14 April 2009

Kepala Telkom Dihukum 20 Hari

Kasus dengan Wartawan Flores Pos

Oleh Steny Leuweheq

LEWOLEBA -- Kepala Telkom Lewoleba, Jefta Loak dijatuhi hukuman penjara 20 hari oleh majelis hakim dalam kasus tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan terhadap Maxi Gantung, wartawan Flores Pos Lembata. Putusan hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa satu bulan penjara.

Sidang hari Rabu (8/4) dipimpin Ketua Majelis Hakim, Houtman Tobing dan dibantu dua hakim anggota Saidin Bagariang dan Gustaf Bles Kupa. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Arif M Kanahau.

Ketua Majelis Hakim Houtman Tobing mengatakan, terdakwa terbukti melanggar pasal 335 KUHP ayat 1 huruf e.

Menurut majelis hakim, hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah bahwa perbuatan terdakwa membuat malu saksi korban Maxi Gantung. Sementara hal=hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya, jujur dalam persidangan, tidak pernah dihukum dan kedua belah pihak sudah berdamai.

Majelis hakim menjatuhkan hukuman 20 hari penjara dikurangi dengan masa terdakwa dalam tahanan. Selain menjatuhkan hukuman 20 hari penjara, terdakwa juga dibebakan biaya perkara Rp1.000.

Menjawab ketua majelis hakim, Jefta Loak mengatakan tuntutan jaksa penuntut umum sudah pas karena itu ia tidak melakukan pembelaan. Ia juga menerima putusan majelis hakim dan tidak akan melakukan upaya banding.

Ketua Majelis Hakim mengatakan, putusan ini bukan aksi balas dendam. Diharapkan, dengan putusan ini ke depan terdakwa mengubah sifat dan sikapnya.

Maxi Gantung usai sidang mengatakan ia sependapat dengan majelis hakim bahwa putusan tersebut bukan balas dendam tapi lebih dari itu supaya terdakwa bisa merubah sifat dan sikapnya dalam melayani masyarakat.

Meski demikian Gantung menilai, lembaga penegak hukum belum sepenuhnya menjalankan tugasnya dengan baik. Masih ada pilih kasih. Maxi tidak bisa membayangkan kalau kasus ini menimpa orang kecil, pendidikan rendah. Dia beralasan, pada awalnya polisi mencoba mengarahkan kasus ini pada tindak pidana ringan.

Jefta Loak ditahan oleh JPU sejak 24 Maret 2009 dan dititipkan di ruang tahanan Polres Lembata. Jefta loak bebas dan menghirup udara segar Minggu 12 April.*
Selengkapnya...

Dua Tersangka Kasus Romo Faustin Ditahan di Polda

Pengacara Keuskupan Dukung Langkah Polda

Oleh Hubert Uman

BAJAWA -- Sudah mulai ada kemajuan dalam penanganan kasus Romo Faustin Sega Pr. Dua tersangka telah ditahan di Polda NTT di Kupang. Theresia Tawa dan Rogasianus Waja alias Anus Waja telah dibawa ke Kupang dan ditahan.

Ketua Tim Polda NTT Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Mohamad Slamet mengatakan, penyelidikan kasus kematian Romo Faustin sudah ada hasilnya. Penyidik Polda yang telah mengambil alih penanganan kasus ini menemukan bukti baru sehingga penyelidikan dan penyidikan dua tersangka diambil alih.

Demi kelancaran penyidikan, kata Slamet, kedua saksi kunci dan tersangka telah ditahan di Polda NTT.

“Mereka (Anus Waja dan Theresia Tawa) kita bawa ke Polda. Mereka ditahan di Polda. Rabu (8/4) kita bawa mereka ke Kupang lewat Ende,”kata Mohamad Slamet kepada wartawan di Bajawa, Selasa (7/4).

Ketua tim kuasa hukum Keuskupan Agung Ende (KAE) Petrus Salestinus yang menghubungi Flores Pos, Kamis (9/4) menyatakan mendukung langkah Polda yang menahan Anus Waja dan Theresia Tawa di Polda NTT.

“Itu berarti sudah tiga alat bukti kunci untuk mengungkapkan kasus kematian Romo Faustin. Penyidik Polda NTT sudah memegang tiga bukti kunci, Anus Waja, Theresia Tawa, dan visum et repertum atau autopsi ahli forensik Mun’in Idris. Ketiga alat bukti ini harus steril dari gangguan dalam bentuk apapun, termasuk terhindar dari intervensi yang mungkin sewaktu-waktu dilakukan pihak tertentu di Polres Ngada. Sudah tepat mereka ditahan di Polda,” kata Petrus Salestinus.

