24 Februari 2009

Kasus Rm Faustin Belum Ada Kemajuan

Oleh Hubert Uman

BAJAWA (FP) - Hingga Selasa (24/2), penyidikan kasus kematian Romo Faustinus Sega Pr, Pastor Pembantu Raja Kevikepan Bajawa belum ada tanda-tanda kemajuan.

Polisi baru menahan dua tersangka Anus Waja dan Theresia Tawa. Sedangkan sejumlah tersangka yang disebutkan tim penyidik Polda NTT hanya sebagai saksi.


Pantauan dan informasi Flores Pos di Polres Ngada menyebutkan, tukang ojek yang bolak-balik menghantar Theresia Tawa di tempat kejadian perkara di Dena Biko Kelurahan Olakile Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Philipus Nerius Kolo Sada alias Rancy sudah diperiksa Jumat dan Sabtu (20-21/2). Namun dia diperiksa sebagai saksi.

“Penanganan kasus ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak orang yang diperiksa, tetapi masih sebatas saksi. Belum ada penambahan tersangka. Kasus ini masih terus dikembangkan,” kata Kepala Satuan (Kasat) Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polres Ngada AKP Ketut Bandria, di ruang kerjanya, Selasa (24/2).

Kasat Reskrim Ketut Bandria mengatakan, Polres Ngada masih terus mengembangkan penyelidikan. Keterangan saksi dan barang bukti terus dikumpulkan. Barang bukti berupa batu, kayu, HP, jeket, dan lain-lain belum disita penyidik Polres Ngada.

“Kami masih mencari barang bukti itu,”kata Ketut Bandria ketika ditanya berkaitan dengan sejumlah barang bukti yang menurut informasi sudah disita oleh Polres Ngada tanpa mendapat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Bajawa.

Humas Pengadilan Negeri (PN) Bajawa Johanis Dairo Malo mengatakan, Ketua PN Bajawa belum mendapat permohonan dari penyidik mengenai izin penyitaan barang bukti milik Romo Faustin.

“Pengadilan biasanya tidak pernah mempersulit memberikan izin penyitaan yang diajukan oleh penyidik. Begitu ada pengajuan izin penyitaan, pengadilan pasti memberikannya. Untuk izin penyitaan barang bukti kasus Romo Faustin belum ada,” kata Johanis Dairo Malo, Selasa (24/2) di ruang kerjanya.

Menurut Dairo Malo, penyitaan barang bukti, wajib dilakukan oleh penyidik. Kalau tidak ada izin dari Ketua Pengadilan, Kapolres bisa dipraperadilankan. Izin penyitaan dari Ketua Pengadilan ini diatur dalam pasal 38 ayat satu dan dua Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Di dalam ayat satu pasal 38 KUHAP ini, demikian Malo, ditegaskan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas izin ketua pengadilan negeri. Pada ayat dua pasal 38 KUHAP diatur, kalau dalam keadaan yang mendesak, penyidik boleh melakukan penyitaan, tetapi segera setelah itu polisi mengajukan izin penyitaan ke pengadilan negeri.*



Selengkapnya...

Tujuh Rumah di Kampung Adat Todo Rusak

Oleh Christo Lawudin

RUTENG (FP) - Tujuh rumah di komplek rumah adat Todo, Desa Todo dihantan angin. Dua dapur mencium tanah dan beberapa rumah atapnya diterbangkan angin. Warga belum memperbaikinya khawatir ada angin kencang susulan.

Penjaga Retribusi Kampung Adat Todo, Titus Jehadut per telepon kepada Flores Pos di Ruteng, Selasa (24/2) mengatakan, kerusakan rumah dan dapur pada musim angin tahun ini terbilang terparah beberapa tahun terakhir ini.


Atap 5 rumah diterbangkan angin. Dua dapur beratap seng hancur dan bahkan rata tanah. Bangunan sederhana yang rusak itu belum diperbaiki.

”Saya sudah hitung. Ada 7 rumah yang rusak. Rumah untuk penjaga juga rusak, kacanya jatuh. Kita sudah laporkan ke desa agar ada bantuan. Warga di dalam komplek perkampungan adat itu juga diberi bantuan bahan bangunan rumah. Sedangkan rumah adat tak ada masalah,” katanya.
Dia usulkan agar kerusakan ini diperbaiki sebelum musim turisme datang. Karena perkampungan adat ini adalah aset wisata budaya Manggarai.

Warga lain, Mateus Nudin saat pembagian bantuan, Kamis (18/2) mengatakan, belum semua korban angin kencang menerima bantuan pemerntah. Karena kerugian yang dilaporkan ke pemerintah kabupaten hanya sebagian.

”Yang lainnya, belum dapat apa-apa dari pemerintah. Padahal, kerusakannya hampir sama dan malah ada yang lebih buruk kondisinya. Kita minta untuk tahap kedua, warga yang belum dapat diprioritaskan,”katanya.

Kasubdin Rekonstruksi dan Bantuan Bencana, Frans Hemo mengatakan, bantuan korban bencana alam tahun ini belum berakhir. Yang diakomodasi saat ini adalah para korban yang melaporkan keadaannya saat kejadian.

”Yang kita beri beberapa waktu lalu itu, hanya untuk 44 keluarga pada 5 kecamatan. Di Satar Mese Barat 4 desa, di Kecamatan Satar Mese 1 desa Kecamatan Lelak 2 desa, Kecamatan Ruteng 1 desa, dan Kecamatan Rahong Utara 2 desa,”katanya.

Bupati Christian Rotok kepada wartawan di Ruteng, beberapa waktu lalu mengatakan, sesuai dengan data yang ada, untuk sementara taksasinya mencapai Rp1 miliar lebih. Jumlahnya bisa saja bertambah karena belum semua desa dan kecamatan melaporkan kondisinya.

