27 April 2009

Carut Marut Pemilu

Oleh Benny Obon
Mahasiswa STFK Ledalero

Pemilu legislatif 2009 sudah diselenggarakan. Kita patut berbangga karena pesta lima tahunan itu dilaksanakan dengan aman. Tidak ada konflik berarti. Meski demikian, pemilu kali ini sungguh mengecewakan banyak pihak. Tingginya persentase masyarakat yang tidak ikut pemilu disesalkan.

Banyaknya masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilu merupakan prestasi terburuk dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia. Masyarakat yang merupakan substansi dasar dalam suatu negara demokrasi sebenarnya menjadi penentu sekaligus ukuran berjalan tidaknya proses demokrasi.

Namun, apa yang terjadi jika kebebasan masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu dalam suatu negara demokrasi dibatasi?

Dalam sejarah penyelenggaraan pemilu sejak reformasi di Indonesia, pemilu kali ini merupakan yang terburuk. Carut marut dan kegagalan itu disebabkan oleh lemahnya kinerja kerja KPU.

Sebagai penyelenggara, KPU mesti independen dalam segala hal. Independensi KPU tampak dalam kinerja kerja yang apik, teratur dan teliti. Keapikan itu menunjukkan jati diri lembaga tersebut sebagai yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Namun, pada pemilu lagislatif ini, KPU tidak menunjukkan esensi tersebut. Di sini KPU menjadi “pembunuh” demokrasi yang sedang bersemi dengan tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu.

Setidaknya ada beberapa kepincangan yang dibuat oleh KPU yang menyebabkan pemilu kali ini carut-marut dan dinilai gagal. Pertama, soal pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT). Persentase masyarakat wajib pilih yang tidak terdaftar cukup tinggi.

Ketidaktelitian dalam pemutakhiran daftar pemilih menyebabkan banyak masyarakat kehilangan hak suaranya. Hal ini disebabkan karena KPU menggunakan data dari daftar pemilih dalam Pilkada dan Pilgub dari setiap daerah beberapa waktu lalu. Itu berarti kalau seorang wajib pilih tidak terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada dan Pilgub, otomatis ia juga tidak terdaftar sebagai pemilih tetap pemilu legislatif. Cara kerja KPU seperti ini menunjukkan bahwa mereka lebih suka cari gampang dan tidak mau bekerja keras.

Hal lain yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak suaranya dalam pemilu kali ini adalah migrasi. Kita tidak dapat menyangkal bahwa setiap saat banyak masyarakat yang berpindah tempat tinggal dari suatu daerah ke daerah lain. Misalkan saja, seseorang yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada atau Pilgub dalam kota X, ketika ia pindah ke kota Y ia kehilangan hak suaranya karena tidak termasuk dalam daftar pemilih dalam kota tersebut.

Ini juga disebabkan karena bertepatan dengan hari raya keagamaan umat Kristiani. Umumnya pada setiap hari raya keagamaan banyak masyarakat beragama yang melakukan mudik dan merayakan hari raya keagamaan di tempat lain. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada waktu upacara prosesi di Larantuka beberapa waktu lalu. Begitu banyak mahasiswa dan masyarakat biasa yang datang dari luar daerah dan umumnya mereka sudah berada di Larantuka satu minggu sebelum upacara Semana Santa dimulai. Itu berarti mereka tidak mengikuti pemilu. Sehingga tidak heran kalau persentase pemilih yang tidak ikut pemilu begitu tinggi.

Kedua, soal penentuan cara memilih dari coblos ke centang. Penentuan cara memilih dengan memberi tanda centang mengandaikan masyarakat sudah masuk dalam suatu diskursus rasio atau sudah mengalami rasionalitas. Dengan demikian masyarakat dapat memahami apa itu centang dan bagaimana memberi tanda centang. Kenyataan yang ada bahwa tingkat pendidikan masyarakat kita masih rendah. Hal ini menyulitkan masyarakat dan menimbulkan apatisme dalam diri sehingga mereka lebih memilih untuk tidak mau mengikuti pemilu atau tidak mau datang ke TPS-TPS. Memang sudah ditetapkan bahwa memilih dengan mencoblos juga sah – sebagai upaya untuk menyelamatkan suara rakyat. Namun karena sudah tertanam dalam diri masyarakat bahwa pemilu kali ini terlalu rumit apalagi didukung oleh kurangnya sosialisasi oleh KPU, maka mereka tetap memilih untuk tidak mengikuti pemilu.

Ketiga, soal jadwal pemilu yang bertepatan dengan hari raya keagamaan umat Kristiani. Sejak jadwal pemilu dikeluarkan sudah muncul penolakan dari berbagai kalangan dan mendesak KPU untuk menunda jadwal pelaksanaan pemilu. Namun, KPU tetap pada pendiriannya. Sikap KPU tersebut menimbulkan ketidaksenangan. Ekspresi ketidaksenangan ini pada gilirannya menimbulkan apatisme dalam diri masyarakat sehingga mereka tidak mau mengikuti pemilu. Dengan demikian menambah penjang daftar pemilih yang tidak ikut serta dalam pemilu.

Keempat, soal penentuan daerah pemilihan bagi para caleg. Penentuan daerah pemilihan bagi para caleg merupakan suatu upaya membatasi kebebasan politik bagi para caleg dan juga bagi masyarakat. Di sini ruang demokrasi dibatasi karena para caleg dibatasi hanya pada wilayah-wilayah yang sudah ditentukan oleh KPU – tanpa melihat basis suara yang mendukung seorang caleg. Sehingga tidak heran ada caleg yang berpotensi dan berwawasan luas tidak mendapatkan suara yang cukup di daerah pemilihannya.

Umumnya setiap caleg mempunyai basis pendukungnya tersendiri. Misalnya, caleg A berdomisili di kota P dan ia mendapat bagian di daerah pemilihan X dalam kota tersebut, sementara ia mempunyai basis pendukung yang kuat di daerah pemilihan Y. Maka, para pendukung caleg A di Dapil Y tidak dapat memilihya sementara mereka tetap pada pendirian tidak mau mendukung calon lain. Sikap seperti ini menimbulkan apatisme dalam diri para pemilih dan pada gilirannya mereka memilih untuk tidak ikut dalam pemilu.

Pengalaman carut-marutnya pemilu legislatif kali ini menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Carut-marut pemilu juga dapat menujukkan masyarakat kita belum dewasa dalam berpolitik. Masyarakat sebagai elemen dasar suatu negara demokrasi mesti benar-benar menunjukkan partisipasinya dalam berpolitik. Kebebasan sebagai ciri khas negara demokasi mesti digunakan sepenuhnya oleh masyarakat. Kebebasan masyarakat tersebut mesti didukung oleh independensi KPU.

KPU tidak boleh membatasi dan memasung hak dan kebebasan masyarakat dalam politik. Pengalaman carut-marut pemilu tersebut juga menjadi bahan refleksi menghadapi pemilu presiden nanti. Sehingga berbagai kepincangan pada pemilu legislatif tidak akan terjadi lagi pada pemilu presiden.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar