05 Mei 2009

BENTARA: Polisi Kotor Tolak Kuitansi

Kasus Tilang di Maumere

Oleh Frans Anggal

Warga Maumere yang ditilang polantas Polres Sikka protes. Tiap butir pelanggaran dikenai denda Rp75.000. Uangnya disetor ke polantas, namun tanpa kuitansi atau tanda bukti pembayaran. Muncul dugaan, polantas melakukan pungutuan liar. Polantas membantah.

Menurut Kasat Lantas Indra Wijatmiko, pihaknya hanya mengeluarkan blanko tilang, bukan kuitansi. Di dalamnya tercantum jenis pelanggaran dan nilai uang yang harus dibayar pelanggar. “Kami bukan jual kacang seperti di pasar sehingga bisa keluarkan kuitansi. Blanko tilang yang kami keluarkan sesuai kesepakatan tim terpadu.”

Ini gawat. Polantas tidak memisahkan dua tanda bukti yang hakikatnya berbeda. Blanko tilang itu tanda bukti penilangan. Pencantuman nilai uang di dalamnya hanya bersifat pemberitahuan, seperti halnya pencantuan nilai uang dalam surat penagihan. Pencantuman ini mewajibkan tindakan lain, tindakan transaksi, memberi dan menerima uang, yang harus disertai tanda bukti tersendiri. Itulah kuitansi.

Untuk instansi pelayanan publik, kuitansi itu wajib hukumnya. Malah, idealnya, rangkap empat! Kuitansi merupakan bukti akuntabilitas sebuah instansi. Tegasnya, akuntabilitas mengharuskan kuitansi. Karena itu, kewajibkan ini tidak hanya ditujukan kepada petugas selaku pelayan, tetapi juga kepada masyarakat yang dilayani. Masyarakat selalu diimbau: jangan takut minta kuitansi saat bertransaksi.

Dalam kasus tilang di Maumere, imbauan ini dilaksanakan oleh Yonanes Kia Nunang, salah seorang pelanggar. Ia minta kuitansi kepada polantas Yodi Sadipun saat membayar denda Rp150.000 untuk dua butir pelanggaran. Kuitansi ia butuhkan guna mempertanggungjawabkan uang yang ia keluarkan. Polantas tidak berikan kuitansi. Kia Nunang mempertanyakan, mengapa polisi tidak melakukan hal itu.

Pertanyaan ini dijawab enteng saja oleh kasat lantas. “Kami bukan jual kacang seperti di pasar sehingga bisa keluarkan kuitansi.” Ini jawaban ngawur yang tidak menunjukkan kelas yang pantas bagi seorang kasat lantas. Kuitansi itu wajib hukumnya. Nama lainnya “tanda bukti setor”, sebagaimana tercantum dalam Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Banko Tilang yang merupakan lampiran Skep Kapolri Tahun 1998.

Jadi, cukup jelas. Alasan yang dikemukakan kasat lantas hanyalah dalih, mencari-cari pembenaran untuk tindakan yang jelas-jelas salah. Kedoknya kelihatan. Kalau ada instansi yang bertransaksi tanpa kuitansi, patut dapat diduga ke mana uang akan lari. Bukan ke kas negara. Tolak kuitansi atau “tanda bukti setor” itu merupakan “tanda bukti kotor”. Polisi kotor tolak kuitansi.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Mei 2009


SENGGOL

Proyek kantor bupati Nagekeo jalan di tempat.
Manusianya jalan ke mana-mana.

Ngada belum serahkan semua aset ke Nagekeo.

Tanda pemekaran setengah hati.

Listrik “liar” terangi perumahan Batuata, Flotim.
Sama, “jinak” tapi padam terus.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Pornodiksi PDIP Mabar

Tolak Tambang dan Pilkada 2010

Oleh Frans Anggal

Fraksi PDIP Mabar menyatakan tolak tambang. Tambang merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Mabar memiliki banyak sektor andalan yang sudah lama diakrabi masyarakat. Pertanian, kelautan, dan perikanan. Belakangan, pariwisata. Sektor-sektor inilah yang semestinya dikembangkan optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan PAD. Yang terjadi, sektor-sektor nonmineral ini belum dikembangkan optimal, sekarang mau urus tambang. Malah, ada pihak tertentu yang ngotot sekali. Ini ada apa?