”Kita terus pantau keadaan itu. Kita tetap data setiap laporan dari bawah yang masuk,”katanya.*


Selengkapnya...

Tim Pengkaji Lakukan Pengukuran Tanah di Bugalima

Oleh Frans Kolong Muda

LARANTUKA (FP) - Tim Pengkaji Masalah Tanah Kabupaten Flotim, Senin (23/2) melakukan identifikasi dan pengukuran lokasi tanah milik Pemkab Flotim di Desa Bugalima, Kecamatan Adonara Barat. Identifikasi dan pemetaan ulang lokasi tanah seluas lebih kurang 50 hektare itu untuk mengetahui pasti luas tanah yang diserahkan secara cuma-cuma oleh penguasa Adat Suku Woloklibang kepada Pemkab Flotim pada tahun 1976.

Kepala Sub Bagian Agraria dan Kerja Sama pada Bagian Administrasi Pemerintahan Setda Flotim, Simon Sabon Taka yang dikonfirmasi Flores Pos di ruang kerjanya Selasa (24/2) menjelaskan, tim pengkaji telah melakukan pengukuran ulang lokasi tanah yang diserahkan secara cuma-cuma pihak penguasa adat Suku Woloklibang kepada Pemda pada tahun 1976 untuk kepentingan umum. Pengukuran dan identifikasi ini menindaklanjuti persoalan tanah yang dihadapi dua pihak yakni Desa Ile Pati dengan Desa Bugalima. “Langkah awal Pemkab Flotim adalah melakukan pemetaan dan pengukuran ulang luas lokasi tanah penyerahan dari pihak Wolo kepada Pemda tersebut. Tim pengkaji akan segera lakukan kajian dan hasilnya akan dilaporkan kepada Bupati Flotim,” ujarnya.


Secara terpisah Kepala Bidang (Kabid) Penanganan Masalah Aktual pada Badan Kesbangpol dan Linmas Flotim, Adrianus Lamabelawa kepada Flores Pos di ruang kerjanya, Selasa (24/2) mengatakan untuk menyelesaikan masalah tanah antara Ilepati dan Bugalima, Bupati Flotim, Simon Hayon pada 29 Januari lalu telah menghadirkan para pihak antara lain Bugalima, Woloklibang, dan Ilepati dan Wureh. Pertemuan di ruang kerja Bupati itu telah didengar keterangan para pihak terkait masalah tanah tersebut.

“Menindaklanjuti pertemuan para pihak pada 29 Januari lalu itu, Senin (23/2) tim pengkaji yang terdiri dari Kesbangpol, Bagian Administrasi Pemerintahan, Sat Pol PP, dan BPN ke Bugalima melakukan identifikasi dan pengukuran lokasi tanah yang diserahkan oleh masyarakat Ilepati (Woloklibang ) pada tahun 1976 silam. Dalam identifikasi itu, peta dan batas sudah jelas tetapi luas tanah masih perkiraan kurang lebih 50 hektare. Karena luas tanah masih perkiraan, maka BPN lakukan pengukuran ulang Senin kemarin,” katanya.

Adi mengatakan, lokasi tanah penyerahan Ilepati pada tahun 1976 itu sebagian besar elah dijadikan pemukiman masyarakat tiga desa yakni, Desa Bugalima, Kimakamak, dan Pajinian.
Menurutnya, konflik Ilepati dan Bugalima adalah konflik horizontal yang dapat diselesaikan dengan baik jika pihak Bugalima memahami bahwa tanah yang ditempati sebagai pemukiman itu diperoleh dari pemerintah. “Lokasi sengketa Ilepati dan Bugalima terdapat di dua titik yakni, lokasi Tobi Lema dan Koli Keredok. Lokasi ini menjadi pokok sengketa yang diklaim oleh pihak Ilepati,” katanya.

Camat Adonara Barat, Valentinus Basa kepada Flores Pos di Kantor Kesbangpol dan Linmas, Selasa (24/2) mengakui, kehidupan sosial kedua pihak yang bersengketa (Ilepati dan Bugalima-Red) saat ini kondusif. Pada saat tim pengkaji turun ke Bugalima Senin kemarin, juga menghadirkan pihak Ilepati, Bugalima, Woloklibang, dan Wureh.


Selengkapnya...

Guru SDN Ipi Dijambret di Jalan Katedral

Oleh Hieronimus Bokilia

ENDE (FP) - Maria Bhara (38), guru pada SDN Ipi Kelurahan Tetandara Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende jadi korban jambret di Jln Katedral. Dia baru saja kembali dari pasar.
Seorang pengendera sepeda Vega-R warna merah membuntutinya. Tas yang ditaruh di bagian depan motor dijambret. Dalam tas ada kartu pegawai negeri (Karpeg), STNK, dan SIM dan sepasang anting. Kasus ini telah dilaporkan ke polisi.

Usai melaporkan kasus ini di kantor polisi, Senin (24/2), Bhara mengatakan, peristiwa ini terjadi sekitar pukul 10.00. Dia pergi ke kantor Dians Pendidikan Pemuda dan Olahraga untuk mengurus kenaikan pangkat. Dari sana dia pergi ke pasar.


Saat itu ada sepeda motor Vega R membuntutinya. Setelah menjambret tas, dia langsung lari dengan kecepatan tinggi ke arah timur. Penjambret kenakan jeket merah tanpa helm. Dia menutup kepalanya dengan topi jeket.

Karena panik dengan kasus ini, dia sempat memperhatikan lagi nomor polisi motor pelaku. “Untung saya lari pelan. Kalau tidak pasti saya bisa celak.”

Saat kejadian, dia berteriak. Namun saat itu tidak ada orang. “Saya berteriak maling-maling tapi tidak ada yang dengar.”

