Sekolah China, Yansen Budiman mengatakan, perjuangan ayahnya selama ini untuk kepentigan orang banyak. Tidak ada konspirasi yang dilakukan ayahnya terhadap tanah eks sekolah China ini. Untuk itu, Aris mengatakan, pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan penyelesaian ini silakan ke pengadilan, kata Aris Budiman.

Hingga akhir pertemuan Dewan tetap pada keptusannya untuk mengembaikan tanah eks sekolah China ke Yayasan.*

Selengkapnya...

KPUD NTT Batal Pleno Rekapitulasi

Oleh Leonard Ritan


KUPANG -- KPUD NTT terpaksa membatalkan pleno rekapitulasi penghitungan suara tingkat provinsi yang dijadwalkan, Senin (20/4) karena belum semua kabupaten menyelesaikan pleno rekapitulasi tingkat kabupaten.

Juru Bicara KPUD NTT, Djidon de Haan di ruang kerjanya, Senin (20/4) mengatakan, pleno rekapitulasi akan dilaksanakan pada Rabu (22/4). ”Hari ini (kemarin) kita adakan rapat pleno terkait penundaan pleno rekapitulasi penghitungan suara. Hasil rapat pleno ini sebagai dasar hukum pergeseran jadwal kegiatan pleno rekapitulasi,” kata Djidon.

Djidon menegaskan, pihaknya sudah memastikan bahwa pleno rekapitulasi tingkat provinsi tak akan bergeser dari waktu yang ditetapkan pada 22 April. Dari hasil koordinasi dengan KPUD kabupaten/kota se-NTT, tinggal beberapa kecamatan yang belum diplenokan. Sehingga dalam dua hari ke depan, dipastikan pleno rekapitulasi tingkat kabupaten/kota sudah final.

Sebelumnya, Djidon katakan, hingga Sabtu (18/4) sudah lima kabupaten yang sudah menyelesaikan pleno di tingkat kabupaten, yakni Sikka, Ende, Ngada, Sumba Tengah dan Rote Ndao. Sedangkan kabupaten dan kota lainnya sedang melaksanakan rekapitulasi untuk beberapa PPK. Memang sesuai jadwal, rekapitulasi di tingkat PPK sudah harus selesai pada 17 April. Namun karena hingga batas waktu yang ditentukan pun belum selesai, KPU Pusat dalam suratnya No. 689 butir 3 menyebutkan, PPK harus tetap menyelesaikan rekapitulasi untuk semua TPS yang tersebar di desa dan kelurahan.

Djidon menyampaikan, untuk Kabupaten Flores Timur dan Lembata yang pelaksanaan pemungutan suara pada 14 April lalu pun, pleno rekapitulasi penghitungan suara sudah di tingkat PPK. Diharapkan, dengan keterlambatan waktu pelaksanaan, mereka dapat mengejar ketertinggalan rekapitulasi penghitungan suara. Sehingga pada saatnya, rekapitulasi di tingkat kabupaten dan provinsi, bersamaan dengan daerah lain sesuai limit waktu yang ditetapkan.

Djidon menerangkan, setidaknya ada dua faktor terlambatnya penyelesaian pleno rekapitulasi di tingkat PPK, yakni manajemen/pengelolaan rapat di PPK. Ini disebabkan oleh banyaknya saksi atau orang yang sebenarnya tak berkepentingan mengajukan protes pelaksanaan rapat dan bahkan ada yang meminta agar khusus untuk DPRD kabupaten/ kota dihitung ulang. Faktor lainnya adalah terbatasnya penerangan dimana PT PLN (Persero) masih memberlakukan pemadaman listrik bergilir.

Anggota KPUD NTT lainnya, Gazim M. Nur menyampaikan, hingga saat ini baru 2,746 persen atau 75.110 suara sah yang sudah masuk di KPUD NTT. Sedangkan jumlah pemilih sebanyak 2,7 juta lebih. Diharapkan, KPUD kabupaten/kota segera menyelesaikan pleno rekapitulasi baik di tingkat PPK maupun kabupaten/kota.

Gazim mengungkapkan, data sementara perolehan suara untuk setiap parpol dan DPD yang disampaikan KPUD NTT selama ini diambil dari data tabulasi KPU Pusat dari Hotel Borobudur menggunakan Information Technology (IT). Sedangkan rekapituasli di tingkat kabupaten/kota dilakukan untuk masing-masing parpol dan caleg untuk empat lembaga perwakilan, yakni DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi, DPR RI dan DPD RI.*
Selengkapnya...

Para Petani Harus Didampingi

Untuk Tingkatkan Produksi Pertanian

Oleh Leonard Ritan

KUPANG -- Produktivitas pertanian yang terjadi selama ini tidak memberi peningkatan kesejahteraan bagi para petani. Karena hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama setahun sambil menunggu musim tanam atau panen berikutnya setelah dikurangi dengan biaya produksi. Untuk itu, petani harus didampingi secara intensif dengan berbagai program dan tenaga lapangan yang memadai dan berkualitas.

Penegasan ini disampaikan Cosmas Padha kepada Flores Pos di Kupang, Jumat (17/4) menyikapi kondisi pertanian NTT yang memprihatinkan.

Menurut Cosmas, pemerintah setiap tahun melaksanakan program pemberdayaan petani dengan dana miliaran rupiah. Namun tidak memberi hasil yang optimal karena tak diikuti dengan pendampingan yang memadai. Para petani terkesan dijadikan sebagai proyek untuk memenuhi program yang dicanangkan. Bahkan ada kecenderungan, sejumlah pihak tertentu tak setuju kalau uang yang dialokasikan langsung ditransfer ke rekening petani.

“Jika pemerintah menyatakan keberpihakan terhadap para petani, maka pendampingan petani harus dilakukan secara intensif. Dengan demikian, para petani mampu beradaptasi dengan semua inovasi yang terjadi,” tandas Cosmas.

Cosmas menegaskan, sebagai putra daerah Ngada yang memiliki pengetahuan yang cukup di bidang pertanian, dirinya terdorong untuk tampil sebagai pemimpin guna membantu meningkatkan kehidupan para petani. Karena sekitar 80 persen penduduk NTT termasuk Ngada bermata pencaharian petani. Jika kelompok mayoritas ini tak diperhatikan dengan sungguh, boleh dikatakan pemerintahan dimaksud gagal mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Cosmas menegaskan, pengalaman masa lalu dibidang birokrasi selama 36 tahun enam bulan baik di Kabupaten Kupang, Provinsi NTT maupun Kabupaten Nagekeo dinilai sudah cukup. Segudang pengalaman masa lalu dimaksud dijadikan sebagai modal dasar pengembangan program pemberdayaan masyarakat. Ini bukan berarti, pemimpin sebelumnya tak sukses. Semua pemimpin tentunya tampil sesuai perkembangan zaman dan situasi yang terjadi. Semua pasti mengahadapi kendala dan solusi yang harus diambil. Untuk itulah, seorang pemimpin yang tampil harus mampu mengetahui semua permasalahan yang terjadi dan bagaimana mengatasinya.

Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Provinsi NTT, Piet Muga mengatakan, pemerintah provinsi dalam program pemberdayaan terhadap petani, telah mengalokasikan sejumlah dana. Salah satu program yang sedang dilaksanakan adalah meningkatkan produksi jagung dalam kerangka menjadikan NTT sebagai provinsi jagung.
Peningkatan produktivitas jagung ini, lanjut Muga, diharapkan pada saatnya tak hanya untuk konsumtif saja sebagai terjadi selama ini tapi juga dipasarkan. Untuk pemasaran, pemprov siap membantu. Karena itu, masyarakat tak perlu kuatir akan pemasaran hasil produksi jagung sebagaimana yang terjadi dengan program-program pemerintah lainnya.*
Selengkapnya...

Artis Indonesia Adopsi Bakat Lokal

Oleh Matt Crook
Sindikasi Pantau

YAHIYA Lambert tak akan meninggalkan Timor Timur hingga keinginannya mendirikan akademi seni yang pertama di negeri ini terwujud. Dia sudah tinggal di sana selama 28 tahun, sehingga sedikit waktu lagi tak jadi masalah bagi orang Indonesia berusia 37 tahun yang berasal dari Kepulauan Maluku ini.

"Hidup saya pertama-tama untuk seni dan akademi impian saya. Begitu berhasil mendirikan akademi, saya akan kembali ke Indonesia," ujarnya.

Di lantai dua bangunan terlantar di Dili ada studio seni milik Lambert, yang sekaligus menjadi rumahnya. Lantainya tak rata dan sudah lama tak memiliki atap. Tapi inilah markas Sanggar Masin, sebuah kelompok seni yang jadi rencana besar Lambert.

Lambert mendirikan sekolah seni yang fokus pada puisi di distrik Manatutu pada 1996, bernama Sanggar Matan, kini beroperasi sebagai studio di Dili. Dia juga memiliki Sanggar Cultura yang menangani batik di Becora, Dili, dan Sanggar Cusin yang fokus pada lukisan cat minyak di distrik Oecussi. Sanggar Masin menjadi pusat dari semua sanggar.