Dalam sikapnya ini, Fraksi PDIP bermain bahasa. Siapa “pihak tertentu”, tidak disebutkan. Juga, “ini ada apa” tidak dijawabnya. Sengaja. Berkabur-kabur dengan pernyataan. Manfaatnya ganda. Pertama, dengan pernyataan kabur, publik tetap tahu siapa itu “pihak tertentu”. Sebab, yang dibaca publik bukan hanya teksnya tapi juga konteksnya. Kedua, dengan pernyataan kabur, Fraksi PDIP merasa bebas dari tanggung gugat.

Begitulah permainan bahasa politik. Santun, tapi sebenarnya tidak sopan. Mirip ketidaksopanan berpakaian. Berpakaian tidak sopan bukannya tidak berpakaian. Tetap berpakaian. Bukannya tidak menutupi aurat. Tetap menutup, namun dengan motivasi sebaliknya. Menutup untuk menonjolkan. Seandainya cara berpakaian seperti ini masuk pornoaksi, maka bertutur kata atas cara yang sama masuk pornodiksi. Pornodiksi politik.

Dalam soal tambang yang daya rusaknya luar biasa, semestinya Fraksi PDIP Mabar tidak bergenit-genit dengan pornodiksi politik. Mengapa tidak berterus terang saja? Misalnya, menyebut Bupati Fedelis Pranda sebagai “pihak tertentu” itu, dan langsung mengarahkan “ini ada apa” ke persiapan diri sang bupati menjelang pilkada Mabar. Bahwa, tambang emas bisa menjadi mesin uang yang dapat melempangkan jalannya untuk menang lagi pada periode kedua.

Berterus terang tidak ada salahnya, malah bermanfaat, termasuk bagi Bupati Pranda sendiri. Ia perlu tahu, wacana itu sudah berkembang. Wacana yang lahir dari berbagai preseden pada banyak daerah. Banyak bupati tikam kepala dengan tambang pada etape terakhir periode pertama untuk membekali diri ke periode kedua. Kalau investor masuk dengan modal Rp334 miliar misalnya, si bupati kebagian 10 persen, Rp33 milar. Tak heran, dia akan tikam kepala, tambang harus jadi, apa pun akibatnya bagi lingkungan.

Dalam hal sepenting ini, Fraksi PDIP Mabar tidak berani lugas, jelas, dan tegas. Masih berpornodiksi ‘menutup untuk menonjolkan’. Sementara dalam hal yang belum saatnya, ia begitu cepat buka-bukaan. Ia mengusung pasangan Agus Ch Dula dan Ambros Janggat untuk pilkada 2010. Ini memberi kesan: tolak tambang, karena ada maunya.

Yang kita inginkan: tolak tambang itu komitmen, bukan sekadar sarana merebut takhta. Kalau cuma untuk itu, apa bedanya dengan yang ngotot tambang yang juga kepingin takhta?

“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Mei 2009


SENGGOL

Pendidikan di Ende masih memprihatinkan.
Kantornya saja pindah-pindah.

NTB jadi lokasi uji coba tanaman jarak.
Di NTT pernah jadi, mubazir.

Dana penanggulangan bencana Egon Rp3 miliar.
Satu peluang lagi, siap dimakan.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Olengnya Kapolres Sikka

Kontroversi Autopsi Jenazah Andri Heryanto

Oleh Frans Anggal

Mabes Polri heran dan meragukan mekanisme autopsi jenazah Andri Heryanto
yang dilakukan tim forensik yang didatangkan Polres Sikka. Mengapa hanya sampel otak dan hati yang diambil untuk diuji di laboratoriun forensik (labfor)? Hanya dengan dua sampel itu, penyebab kematian sulit diketahui. Mengapa hasil uji labfor juga tidak tranparan? Mengapa pula tidak disampaikan kepada keluarga Andri? Kini Mabes Polri sedang mencari waktu yang tepat untuk datang ke Maumere, mengevaluasi mekanisme autopsi yang sudah dilakukan itu. Tidak tertutup kemungkinan, mabes akan melakukan autopsi ulang.

Tanggapan Kapolres Agus Suryatno? Mekanisme autopsi sudah profesional. Autopsi dilakukan tim forensik independen. Anggota Komnas HAM hadir memantau dan mengawas. Soal mengapa hanya sampel hati dan otak yang diambil, itu kewenangan tim forensik, ”Jangan tanya saya. Yang pasti, autopsi sudah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”

Jawabannya mudah ditebak. Selalu begitu. Sebab, sikap dasarnya tetap yang itu-itu juga: menolak autopsi ulang karena polisi dan tim forensik sudah bekerja profesional. Malah ia pernah menilai autopsi ulang itu tidak etis karena melanggar kode etik kedokteran. “Bentara” edisi Sabtu 21 Maret 2009 menggolongkannya sebagai sesat pikir kapolres Sikka. Polisi yang punya kode etik sendiri koq mendasarkan sikap pada kode etik orang lain. Profesinya polisi, kode etiknya kedokteran. Polisi berlagak dokter.