Bawa Kabur Tas
Dikatakan, penjambret membawa kabur tas yang berisi kartu pegawai negeri (Karpeg), SIM, STNK dan sepasang anting. Sedangkan sejumlah uang dan handphone yang biasanya disimpan di dalam tas sebelum kejadian sudah dikeluarkan.

“Tidak tahu. Sepertinya ada firasat. Uang dan HP saya keluarkan dan isi di saku baju”.

Jambret Lagi Marak
Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian (KPSK) Polres Ende, Ipda Petrus Sutrisno usai menerima pengaduan Maria Bhara kepada Flores Pos mengatakan, akhir-akhir ini kasus penjambretan lagi marak terjadi di Kota Ende. Bahkan, beberapa waktu lalu anaknya juga menjadi korban penjambretan. Bahkan , kasus jambret yang menimpa anaknya terjadi di depan kantor Polres Ende. Kebanyakan korban penjambretan adalah perempuan.

Polisi baru sebatas menerima laporan dan membuat laporan polisi. Dikatakan, kasus Maria Bhara merupakan kasus pencurian dengan kekerasan dan melanggar pasal 365 KUHP.
Petugas dari aparat Reserse dan Kriminal dan Satuan Intel akan terus memburu kasus ini. ”Unit-unit ini yang berkewenangan menelusiri keberadaan para penjambret, menangkap dan memproses mereka”.*



Selengkapnya...

Ruang Publik Demokrasi (3/habis)

Oleh FRANS OBON

TANYA jawab hanya dua sesi. Masalah yang dominan dibahas secara lebih luas soal menggunakan hak pilih, kapabilitas, moralitas dalam politik, dan dampingan terhadap para politisi. Abdurahman, seorang peserta menanyakan kepada panelis soal penggunaan hak pilih. Menyikapi adanya sikap masyarakat yang tidak mau menggunakan hak pilihnya, Abdurahman menegaskan perlunya menggunakan hak pilih dalam pemilu. Menurut dia, di tengah keraguan mengenai kemampuan para calon dan moralitas politik mereka yang mencemaskan, orang bisa memilih orang yang kebaikannya lebih banyak daripada yang kebaikannya sedikit. Konsep ini di dalam etika lebih dikenal dengan konsep minus malum, yakni memilih orang “yang keburukannya lebih kecil”. Kalau semua orang buruk, maka pilihlah orang yang keburukannya paling sedikit (kecil).

Partipasi dalam pemilu dengan menggunakan hak pilih, kata Basirun Samlawi, seorang panelis akan memberikan justifikasi pada pemimpin yang dipilih melalui Pemilu. Karena itu logikannya sedikitnya warga yang berpartisipasi atau memberikan suara dalam Pemilu akan mempengaruhi legitimasi atas kepempinan yang terpilih. Bagi dia apatisme (kemasabodohan) ini akan dapat merugikan proses demokratisasi, terutama dalam proses transisi demokrasi yang lagi terjadi di Indonesia.


“Dalam konteks Islam memilih jadi wajib jika pemilu itu memang diperlukan dan sebagai sesuatu yang wajib atau menggunakan hak pilih itu jika memang ada keharusan untuk menyempurnakan yang wajib itu,” katanya. Meski dia mengakui bahwa ada varian di dalam sikap boleh tidak menggunakan hak pilih ini. Karena itu dia menegaskan perlunya kecerdasan dan proses penyadaran bagi para pemilih.

Anom Triyandnya dari Parisada Hindu menegaskan pentingnya warga menggunakan hak pilihnya. Meski demikian dia juga mengatakan bahwa manusia juga punya hati nurani. Namun hak dan kewajiban di dalam konteks pemilu seperti ruas dan buku pada bambu.

Sedangkan Pendeta Yan Leymani dari GMIT Ende mengatakan, tidak menggunakan hak pilih itu adalah juga bagian dari pemilu damai. Menurut dia, jika ada kewajiban memilih, maka di sana ada paksaan untuk menggunakan hak pilih. Hal ini tentu akan menimbulkan konflik dalam batin. “Tidak boleh ada paksaan dan biarkan orang bergerak menurut hati nurani dan pilihan politiknya”.

Menurut dia, kecenderungan untuk tidak menggunakan hak pilih adalah ekspresi dari apatisme politik di kalangan warga. “Harapan kita adalah tidak ada warga yang memilih golput (golongan putih) namun jika ada yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah juga merupakan hak yang patut dihormati”.

Sedangkan Pater Budi Kleden menegaskan, menggunakan hak dalam pemilu adalah hak warga negara yang harus dihormati. Dalam demokrasi menghargai hak orang lain itu sesuatu yang penting. “Kalau saya merasa ada hal yang membuat saya tidak bisa menggunakan hak pilih saya, maka saya tidak bisa menggunakan hak saya”.

Dengan ini, katanya, dia tidak sedang menganjurkan orang untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Namun, dia ingin menegaskan bahwa menghormati hak orang lain itu sesuatu yang penting bagi demokrasi. Namun dia menegaskan lagi bahwa kalau seseorang tidak menggunakan hak pilihnya, pilihan itu tidak didasarkan pada apatisme politik, karena malas, melainkan didasarkan pada pertimbangan tertentu yang mendasar. “Jika didasarkan pada pertimbangan yang bertanggung jawab, maka ini kita harus hormati”. Konferensi Wali Gereja Indonesia pada Pemilu 1997 mengatakan bahwa tidak menggunakan hak pilih bukanlah dosa.
Prinsip dasar dari pemilu damai dan prinsip dasar demokrasi adalah menghargai hati nurani. Meski kita tahu bahwa pemilu adalah medium terbaik untuk memilih pemimpin. “Orang tidak bisa dipaksa untuk menggunakan haknya. Kalau ada paksaan berarti melanggar martabat orang”.