Selengkapnya...

Perempuan Lebih Banyak, Lelaki Punya Kekuasaan

Oleh Blanca Rosales
Sindikasi Pantau

PADA awal tahun ajaran baru di universitas-universitas Peru bulan ini, jumlah perempuan berkisar antara 65 dan 72 persen dari total mahasiswa yang mengambil jurusan komunikasi dan jurnalisme di tahun pertama. Fenomena ini menunjukkan peningkatan keberadaan wartawan perempuan di suratkabar-suratkabar di negeri ini.
Tapi mayoritas posisi pengambil keputusan di media cetak dan penyiaran tetap di tangan laki-laki.

“Kita harus menghadapi kenyatan ini: perempuan punya keunggulan dalam jumlah di ruang-ruang pemberitaan, tapi mereka bukan pengambil keputusan,” ujar Zuliana Lainez, sekjen National Association of Journalists (ANP), kepada IPS pada National Meeting of Women Journalists ke-3 di Lima awal bulan ini.

“Seperti juga yang dialami negara lain seperti Rusia atau Swedia, perempuan di Peru merupakan angkatan kerja dalam jurnalisme, tapi mereka tak menjadi pengambil keputusan,” ujarnya.

Tak satu pun suratkabar komersial di Peru dikepalai seorang perempuan. Hanya majalah yang fokus pada isu perempuan atau hiburan dan dunia pertunjukan yang memiliki pemimpin redaksi perempuan.

Hanya tiga dari 49 stasiun radio milik National Radio Coordination Committee (CNR), asosiasi stasiun radio komunitas, yang punya direktur perempuan, dan perempuan hanya mengepalai sedikit program radio di media penyiaran seluruh negeri.

Di televisi, perempuan hanya mengepalai dua program berita nasional, satu di antaranya mengudara pada hari Minggu. Tapi perempuan hampir selalu dipilih untuk membawakan program berita dan membacakan berita di radio, dan biasanya bersama seorang lelaki.

Hingga kini tak ada data rinci mengenai proporsi laki-laki dan perempuan yang bekerja sebagai wartawan di Peru. Tapi organisasi nonpemerintah Calandria mengatakan, perubahan drastis terjadi sejak 1997, ketika mereka merilis sebuah laporan mendalam mengenai gender dan pasar tenaga kerja di media.

Studi mereka, “Comunicadoras: Competencias por la Igualdad” (Komunikator Perempuan: Potensi untuk Kesetaraan), menyebutkan bahwa 31 persen wartawan yang bekerja di suratkabar adalah perempuan. Di televisi, proporsinya 26,8 persen.

Rosa Maria Alfaro, penulis studi itu, mengatakan bahwa peningkatan keberadaan perempuan di ruang pemberitaan dan lulusan jurusan komunikasi atau jurnalisme di 34 universitas di Peru setiap tahunnya sama sekali berkontradiksi dengan proporsi perempuan yang menjadi editor, produser, eksekutif, atau pemimpin redaksi.
Kini, sebagaimana tahun 1997, “Ada ketidakseimbangan antara persepsi publik mengenai partisipasi perempuan di media dan kekuatan mereka dalam industri media,” ujar Alfaro, yang mengkoordinasi studi mengenai gender dan media di Amerika Latin, kepada IPS.

Calandria, yang didirikan pada 1984, adalah asosiasi jaringan sosial yang mendukung kesetaraan gender di bidang komunikasi sebagai cara mendorong kepemimpinan perempuan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan.

Langit-Langit Kaca Universal
Global Media Monitoring Project (GMMP) mengkaji keterwakilan perempuan di sektor media dalam perspektif gender setiap lima tahun. Ia dilakukan oleh World Association for Christian Communication (WACC), organisasi profesional yang berkaitan dengan gereja dan berbasis di London yang bekerja atas dasar agama dan partner sekuler untuk mempromosikan hak-hak komunikasi bagi perubahan sosial.

Kajian terbaru GMMP, dirilis pada 2005 dan berjudul “Who Makes the News?”, melaporkan bahwa 57 persen presenter televisi adalah perempuan. Tapi hanya 29 persen berita televisi yang ditulis oleh perempuan.