"Di seluruh Timor Timur saya memiliki 346 murid. Saya punya empat sanggar yang aktif. Saya mendirikan sanggar karena dengan seni Anda bisa menggerakkan jiwa Anda," ujarnya.

Baltazar Alemeida Baptista, berusia 22 tahun, adalah satu dari delapan murid yang tinggal di studio Sanggar Masin. Dia masuk sekolah seni itu pada 2008 setelah ditemukan di Same. "Salah seorang guru di sanggar itu mengatakan bahwa saya punya bakat dan saya bisa masuk ke sini di Dili untuk mengoptimalkannya. Menurut saya, Timor (Timur) perlu banyak artis karena saat ini hanya sedikit. Saya punya kesempatan untuk melukis di sini."

Lambert mengerjakan proyek-proyek dari LSM dengan murid-muridnya, mengajar fotografi dan desain grafis, serta membantu anak-anak didiknya menjual karya-karya mereka. Tapi dia sering tak punya cukup uang karena sebagian besar keuntungan sanggar dikirimkan ke Indonesia, tempat Lambert mengirim selusin pelajar Timor-Timur ke universitas.

"Kini kami punya 12 mahasiswa di Yogyakarta. Saya mengirim pemuda Timor dari kelompok saya di Manatutu dan beberapa lainnya dari sanggar lain ke universitas untuk mengambil jurusan seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Juni mendatang saya ingin mengirim tujuh orang lagi,” katanya.

“Orang Timor Timur bisa berbahasa Indonesia dan di Indonesia biaya sekolah lebih murah. Saya sebenarnya lebih suka mengirim mereka ke Australia atau tempat lain tapi saya tak punya uang. Kami tak mendapat dukungan pemerintah. Dukungan datang dari murid-murid di sini yang bekerja bersama kami.”

Dalam enam bulan, Lambert menghasilkan 4.000 dolar dari kerja kerasnya. Dalam enam bulan itu pula dia harus mengeluarkan 500 dolar untuk biaya kuliah per orang dari 12 mahasiswa dan mengirimkan uang makan dan keperluan lainnya.

“Saya tak punya cukup uang. Saya berbicara dengan rektor universitas dan untuk satu semester itu saya tak harus membayar seluruhnya. Saya membayar, katakanlah, 50 persen dan bulan berikutnya, bila saya punya uang, saya akan bayar. Saya punya kesepakatan dengan rektor. Saya katakan padanya, ‘saya orang Indonesia, dan Anda harus membantu saya. Saya sedang membangun dunia seni di Timor.’ Saya punya utang di Indonesia sekitar 8.700 dolar.”

Impian Lambert adalah sebuah akademi seni yang independen di Timor Timur. Dengan tenggat 2014, dia hanya mengirim murid paling berbakat dan loyal untuk belajar di Indonesia.

Mereka belajar selama lima tahun hingga meraih gelar. Mereka sepakat kembali dengan membawa ketrampilan dan pengetahuan baru untuk membantu Lambert mewujudkan akademi.
Dia pernah ditampik pemerintah dan mencari tempat lain yang mau mendukungnya.
“Saya pernah datang dan berbicara dengan pemerintah pada 1998. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka tak hendak memberi dukungan uang untuk murid-murid saya. Pemerintah mengatakan tidak, karena prioritas mereka bukanlah seni. Saya tak patah arang. Anda berbicara seperti ini kepada saya tapi hati saya seperti batu, seperti besi. Saya ingin mewujudkan impian saya di Timor [Timur],” ujarnya.

“Kini saya pikir, jika kami mendirikan akademi seni dengan pemerintah, itu akan menyulitkan orang dari negara lain yang ingin datang dan bekerja sama karena akan ada banyak proses (birokrasi). Menurut saya, seni harus bebas dan independen. Dengan demikian negara lain bisa datang dan bekerja sama dengan kami.”

Meski akademinya penuh hambatan, Lambert mempersiapkan sebuah acara di Dili untuk memamerkan karya seni dari 12 muridnya yang belajar di Indonesia.

Pameran itu akan digelar Mei mendatang. Lokasinya masih belum diputuskan. Lambert sendiri harus menunggu apa saja karya yang muridnya usulkan dan kirimkan ke Timor Timur.

Lambert juga berencana membangun situsweb. Sehingga dia bisa berhubungan dengan orang-orang yang tertarik untuk membantu dunia kesenian di Timor Timur.*
Selengkapnya...