Menurut dia, tugas pemimpin adalah melindungi hak warga negara, sehingga negara tidak boleh memaksa warga negaranya untuk menggunakan hak pilihnya. “Ini kita ingatkan agar jangan ada polisi dari rumah ke rumah untuk mengecek orang pilih atau tidak. Sebab kalau negara memaksakan hal itu, maka akan ada petugas yang mengecek penggunaan hak pilih warga negara. Karena dalam negara demokrasi hanya negaralah yang satu-satunya diizinkan menggunakan kekerasan,” katanya.

Namun, “Saya ingatkan bahwa tidak dibenarkan orang tidak menggunakan hak pilihnya karena sikap malas tapi berdasarkan pertimbangan yang bertanggung jawab”.
Romo Stef Wolo Itu Pr, Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Katolik Keuskupan Agung Ende dalam sesi kedua minta panelis untuk tidak saja melihat masalah ini dari perspektif agama masing-masing, melainkan ada sikap inklusif, namun permintaan itu tidak dijawab secara eksplisit. Namun secara implisit ada satu keinginan untuk menghargai hak pemilih dan hati nurani orang dalam pemilu mendatang.

Mengenai kapabilitas calon saat ini dan pembinaan etika sebagaimana diangkat Philipus Hami, Pater Budi mengatakan, bagi Gereja sendiri politik adalah medan karya yang ditahbiskan sehingga keterlibatan para politisi Katolik di dalam politik adalah suatu panggilan. Di tingkat Konferensi Wali Gereja Indonesia, ada usaha untuk mengumpulkan calon legislatif dari Katolik agar mereka memperhatikan etika dalam berpolitik. Namun usaha ini bukan soal mudah karena seleksi calon dilakukan oleh partai politik. Karena itu dianjurkan agar induk partai yang melakukannya. Calon yang disodorkan kepada masyarakat luas mencerminkan atau menunjukkan kualitas partai politik yang mencalonkannya. Sehingga kita perlu kerja sama dengan ketua-ketua partai. Menurut dia, ada dua kemungkinan bisa terjadi dengan calon kita yakni terjadi perubahan watak saat menjadi calon dan saat setelah jadi calon.

Sedangkan Pendeta Yan berkelakar, “Kalau caleg tidak paham politik, repot. Kalau terlalu paham repot. Dia harus menempatkannya dalam moral politik yang sehat”. Namun dia lihat amat mengkhawatirkan kapabilitas calon, sejauh dia tahu.
Basirun mengatakan, untuk melihat kapabilitas calon, “Saya kira bisa diukur”.*



Selengkapnya...

Ruang Publik Demokrasi (2)

Oleh FRANS OBON

PADA bagian pertama dari presentasinya, Pater Paulus Budi Kleden bicara pandangan Gereja Katolik mengenai pemilu dan demokrasi. Menurut dia, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa demokrasi merupakan sistem yang layak dipuji. “Gereja mendorong perjuangan ke arah demokrasi, namun serentak mengingatkan bahwa penerapan sistem ini mesti disesuaikan dengan kondisi berbeda masing-masing wilayah,” katanya.

Gereja Katolik, katanya, menyadari sepenuhnya arti penting politik bagi dirinya, bagi perwujudan ideal sebuah masyarakat yang sejahtera dan manusia yang bebas. Gereja melihat keterlibatan dalam politik sebagai “panggilan” yang “berat namun mulia”. Orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas politik adalah “orang-orang yang memiliki integritas moral dan kebijaksanaan, dan karenanya orang-orang ini berani menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap orang dan kelompok lain”.


Bagi orang Katolik, aktivitas politik harus bersumber pada iman sebagai sumber visi, motivator kegiatan politik dan instansi moral. “Politisi Katolik harus merasa yakin bahwa berpolitik adalah sebuah panggilan”.

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere ini menegaskan bahwa Gereja Katolik menghargai pluralisme politik. Namun serentak Gereja tidak mengidentikan dirinya dengan salah satu partai politik dan mengarahkan umatnya dengan satu partai politik.

“Gereja sama sekali tidak bertendensi untuk mengidentikan diri dengan satu partai politik atau mengarahkan umatnya untuk hanya terlibat dalam satu partai politik, atau pemilu hanya memilih satu partai politik,” tegasnya.

Berbagai dokumen Gereja Katolik yang berbicara mengenai politik, terutama dokumen Ajaran Sosial Gereja menegaskan bahwa demokrasi memungkinkan partisipasi warga negara dalam kebijakan publik pemerintahan, peluang bagi rakyat memilih pemimpinnya, dan meminta pertanggungjawaban dari mereka. Karenanya menurut Budi Kleden, pemilu menjadi media kontrol dari rakyat untuk para pemimpin mereka. Sehingga pemilu tidak saja memberikan legitimasi bagi para pemimpin, melainkan juga sebuah mekanisme kontrol.

Dalam dokumen Centisimus Annus dari Paus Johanes Paulus II, artikel 46, disebutkan: “Gereja menghargai sistem demokrasi karena membuka wewenang yang lebih luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagipula memberi peluang bagi rakyat bawahan untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari mereka dan – bila itu memang sudah selayaknya – menggantikan mereka melalui cara-cara damai”.

Dengan demikian Pemilu bagi Gereja Katolik, katanya, merupakan mekanisme yang memungkinkan rakyat memilih pemimpin, meminta pertanggungjawaban dan menurunkan mereka. Karenanya juga setiap peristiwa politik harus pula diarahkan pada kontribusi bagi perdamaian. Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) juga telah berulang kali menegaskan pentingnya demokrasi dan menumbuhkan sikap demokratis sebagai wujud pertanggungjawaban iman. Nota Pastoral KWI tahun 2003 berjudul “Keadilan bagi Semua Orang” menegaskan pentingnya memperhatikan etika politik demi kesejahteraan bersama.

Ada beberapa prinsip etika politik. Pertama, hormat terhadap martabat manusia. Martabat manusia tidak boleh diperalat untuk tujuan apapun, termasuk untuk tujuan politik. Kedua, kebebasan. Yakni “Bebas dari segala bentuk ketidakadilan dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh”.

Ketiga, keadilan, kesejahteraan, dan kepastian hukum; keempat, solidaritas. “Di mana orang mengalami perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti berdiri pada pihak korban ketidakadilan termasuk ketidakadilan struktural”. Kelima, subsidiaritas, yakni “menghargai kemampuan setiap manusia baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu. Keenam, fairness. Politik yang demokratis adalah politik yang fair, di mana “dihormatinya pribadi dan nama baik lawan politik, dihargainya perbedaan wilayah privat dari wilayah publik,; disadari dan dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat”.

Ketujuh, demokrasi sebagai “sistem yang tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan, melainkan juga hidup ekonomi, sosial, dan kultural”. Kedelapan, tanggung jawab. “Kita tidak bisa melemparkan tanggung jawab terhadap kehidupan kita kepada pemerintah atau lembaga mananpun”.

Setelah bicara pandangan Gereja soal politik dan demokrasi, Pater Budi bicara soal pemilu damai. Bagi dia, pemilu damai tidak saja diukur pada saat penyelenggaraannya, melainkan kontribusi pemerintahan hasil pemilu itu bagi perdamaian. “Kualitas penyelenggaraan kekuasaan diukur berdasarkan kontribusinya bagi kesejahteraan. Basis dari kesejahteraan bersama itu adalah keluhuran martabat manusia”. Salah satu unsur dari kesejahteraan itu adalah kedamaian. Karenanya setiap momentum politik turut diukur berdasarkan suasana damai yang diciptakannya.

Ada empat komponen pemilu damai.
Pertama, regulasi. Regulasi dalam pemilu harus memberikan kepastian, tidak menimbulkan kebingungan dan multitafsir. Regulasi juga harus adil yakni memberikan jaminan kepada semua warga negara untuk menggunakan hak hak pilihnya baik hak pilih aktif maupun pasif. Transparansi adalah unsur penting lainnya baik dalam proses maupun dalam menentukan hasil pemilu.

Kedua, penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu harus taat asas, adil, jujur, dan melakukan sosialisasi aturan dan mekanisme pemilu. “Seringkali keonaran dalam pemilu terjadi karena kurang atau tidak adanya pengetahuan mengenai mekanisme dan aturan dalam keseluruhan proses pemilu”.

Ketiga, peserta pemilu. Setiap calon tidak menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan kemenangan. “Pemilu yang damai turut dijamin oleh peserta pemilu yang memiliki harga diri dan bermartabat. Peserta seperti ini berlapang dada untuk menerima kekalahan dan merayakan kemenangan sebagai penerimaan tanggung jawab”.

Keempat, warga (masyarakat). Warga memberikan kontribusi bagi pemilu damai bila dia menggunakan haknya sesuai dengan pertimbangan suara hati sendiri. Sikap kedua adalah menghargai keputusan pribadi sesama warga. “Kedamaian dalam politik dijamin apabila masing-masing warga menghargai apa yang menjadi pilihan politis sesamanya. Karena demokrasi dilandaskan pada kesediaan berbeda pendapat. Karena itu setiap bentuk paksaan kepada penyeragaman sebenarnya mengkhianati demokrasi dan merendahkan martabat orang lain”. Pemilu damai juga tercipta jika warga tidak membiarkan dirinya diprovokasi oleh kekuatan lain.
Pada bagian ketiga presentasinya, Pater Paul menegaskan, empat komponen pemilu damai ini dapat dipakai untuk menilai Pemilu 2009. Menurut dia, Pemilu 2009 ditandai ketidakstabilan regulasi. Soal parlementary threshold, partai-partai kecil masih menggugat ke Mahmakah Konstitusi. Selain itu masih ada problem cara mencontreng dan penetapan kursi untuk perempuan.

Dia menyoroti khusus soal jadwal pemilu yang bertepatan dengan hari keagamaan sekelompok warga yang dinilainya bisa membatasi penggunaan hak pilih warga. “Warga bisa saja dihadapkan pada pilihan melaksanakan tugas keagamaan atau mengikuti pemilu”.

Soal penyelenggara, sampai sekarang rasanya masih kurang sosialisasi terutama soal pencontrengan dan keabsahan surat suara. Peserta pemilu masih menggunakan kampanye negatif untuk merebut suara terbanyak setelah adanya ketetapan penetapan kursi berdasarkan suara terbanyak.

Mengenai sikap warga, dia menilai sudah ada proses pendewasaan dalam berdemokrasi. Namun yang masih diwaspadai adalah “sikap acuh tak acuh”. Hal ini disebabkan karena “kekecewaan terhadap para politisi dan perubahan kondisi kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan, sehingga pemilu bisa jadi cukup sepi”.

Menurut dia, saat sekarang penting mendorong warga untuk menjadi pemilih cerdas, yang mendasarkan pilihannya pada pertimbangan kepentingan seluruh masyarakat. “Bagi orang Katolik, tidak menggunakan hak pilih pun merupakan satu keputusan yang harus dihormati, apabila hal itu sungguh beralasan. Karena itu kendati ada prediksi yang meyakinkan bahwa angka golput akan meningkat dalam Pemilu 2009, Gereja Katolik hendaknya tidak perlu mengeluarkan larangan untuk pilihan sikap ini”.

Menyitir pernyataan Paus Johanes Paulus II pada Hari Perdamaian Sedunia 1991, “Jika Anda inginkan perdamaian, hormatilah suara hati setiap pribadi” dia mengatakan, “Jika Anda menginginkan pemilu damai, hormatilah suara hati setiap warga.”*



Selengkapnya...