Sementara itu, hanya 32 persen dari apa yang dinamakan “berita keras” ditulis atau diliput oleh perempuan, yang lebih sering mendapatkan laporan bertema “ringan”, seperti isu-isu sosial, keluarga, atau seni dan “gaya hidup”. 40 persen berita “ringan” diliput oleh perempuan.

Pada 2002 sebuah laporan Canadian Newspaper Association (CNA) menyebutkan bahwa perempuan hanya menguasai delapan persen posisi pemimpin redaksi, dan 12 persen editor. Eastern Africa Journalists Association (EAJA) mengatakan pada 2008 bahwa kurang dari 20 persen posisi editor di kawasan itu yang diduduki perempuan.
Lainez mengaitkan fakta ini dengan situasi di Amerika Latin, yang menurut International Federation of Journalists (IFJ), 27,3 persen wartawan adalah perempuan –kecil sekali untuk mencapai posisi puncak pengambil keputusan.

Apa yang harus dilakukan untuk mematahkan mantera ini, yang menjadikan ruang-ruang pemberitaan sebagai tempat perbudakan? IFJ punya jawabannya, yang muncul pada Pertemuan Wartawan Perempuan di Peru: serikat-serikat dan asosiasi profesional harus bekerja dengan kebulatan terkad untuk meningkatkan jumlah perempuan yang duduk di badan pengambil keputusan di media.

Buku panduan wartawan IFJ, “Getting the Balance Right: Gender Equality in Journalism,” dirilis bulan ini, menekankan perlunya memperlakukan perempuan di tempat kerja, dan bagaimana mereka memperlakukan sesamanya, yang menunjukkan solidaritas gender.

Hanya inilah cara untuk membangun kepemimpinan perempuan di media, yang akan membuka pintu dan kesempatan bagi perempuan yang berkualitas baik, tulis buku tersebut.

Melawan Prasangka
Enith Fasanando, direktur program radio di Tarapoto, sebuah kota di daerah hutan di utara Peru, mengatakan kepada IPS tentang pengalaman pribadinya, dan banyak wartawan perempuan tentu akan setuju dengannya.

“Sulit untuk mengepalai satu tim dengan lima lelaki dan memberi mereka arahan. Sebab, mereka tak akan mau menerima perintah dari seorang perempuan. Sebagai contoh, ketika seorang kolega dan saya sedang menyajikan berita, dia akan membuat saya terlihat buruk atau meremehkan pendapat saya,” ujarnya.

“Sangat menyakitkan mengalami diskriminasi dari orang seprofesi, yang menolak untuk menghargai Anda, sekalipun Anda pantas menerimanya, hanya karena Anda seorang perempuan, dan Anda mendapatkan posisi itu dengan usaha Anda sendiri,” ujarnya. Fasanando harus membawa masalah itu ke pemilik (laki-laki) stasiun radio untuk menyelesaikannya.

Zenaida Solis, salah seorang wartawan ternama di negeri itu, yang selama tiga dekade menyapa pemirsanya setiap hari di televisi dan radio, mengatakan kepada IPS bahwa dia harus berontak terhadap upaya akan menjadikannya pajangan dan berperan sebagai “gadis cantik”.

Ketika dia mulai bekerja di televisi, lelaki memegang tanggung jawab pemberitaan dan wawancara penting. Tapi secara bertahap dia memasukkan komentar dan opini-opininya, menciptakan gaya unik yang dia pertahankan “tanpa mengkhianati hati nurani.”
Dengan cepat Solis menjadi penanggung jawab program radio hariannya selama 15 tahun, yang sempat dia tinggalkan untuk mengasuh anak-anaknya, karena jam kerja yang melelahkan dan menyita waktu. Politisi, pengusaha, dan pemimpin opini tampil di program bincang-bincang yang menjawab telepon dari pendengar.

“Saya selalu punya masalah dengan pemilik media tempat saya pernah bekerja,” ujar Solis, yang yakin bahwa konfrontasi akan selalu datang pada wartawan perempuan. Anggota-anggota komunitas bisnis sering menghindarinya ketimbang politisi, “tapi tak satu pun dari mereka bisa dengan mudah diwawancarai,” ujarnya.

Dalam pandangannya, pada akhirnya kekuatan ekonomilah yang menentukan keberlangsungan atau tidaknya proyek jurnalistik beserta timnya. Pemilik media tradisional selalu mencoba membangun hubungan dengan wartawan, sejalan dengan kepentingan finansial mereka,” dan terkadang mereka mendapatkannya, terutama jika bekerja sama dengan profesional muda,” ujarnya.