Yang menarik, kapolres berbalik 180 derajat ketika Mabes Polri meragukan mekanisme autopsi yang hanya mengambil sampel otak dan hati. Itu kewenangan dokter forensik, katanya, ”Jangan tanya saya.” Kita bisa mengatakan, lho, Anda kan telah bersikap seolah-olah sebagai dokter ketika menolak autopsi ulang, mengapa sekarang tiba-tiba kembali menjadi polisi? Anda ini sebenarnya siapa? Kapolres Sikka ataukah Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia?

Dari sikap kukuh kapolres Sikka menolak autopsi ulang dan argumentasinya yang oleng-kemoleng, kita patut dapat menduga, ada yang disembunyikan secara sistematis oleh Polres Sikka dalam kematian Andri. Dugaan ini semakin kuat kalau dikaitkan dengan kasus dua hari sebelum Andri ditemukan mati tergantung di kosnya. Korban dianiaya seorang oknum Polres Sikka. Penganiayan ini sendiri tidak jelas lagi penanganannya. Saat ditemukan dan dimandikan keluarga, jenazah Andri tidak mencirikan kematian karena gantung diri. Lidahnya tidak menjulur, matanya tidak membelalak. Sebaliknya, pada sekujur tubuh ditemukan luka lebam. Satu giginya patah. Saat mengautopsi, tim forensik yang katanya independen itu hanya mengambil sampel otak dan hati. Hasilnya: murni mati gantung diri. Polres pun menyatakan menutup kasus ini.

Kalau kapolres tikam kepala menolak autopsi ulang dengan argumentasi oleng-kemoleng, itu bisa dimengerti dalam konteks ini. Mungkin ia sedang kelabakan. Itulah risikonya. Sendiri suka, sendiri rasa.

“Bentara” FLORES POS, Senin 4 Mei 2009


SENGGOL

Polantas Sikka diduga lakukan pungutan liar.
Caranya pasti terkesan jinak.

Hak-hak kaum buruh di Manggarai diabaikan.

Bungkam terus, abai terus.

Pemkab Ende hentikan evakuasi Nusa Damai.
Sudah dua bupati, masih juga.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Mabar Kepingin ‘Kutukan’

Ketika Mulai Melirik Tambang Emas

Oleh Frans Anggal

Wakil Ketua DPRD Mabar Ambros Djanggat dan Lurah Labuan Bajo Abdul Ipur tersinggung, kecewa, menyesal, dan prihatin. Banyak media nasional tidak tahu letak Taman Nasional Komodo (TNK). Berita menyebutkan, TNK berada di Pulau Sumbawa. Lainnya, TNK masuk NTB. Media sudah begitu, orang per orang apalagi. Ada yang mengira TNK dekat dengan Ambon.

Sampai seperti itu, salah siapa? Ambros Djanggat dan Abdul Ipur menuding media. Media tidak akurat. Benar. Tapi tidak sepenuhnya. Mabar juga bersalah. Malah, kesalahannya paling besar dan menjadi biang kerok. Mau dikenal bagaimana kalau tidak diperkenalkan?

Tak ada kabupaten di NTT yang dikaruniai potensi pariwisata sekaya dan seindah pariwisata Mabar. Mabar punya banyak sekali. TNK hanya salah satunya, sekalgus jadi “ikon”-nya. Kalau sampai cuma TNK yang terkenal, Mabarnya tidak, ini ada apa? Ada yang belum beres. Pariwisatanya belum digenjot optimal. Salah siapa? Media? Lalu, bupatinya?


Yang banyak diharapkan dari Bupati Fidelis Pranda selaku bupati perdana Mabar justru, antara lain, peletakan fondasi, rancang bangun, dan pengembangan pariwisata sebagai leading sector yang menarik sektor-sektor lain. Di jelang senja kekuasaannya, sudahkah itu terwujud? Pasti dijawab sudah. Kalau sudah, mengapa TNK tenar sendirian sedangkan Mabar tidak?