Ruang Publik Demokrasi (1)



Komisi Hubungan Antara Agama dan Kepercayaan Kevikepan Ende menyelenggarakan panel diskusi pemilu damai.

Oleh FRANS OBON

KOMENTAR moderator Romo Felix Djawa Pr mencairkan suasana diskusi panel mengenai pemilu damai di aula Wisma Santo Fransiskus Detusoko, Rabu 11 Februari lalu. Empat panelis dalam pertemuan yang digelar Tim Pastoral Kevikepan Ende, Keuskupan Agung Ende dari Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan bekerja sama dengan Departemen Agama Kabupaten Ende mewakili pandangan agama masing-masing. Dosen Sekolah Tinggi Filsasat Katolik Ledalero Pastor Paulus Budi Kleden SVD (Katolik), Anom B Triyadnya dari Parisada Hindu, Pendeta Yohanes Leymani (Protestan) dan Basirun Samlawi dari Pengadilan Agama Ende (Islam).

“Orientasi Penyuluh Lintas Agama se-Kabupaten Ende tentang Pemilu Damai,” begitu tema pertemuan ini, menurut Vikaris Episkopus (Vikep) Ende Romo Ambros Nanga Pr dimaksudkan untuk membangun dan memantapkan hubungan harmonis antaragama-agama. Pemilihan umum (Pemilu) yang digelar lima tahun sekali dengan beragam kepentingan partai dan para calon harus dilihat dalam konteks pluralisme pilihan politik. Karenanya proses demokrasi menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tidak boleh menjadi sumber konflik. Atas nama apun.


Komitmen dan persamaan persepsi ini mesti mulai dibangun dari para pemimpin agama. Pemilu yang damai sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi agama-agama ikut ambil bagian di dalam tanggung jawab ini. Partisipasi ini dimaksudkan untuk menyukseskan cita-cita bersama yakni pemilu menjadi medium untuk mencapai kebaikan bersama.

Pertemuan ini, kata Vikep, lebih dilihat sebagai lilin pertama yang coba dinyalakan para pemimpin berbagai agama untuk diestafetkan pada lilil-lilin pencerahan berikutnya. Makin banyak lilin pencerahan yang dinyalakan, makin baik bagi proses kematangan berdemokrasi. Kevikepan Ende sendiri akan memasukkan bahan-bahan hasil diskusi panel ini ke dalam bahan katekese politik yang lagi disusun oleh tim pastoral Kevikepan.

Kebersamaan dalam pertemuan ini, begitu Basirun Samlawi, perlu dibina agar menjadi satu kekuatan untuk kemajuan demokrasi dan kesejahteraan bersama. Demokrasi yang merupakan sebuah mekanisme melahirkan kepemimpinan dalam masyarakat erat berkaitan dengan dinamika sosial. Dinamika sosial bertali temali dengan mekanisme politik demokrasi sehingga tidak jarang terjadi konflik. Konflik itu dibungkus oleh kepentingan politik, kepentingan suku dan agama. Ideal kiranya jika terjadi konflik kepentingan dalam proses berdemokrasi itu diselesaikan secara santun, sehingga proses demokrasi dapat dipertanggungjawabkan, dan ukuran-ukuran berdemokrasi bisa menjamin keberlanjutan proses melahirkan pemimpin dalam masyarakat.

“Jika terjadi perdebatan, sampaikanlah secara santun. Hargailah hak-hak dan pendapat orang lain. Jangan mencederai demokrasi dan hindarilah demokrasi dari kekerasan, anarkisme, dan ekstrimisme. Mesti ada kesantunan dalam berdemokrasi dan proses demokrasi dipertanggungjawabkan,” katanya.

Menurut dia, pencederaan demokrasi dengan cara atas nama rakyat dan atas nama demokrasi itu justru akan melemahkan proses demokrasi tersebut. “Pemaksaan kehendak baik bersumber dari kekuatan mayoritas maupun minoritas akan menciptakan tirani mayoritas maupun tirani minoritas”. Jika mekanisme demokrasi tidak diatur oleh sebuah regulasi maka berpotensi untuk terjadinya konflik atau anarkisme. Demokrasi memungkinkan berkembangnya rasionalitas dan mekarnya harmonisasi sosial.

Pemilu, karenanya, tidak saja mencerminkan elektabilitas kepemimpinan, melainkan mencerminkan berkembang atau tidaknya pendidikan politik itu sendiri. Basirun ingin menegaskan bahwa proses Pemilu seperti sekarang ini mestinya juga mencerminkan pendidikan politik untuk mengembangkan demokrasi. Jika Pemilu menjadi media pendidikan demokrasi, mestinya juga seluruh aktivitas politik menjelang dan sesudah pemilu mencerminkan nilai kesantunan, moralitas, dan kearifan-kearifan berpolitik.

“Etika adalah bagian tak terpisahkan dari politik dan pendidikan politik akan memberikan harapan-harapan bagi lahirnya pilihan cerdas dari rakyat pemilih,” katanya.

Dia bilang basis utama dari demokrasi adalah nilai dan moralitas. Proses demokrasi itu menilmbulkan konflik baik konflik psikologis maupun sosial jika proses berdemokrasi itu meninggalkan nilai dan moralitasnya. Konflik dalam berdemokrasi itu bisa terjadi jika politik memanipulasi agama. Karenanya perlu proses pencerahan berkomunikasi. “Entah mekanisme demokrasi itu bentuknya apapun, terpenting tujuannya baik, tidak membawa suku dan agama dan berlangsung dalam suasana santun,” katanya.

Demokrasi Indonesia saat ini berada dalam proses transisi sehingga proses-proses demokrasi sebagaimana terungkap dalam pemilu mesti pula dijaga serta tidak menimbulkan kepenatan dalam diri kita.

Pemilu damai, begitu Pendeta Yan Leymani, panelis kedua mengatakan, pemilu berpotensi konflik bila tidak dibingkai oleh tanggung jawab baik oleh penyelenggara pemilu maupun masyarakat luas. Karena partai politik dengan syarat kepentingan akan bersaing dengan partai politik lainnya. Interaksi mereka perlu diatur dalam bingkai aturan dan tanggung jawab bersama agar pelaksanaan pemilu berlangsung damai dan aman. “Seluruh elemen masyarakat bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu damai,” ujarnya.

Kalau perbedaan kepentingan partai yang begitu banyak “mengeksploitasi sentimen-sentiman primordial dan memanipulasi solidaritas komunal”, maka konflik akan timbul.

Dia menyinggung politik uang (money politics) dalam pemilu di Indonesia. “Yang menerima senang, yang memberi merasa didukung”. Masalah primoridialisme dalam memilih juga terjadi, sedangkan kemampuan calon seakan diabaikan.

Bagi orang Kristen, “Proses pemilihan seorang pemimpin itu dilatarbelakangi oleh kebutuhan umat dengan tujuan pembebasan. Bebas dari belenggu yang membatasi manusia untuk melakukan sesuatu demi perkembangan dan pertumbuhan hidupnya, demi kedamaian dan kesejahteraan”.
Menurut dia, kepemimpinan Yesus jauh dari politik uang. Karena Dia datang dan hidup bersama masyarakat. “Banyak para pemimpin kita tidak datang dan hidup bersama masyarakat, karena mereka mengandalkan kekuatan lain”. Pemilu damai adalah sebuah gerakan moral. Kita semua berusaha agar suasana damai tercipta dan dinikmati oleh semua orang.

Sedangkan Anom Triyadnya dari Parisada Hindu menyebut pertemuan ini sebagai syering bersama untuk memendorong sebuah aksi damai dalam pelaksanaan pemilu. “Semua agama bicara soal damai”. Dia bilang dalam pelaksanaan hak dan kewajiban, seperti ruas dan buku dalam bambu. Dua unsur konstitutif tersebut perlu dilaksanakan secara seimbang.*


Selengkapnya...

Sepuluh Warga Waling Keracunan Jamur

Oleh Paul J Bataona

RUTENG (FP) - Sebanyak 10 orang warga Waling, Desa Gololalong, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ruteng pada Minggu (22/2) untuk mendapatkan perawatan setelah makan jamur yang diambil dari kebun. Sayangnya sampai sekarang belum diidentifikasi jenis jamur tersebut.

Kesempuluh korban itu masing-masing Yohanes Babuk (51), Nina Ina (35), Kornelia Daiman (38), Marselina Balkansa (10), Ivantus Nando (5,5), Marianus Ipi (6), Rensiana Elen (13), Florianus Adit (3,10), Gregorius Jaman (4) dan Adrianus Tomik (8).


Dari sepuluh pasien ini terdapat tiga orang sudah diperbolehkan pulang rumah masing-masing Marianus Ipi, Florianus Adit dan Adrianus Tomik sedangkan lainnya hingga kini masih dalam perawatan tim medis RSUD Ruteng.

Tadeus Jaman, ayah Gregorius Jaman saat dikonfirmasi di RSUD Ruteng menjelaskan jamur yang dia bawa dari kebun biasa dimakan masyarakat.

Dia menyimpan jamur tersebut tapi tanpa dia ketahui, salah seorang anaknya ambil dan masak.
"Saya tidak tahu, padahal anak saya ambil jamur itu lalu memasaknya dan mereka makan bersama anggota keluarga lainnya," katanya.

Setelah makan, anak-anak mual dan muntah-muntah sehingga dilarikan ke rumah sakit. Kasus ini di luar dugaannya, lantaran jamur jenis ini biasa dimakan.

Dokter Metriani Nesa mengatakan, para pasien mengalami gangguan pencernaan. Namun Dokter Metriani belum dapat mengidentifikasi jamur yang dimakan warga. Menurut informasi masyarakat, jamur tersebut tumbuh pada batang pohon.

Dia menjelaskan penanganan kepada pasien bersifat simptomatis dan terapi cairan sambil terus melakukan observasi terhadap para pasien. Pasien berangsur-angsur pulih.

"Sejauh ini tidak ada keluhan apa-apa dari pasien. Kita sendiri belum mengetahui jamur jenis apa yang dikonsumsi warga ini,"tuturnya.*



Selengkapnya...

Buru Buronan, Kanit Buser Tembak Anggotanya

Oleh Wall Abulat

MAUMERE (FP) - Tim Polres Sikka yang dipimpin Kasat Reskrim Ajun Komisaris Polisi (AKP), Parasian H. Gultom, bertempat di Nangahure Lembah, Kecamatan Alo Barat, Minggu (22/2) melumpuhkan salah seorang buronan polisi yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Polres Sikka, Hendrikus Moat alias Sasana, warga Nita, dengan peluru.

Namun peluru yang ditembak Kepala Unit (Kanit) Buser Bripka Muhammadong tidak saja mengenai kaki kiri Sasana, tetapi peluru yang sama menembus kaki kanan anggota buser, Briptu Paulus Martin Selan. Moat dan Selan akhirnya sama-sama dirawat di Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) TC Hillers Maumere.


Selan selanjutnya dioperasi di ruang bedah oleh petugas bedah di bawah komando dokter Agus. Sedangkan Sasana usai dirawat di UGD langsung ditahan di sel Polres Sikka.

Kasat Rekrim AKP Parasian H. Gultom yang didampingi Kanit Buser Bripka Muhammadong kepada wartawan di sela-sela pelaksanaan operasi Briptu Paulus Martin Selan, Senin (23/2) pagi menjelaskan Hendrikus Moat selama ini terlibat dalam enam kasus hukum yang berbeda, dengan satu kasus terakhir terkait tindakan pemerkosaan.