“Jika Anda jujur dan bekerja dengan integritas, dan lebih dari itu Anda seorang perempuan, saatnya tiba ketika Anda harus meninggalkannya, dan Anda pergi,” ujarnya, menyimpulkan.

Pekerjaan Sama, Bayaran Beda
Apakah perempuan menikmati kondisi setara dalam jurnalisme? Fasanando tak ragu untuk mengulang: “Tidak. Kami bekerja sesuai komitmen kami pada profesi ini, tapi tetap saja ada bermacam hambatan; bayaran menjadi yang pertama dan terpenting.”

“Kolega saya, yang memikul tanggung jawab sama seperti saya, dibayar tiga kali lebih banyak, sekalipun saya yang bertanggung jawab penuh di depan audiens,” ujarnya.

Solis menceritakan sebuah anekdot tentang pemilik penerbitan yang membayar pria lebih besar karena “pria adalah pencari nafkah keluarga,” dan tidak mempekerjakan banyak perempuan karena “mereka hanya bekerja dengan baik hingga mereka jatuh cinta.”

Untuk level dan tanggung jawab yang sama, perempuan dibayar lebih kecil ketimbang pria. Pada saat yang sama, ketika banyak perempuan bekerja paruh waktu atau lepas untuk menyeimbangkan tanggung jawab keluarga, perempuan lebih rentan dalam hal jaminan kerja, promosi, dan status hukumnya, ujar para peserta dalam Pertemuan Wartawan Perempuan itu.

Tapi tampaknya ada oasis dalam keadilan gender dalam serikat-serikat jurnalisme. “Ada dua perempuan yang memimpin serikat dan sisanya pria, tapi kami bekerja sama secara setara, mempromosikan tujuan yang sama, dan mereka mendorong tuntutan kami,” ujar Fasanando.

Perempuan Korban Reproduksi Stereotipe
Pertemuan Wartawan Perempuan di Lima juga menyinggung masalah korban sebagai pelaku (victimiser), seperti perempuan yang mengalami diskriminasi dan stereotipe seksis di ruang-ruang pemberitaan dan melalui media, dan lalu cenderung untuk mereproduksi seperti diskriminasi dalam pekerjaan mereka sebagai reporter.

Perempuan, yang merupakan korban diskriminasi, dalam hidup dan profesinya bisa terasing, mengulang, dan memaksakan “machista” atau persepsi perempuan yang seksis, dan memerankan diri sebagai objek di ruang pemberitaan, ujar studi Calandria tahun 1997, yang setiap detilnya sesuai kondisi saat ini, ujar wartawan-wartawan perempuan.

Ini seolah-olah banyak wartawan perempuan setuju untuk “tetap pada peran mereka sebagai pencuci piring, tapi kali ini di depan publik,” ujar seorang peserta pertemuan itu.

Media perempuan ternama, proporsi terbesarnya pada apa yang dijalankan perempuan, memperkenalkan perempuan sebagai objek dan reproduksi yang anakronistis dan macho (machista) klise mengenai peran perempuan: “anak kucing seksi yang menarik, ibu yang suci, penyihir yang misterius, orang yang gila jabatan politik dan perusahaan,” sebagaimana daftar dalam buku panduan IFJ.

Beragam stereotipe yang membatasi kekuatan perempuan dalam masyarakat ini dikutuk dalam sebuah deklarasi yang diadopsi pada Konferensi PBB mengenai Perempuan ke-4 di Beijing pada 1995.

Dalam Platform Aksinya, Konferensi Beijing menyerukan agar pemilik media dan profesional mengembangkan mekanisme pengaturan yang menampilkan gambaran perempuan secara lebih positif, akurat, seimbang, dan beragam di media.*
Selengkapnya...

DOA Kita Tejawab

Oleh P Pieter Djoka
Instruktur pada BP4D NTT


Aku minta kekayaan agar aku bahagia
Namun Ia memberi kekurangan agar aku
bijaksana.
Aku minta kuasa agar aku dipuja sesama
Namun Ia memberi kelemahan agar aku
tergantung pada-Nya
Aku minta segala sesuatu agar aku menikmati
kehidupan.
Namun Ia memberi kehidupan agar aku
menikmati segala sesuatu.
Akuminta kesehatan agar aku mengerjakan
yang lebih besar.
Namun Ia memberi anugerah agar aku
mengerjakan yang lebih baik.
Aku tak selalu memperoleh apa yang aku
minta
Namun doaku selalu terjawab

INILAH sepenggal doa saya dan keluarga untuk Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Ende Periode 2009-2014, Don Bosco Wangge dan Achmad Mochdar (Paket DOA) yang dilantik, 7 April 2009, bertepatan dengan hari raya memperingati St Yohanes Baptista de la Salle, (Yes 49 : 1-6, Yoh 13 : 21-33, 36-38) seturut Kalender KWI 2009.

Babak Baru
Peristiwa sejarah ini menandai babak baru perjuangan masyarakat Kabupaten Ende (Ende Lio Sare Pawe bukan Ende Sare Lio Pawe) seperti diungkapkan Bupati Don Bosco Wangge didampingi Ibu ketika tatap muka bersama IKKEF Kupang, 17 Februari 2009 lalu di Hotel Oriental Kupang.

Menurutnya “tantangan utama Kabupaten Ende saat ini adalah kemiskinan, dengan jumlah KK miskin 26.612 KK (Pos Kupang, Jumat, 20 Februari 2009 09, hlm 16). Cita-cita paket DOA diharapkan bisa menjawab kebutuhan sekitar 250.883 warga Ende lima tahun ke depan.

Hasil penghitungan suara Pilkada Kabupaten Ende, perolehan suara paket DOA, 55.074 atau 41.94%, dgn total suara 131.320, total pemilih 157.061, ikut memilih 135.322, tidak ikut memilih 21.846, suara tidak sah 4.002, persentase ikut pilih 83,60% (Sumber KPUD Ende, Pos Kupang, Sabtu,25 Oktober 2008).

Berbagai intrik, manuver dan konsensus politik yang pernah tercipta di antara petarung kekuasaan berubah menjadi harapan menggembirakan yang membentangkan kebeningan masa depan politik Ende. Maka ‘kelahiran’ paket pemimpin baru dari rahim politik ini mesti disertai keyakinan politik meretas berbagai problem rakyat.
Dengan pemilihan secara langsung diharapkan keduanya mampu mempresentasekan kondisi, karakteristik dan harapan rakyat secara lebih demokratis.

Kekurangan Kemampuan
Masyarakat kita bukanlah masyarakat miskin, namun yang ada hanyalah kekurangan kemampuan untuk mengoptimalkan potensi. “Poverty is lack of abilities” (Dr Ignas Kleden, Seminar Festival Ledalero, 2008). Dikatakan potensi-potensi yang ada umumnya tidak disentuh sama sekali, dengan demikian kita akan tetap miskin dan berpotensi untuk menjadi lebih miskin.

Kekurangan kemampuan sebagaimana digambarkan di atas, akan membawa masyarakat menuju kemiskinan. Robert Chambers menyebut 5 aspek ketidakberuntungan (disadvantages) yg membuat orang sulit mendapatkan kelayakan hidup antara lain kemiskinan (poverty), fisik yg lemah (physical weakness), kerentanan (vulnerability), keterisolasian (isolation) dan ketakberdayaan (powerlessness). Kelima aspek tersebut saling terkait dan tidak bisa dilepaskan satu dari yang lain.

Agenda Masyarakat
Melaksanakan pembangunan merupakan suatu cara untuk mengatasi kemiskinan dan permasalahannya. Pembangunan yg dimaksudkan merupakan wujud pelayanan pemerintah dalam mencapai masyarakat sejahtera dan pada hakikatnya usaha pembangunan merupakan proses perubahan sosio–ekonomis yg bertujuan meningkatkan taraf hidup, kualitas kehidupan dan martabat manusia. Hakikat tersebut menunjukkan bahwa pembangunan merupakan cara menuju sejahtera sehingga pembangunan merupakan suatu keharusan. Namun pembangunan dan kompleksitas permasalahannya menunjukkan bahwa betapa tidak mudahnya usaha tersebut.

Pencarian jawaban atas pertanyaan di atas akan membawa kita untuk terus bertanya akan realitas esensial dalam lingkungan kemasyarakatan kita, mengapa terjadi demikian. Akhirnya kita bertanya dan bertanya, adakah masalah dalam pembangunan kita?

Mengapa kemiskinan masih ada? Permasalahan pembangunan memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi ia mempunyai syarat untuk mencapai perubahan yaitu terobosan baru. Perlu di atasi dengan pemberdayaan.Pemberdayaan seluruh komponen yang memiliki keterkaitan dengan pembangunan, karena itu berarti pemberdayaan seluruh masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga terwakilnya masyarakat, yang bertujuan menumbuhkan sikap keterbukaan publik yang harus tampak dalam setiap keputusan.

Masalah-masalah yang membiangi kegagalan atau disorientasi antara lain pertama dominasi peran pemerintah di mana tren dari dan oleh pemerintah. Tren ini menyebabkan dominasi peran pemerintah dan konsekuensinya pemerintalah yang sibuk dengan segala properda yg telah dicanangkan dan kesibukan itu secara jujur menyebabkan kebijakan seringkali sikap pro birokrasi dan pejabat politik serta mengorbankan kepentingan masyarakat miskin yg berarti menomorduakan masyarakat dalam pembangunan, masyarakat bukan sebagai pelaksana dan subyek melainkan sebagai sasaran dan obyek dari pembangunan.

Kedua, adalah semangat birokrat. SKPD harus dikurangi karena selama ini APBD Kabupaten Ende lebih banyak dipakai untk biaya pegawai sehingga yg diperuntukkan bagi rakyat menjadi berkurang (Pos Kupang, Jumat 20 Februari 2009, hlm 16). Semangat birokrat pada umumnya selalu membawa kesempatan untuk melakukan KKN. Hal ini terlihat dengan adanya penyimpangan dana pembangunan.

Ketiga, penyimpangan dalam mengartikan kemiskinan. Setiap orang boleh mendefinisikan kemiskinan, demikian pun pemerintah boleh berdefinisikan tentang kemiskinan. Namun definisi tidak akan pernah menyentuh aspek dalam kemiskinan, karena tidak mencerminkan keadaan yg dialami. Definisi lebih merupakan penjelasan dari pengamatan, bukan pengalaman. Akan tetapi kita membutuhkan definisi itu untuk memberi dasar bagi pengambilan keputusan bagi keterarahan pembangunan.

Mengapa Definisi Kemiskinan Penting?
Alan dan Carol Walker memberikan dua alasan. Pertama, seberapa jauh pemerintah mengakui kemiskinan itu ada, pentingnya keterbukaan dari pemerintah terhadap realitas, kedua dipakai untuk penanggulangan kemiskinan guna mempengaruhi kebijakan, apa yang harus dipakai dan konsekuensi orang miskin diperlakukan.

Tentang realitas buram dalam masyarakat kita di tengah bergulirnya roda pembangunan ini, Mahatma Gandhi pernah berujar bahwa paling kurang ada 7 dosa sosial dalam pembangunan yang menghantui perjalanan sebuah masyarakat 1) Kekayaan tanpa kerja (reichtum ohne Arbeit). 2) Kenikmatan tanpa hati nurani (Genus ohne Gewissen). 3) Kesadaran tanpa karakter(Wissen ohne Charakter). 4) Bisnis tanpa moral (Gesschoft ohne moral). 5) Pengetahuan tanpa kemanusiaan(Wissenschaft ohne character). 6) Agama tanpa kurban (Religion ohne Opfer) dan 7) Politik tanpa prinsip (politik ohne prinzipien )(Ernst & Engel: Sozial Ethik Konkret, 2006). Ketika ketujuh dosa sosial ini dan juga dosa-dosa sosial lain bekerja secara intens dalam sebuah masyarakat sebagai sebuah organisme, maka yang terjadi adalah adanya kanker sosial yang menciptakan masyarakat yang sakit dan miskin.

Logika ini mungkin berlaku, pembangunan yang berlandaskan pada ideologi yang sakit menciptakan aparat pembangunan yang sakit. Aparat yang sakit menciptakan agenda pembangunan yang sakit dan akhirnya melahirkan pembangunan yang sakit. Hasil dari pembangunan yang sakit adalah masyarakat sakit dan miskin. Ketika masyarakat yang miskin dan sakit-sakitan tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol roda pembangunan, maka yang terjadi adalah tak ada kontrol sosial pembangunan dan terjadilah pesta sakit aparat yg sakit. Hasil dari pesta pembangunan aparat yang sakit dan bermodalkan dana pembangunan untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat melahirkan ribuan koruptor dan mafia pembangunan yang sakit. Maka terjadilah rantai makanan orang sakit dan penyakit sosial dalam masyarakat kita menjadi sulit disembuhkan.
Bernard Yack (2003) menulis, demokrasi perwakilan yang dilaksanakan melalui pemilu, berpotensi menampakkan sosok kedaulatan rakyat tetapi sekaligus membungkamnya (the people is the sovereign that cannot exercise its sovereignty). Artinya di satu sisi kedaulatan rakyat secara prosedural ditegakkan tetapi secara substansi yang terlihat justru pembelengguan hak-hak rakyat.

Kerumitan tantangan pembangunan harus di-handle dengan kemampuan kepemimpinan membuat perencanaan perihal apa yang mau dilakukan lima tahun ke depan untuk Ende. Dalam inovasi kepemimpinan, ini disebut upaya memetakan dan mewujudkan impian lewat perencanaan yg matang sebagai alat mewujudkan visi misinya (Bass, 2000; Kaufman, 1995; Gib, 1954).

Selain kemiskinan, juga masalah kesehatan dan pendidikan. Sekitar 1.500 lebih anak yang mengalami kurang gizi atau gizi buruk. Begitupun ketersediaan tenaga dokter, terutama dokter ahli yg terbatas membuat pelayanan belum optimal. ”Di bidang pendidikan, sedang berjalan menuju jurang kematian. Tahun 70-an sampai ’80-an Ende menjadi tolok ukur pendidikan di NTT tapi saat ini Ende menduduki urutan 17 dari Kab/Kota di NTT dala m bidang kelulusan siswa. engatasi masalah pendidikan, Bupati mengajak orang asal Ende di Kota Kupang dan warga Kabupaten Ende ntuk mengijinkan anak-anak mereka menjadi guru karena saat ini Ende masih kekurangan guru terutama guru SD. Masyarakat Ende berharap Bupati Don secara perlahan dapat mengembalikan harumnya Ende sebagai Kota sejarah, Kota Pendidikan dan tidak kurang penataan kembali perencanaan Kota Ende.

Tinjau Ulang
Menurut hemat saya, terdapat tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, menentukan kerangka kotanya. Kedua, menentukan fungsi-fungsi utama daerah perumahan, pertokoan dan rekreasi. Ketiga, bentuk kotanya. Hal penting lainnya melibatkan para stakeholders dalam pengambilan keputusan-keputusan berkaitan dengan struktur, fungsi utama kota, bentuk kota itu. Bila ke depan ini kita menginginkan kota yang berwawasan lingkungan maka ada kaitan dengan perilaku manusia. Jadi manusia perlu merubah perilakunya, teruma perilaku yang melihat proses-proses kota itu sebagai proses linear. Barang-barang dari luar luar kota itu dipakai, kemudian sampahnya dibuang. Ini harus kita tinggalkan dan mengubahnya menjadi proses-proses yang sifatnya sekuler sehingga bisa dipakai berulang-ulang Bila gaya konsumsi kita terhadap sumber daya itu bersifat linear, maka kita tidak mungkin bisa menyelesaikan masalah atau meningkatkan mutu lingkungan kita. Jika kita menginginkan ekosistem yg berwawasan lingkungan maka perilaku warganya harus diperbaiki.

Rekomendasi saya adalah kita perlu melihat akar masalahnya secara proporsional. Yang perlu dilakukan sekarang itu adalah mengadakan evaluasi kembali seluruh perencanaan yang ada. Terutama karena dasar dari seluruh perencanaan tata kota yang ada pada tahun sebelumnya yang hanya mengejar keuntungan ekonomi. Sekarang kota perlu direncanakan kembali. Pertama, meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua, tentunya mengembalikan lagi perhatian pada mutu lingkungan hidup. Saya kira ini bisa dilakukan. Nah, yang kemudian menjadi masalah adalah ketika kesalahan seperti ini tidak dikoreksi. Katanya penyimpangan akan dievaluasi tapi kenyataan tidak, justru dibenarkan, yang pada mulanya untuk kepentingan umum, tapi lebih banyak motifnya untuk kepentingan komersial. Sekarang kita lihat, kali yang sebenarnya lurus, karena ada kepentingan bisa dibelokkan. Karena dibelokkan aliran airnya terganggu akibat terjadi banjir. Akhirnya masyarakat Ende tak selalu memperoleh apa yang mereka minta. Namun doa mereka selalu terjawab.
Selengkapnya...