“Ia masuk dalam DPO polisi sejak tahun 2008 lalu,” kata Gultom.

Gultom mengaku kejadian yang menimpa Briptu Paulus Selan berawal dari upaya tim polisi yang mau menyergap dan membekuk pelaku di Nangahure Lembah.

“Saat hendak melakukan penangkapan, pelaku melawan dan bahkan mengambil parang hendak membunuh Briptu Paulus Selan. Karena situasi sangat berisiko bagi anggota, maka saya perintahkan Kanit Buser untuk melepaskan tembakan. Peluru yang dilepaskan ke arah pelaku menembus kaki kirinya dan peluru yang sama mengenai kaki kanan Briptu Paulus Selan,” kata Gultom.

Menurut Gultom, andaikata dia tidak memerintahkan untuk menembak pelaku, maka kemungkinan besar Sasana menebasnya dengan parang.

“Ketika peluru ditembakkan ke arah pelaku, parang yang hendak diayunkan ke Briptu Paulus Selan terlepas,” katanya.

Kendati sudah ditembak, pelaku masih berusaha melawan petugas. “Situasi ini mendorong polisi melepaspkan lagi beberapa tembak peringatan ke udara. Pelaku sudah dibekuk polisi dan ditahan sejak Minggu malam,” katanya.

Ketika ditanya kondisi terakhir Briptu Paulus Selan, Gultom mengaku masih dalam penanganan intensif oleh dokter bedah RSUD Maumere.

“Dokter bedah sedang melakukan operasi terhadap Briptu Paulus Selan. Operasi dilakukan untuk mencegak kemungkinan masih ada sisa-sisa serpihan peluru.”

Kanit Buser Bripka Muhammadong yang dihubungi terpisah menjelaskan posisi pelaku dan Briptu Paulus Selan sebelum peluru dilepaskan/ditembak tidak berada dalam posisi sejajar.
“Saat peluru dilepaskan/ditembak, tiba-tiba Bripka Paulus berada dalam kondisi sejajar dengan pelaku. Akibatnya, peluru yang dilepaskan mengenai betis kiri pelaku, dan betis kanan Briptu Paulus. Butir peluru tembus kaki pelaku dan Briptu Paulus,” kata Muhammadong.

Disaksikan Flores Pos Senin siang, pelaku Hendrikus Moat alias Sasana menghuni sel Polres Sikka. Ia tampak segar meskipun kaki kirinya mengalami luka akibat ditembak. Sasana tampak ngobrol santai dengan beberapa tahanan lainnya di balik jeruji besi Polres Sikka.*


Selengkapnya...

Warga Hewokloang Tewas Gantung Diri

Oleh Wall Abulat

MAUMERE (FP) - Petrus Pora (62) warga Watuhei, Desa Heopuat, Kecamatan Hewokloang, ditemukan tewas gantung diri pada dahan pohon asam, sekitar 20 meter dari rumahnya, Minggu (22/2). Ia ditemukan anak kandungnya, Herlina Angraini, pukul 14.00. Polisi mengevakuasi jenazah korban, pukul 17.00.

Kapolsek Kewapante Inspektur Satu (Iptu) Muhamad Arif Sadikin usai mengevakuasi jenazah korban, Minggu sore menjelaskan sesuai dengan olah tempat kejadian perkara (TKP) yang ia pimpin, korban meninggal karena bunuh diri. Korban melilitkan tali nilon biru dengan panjang satu meter dengan posisi simpul hidup leher belakang.

Saat ditemukan, lidah korban menjulur ke depan dan ada air mani. “Menurut anak kandung Herlina Angraini, korban sudah puluhan tahun mengidap sakit komplikasi semacam tumor. Ada bengkak-bengkak pada bagian lengan kaki dan badan,” katanya.


Herlina Angraini kepada penyidik dan Flores Pos di TKP menjelaskan ayahnya pada Minggu pukul 08.30 masih sibuk memasak makanan babi. “Setelah itu, saya ke rumah keluarga. Sekitar pukul 14.00, saya temukan ayah dalam kondisi tak bernyawa dalam posisi menggantungkan diri,” kata Herlina.

Data yang direkap Flores Pos menyebutkan, dalam sepekan terakhir tercatat ada dua warga Sikka yang tewas gantung diri. Sebelumnya Hendrikus Seri (50 tahun) warga Dusun Waigete, Desa Egon, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka meninggal karena gantung diri di pohon jambu mete di kebun milik Vincentius Bose, Selasa (17/2) petang, pukul 17.00.*

Selengkapnya...

Staf BTNK Digigit Komodo

Oleh Andre Durung

LABUAN BAJO (FP) - Seorang petugas Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) digigit Komodo di Taman Nasional Komodo, Minggu (22/2). Main, nama petugas itu, sekarang sedang dirawat di Denpasar.

Flores Pos mendapatkan informasi tersebut dari Ansel, yang mengirim Short Message Service (SMS.

Kepala Seksi BTNK Vinsen Latif, Minggu malam mengakui bahwa Main (43) digigit komodo dan telah diterbangkan hari itu juga ke Denpasar untuk dirawat.


Menurut Kepala BTNK Tamen Sitorus di ruang kerjanya, Senin (23/2) mengatakan, petugas jagawana ini digigit di front office di Loh Buaya, Pulau Rinca. Dia menderita luka serius di kaki kiri dan lengan kanan.

Sekarang korban dirawat di rumah sakit Sanglah karena rumah sakit ini punya fasilitas cukup lengkap.

“Komodo naik hingga ke rumah panggung. Saya sudah ingatkan semua petugas agar waspada terhadap binatang tersebut walau selama ini kita merasa akrab. Kejadian ini membuat kita hati-hati,” katanya.


Selengkapnya...