Yang mencengangkan, ketika pariwisata belum sungguh-sungguh dikembangkan, perhatian sudah mulai ke tambang emas. Ini bahaya. Selain dahsyat daya rusaknya terhadap lingkungan, tambang emas membuat penguasa mengidap miopia (rabun jauh). Emas membawa rezeki nomplok (windfall profit) yang membuat penguasa gagal melihat jauh ke depan. Dalam jangka pendek, rezeki nomplok itu menguntungkannya, apalagi kalau mau menang pilkada. Dalam jangka panjang, lain ceritanya.

Dengan rezeki nomplok, penguasa jadi kaya mendadak. Ia tidak lagi bergantung pada rakyat sebagaimana laiknya pemimpin negara demokrasi yang hidup dari pajak. Sebaliknya, ia bisa “beli” rakyat. Keenakan oleh rezeki ini, ia abaikan investasi jangka panjang di sektor non-mineral seperti industri dan jasa. Padahal, emas akan habis. Akhir cerita: begitu emas habis, habislah semuanya.

Indonesia mengalami ini ketika terbuai rezeki nomplok minyak tahun 1970. Minyak mulai habis, Indonesia pun semakin miskin. Inilah yang disebut ‘kutukan sumber daya alam’ (resource curse). Sebaliknya, Jepang, Korea, Singapura. Miskin sumber alam, tapi maju pesat karena terpacu mengkompensasikan ketiadaan sumber alam melalui pengembangan sektor lain seperti teknologi dan jasa.

Sekarang, giliran Mabar. Mulai melirik tambang emas. Pariwisata terancam ditinggalkan. Rupanya kepingin ‘kutukan’ juga.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Mei 2009


SENGGOL

Selamat Merayakan Hardiknas
2 Mei 2009
“Pendidikan Mencerdaskan, Pendidikan Memerdekakan”

Om Toki


Selengkapnya...

BENTARA: Mabar dan Keajaiban Itu

TNK dalam Poling The Seven Wonders Foundation

Oleh Frans Anggal

Taman Nasional Komodo (TNK) di Mabar kini di urutan ke-8 Keajaiban Dunia untuk kategori Grup E yang meliputi hutan dan taman nasional. Begitu hasil poling The Seven Wonders Foundation di Swiss. Poling dimulai 2008. Seleksinya bertahap. Desember 2009, seleksi terakhir menentukan yang terajaib dari setiap grup, seluruhnya tujuh grup, untuk kemudian ditetapkan sebagai Tujuh Keajaiban Dunia. Pengumumannya pada 2010.

Awalnya, dari Indonesai ada tiga: Gunung Krakatau, Danau Toba, dan TNK. Dalam perjalanan, tinggal TNK. TNK bersaing dengan 60 keajaiban dunia dari 6 benua. Semula ia di urutan 14, lalu naik ke urutan 10, dan sekarang di urutan 8.

Naiknya posisi bergantung dari banyaknya dukungan. Karena itu, Mabar mulai bergerak. Bupati Fidelis Pranda ajak masyarakat kirim dukungan via internet dan telepon ke Swiss. Wabup Agus Dula imbau pemilik warnet turunkan tarif internet. Wakil Ketua DPRD Ambros Djanggat desak pemkab siapkan internet gratis.

Secara ilmiah, poling seperti ini tidak valid dan dapat menyesatkan. Cacat metodologisnya: responden tidak ditentukan oleh penyelenggara, tapi oleh responden sendiri. Bahayanya: masyarakat akan mudah menganggap hasil poling sebagai kenyataan objektif. Kendati demikian, ada manfaatnya. Efek promosinya besar. Ini yang menguntungkan.

“Kalau TNK masuk tujuh besar maka masyarakat Mabar, Flores, NTT, dan Indonesia bangga. Kunjungan turis bakal meningkat. Dampaknya akan meningkatkan ekonomi masyarakat dan PAD Mabar.” Begitu kata Ambros Djanggat. Benar. Yang jadi pertanyaan: seberapa besar peningkatan itu?

Kita bisa pastikan, dampak ekonomis bagi masyarakat dan PAD tidak akan sebanding dengan ketenaran TNK, kalau pariwisata Mabar masih seperti sekarang. Pariwisatanya belum menjadi leading sector yang menggerakkan sektor-sektor lain. Lihat saja. Mabar boleh punya TNK, Bali yang raup untung. Kapal turis datang dari Bali langsung ke TNK, lalu balik lagi ke Bali. Mabarnya tidak dilirik. Bali makan duitnya, Mabar makan bangganya.

Kalau masih seperti itu, gerakan Mabar mengantar TNK masuk Tujuh Keajaiban Dunia tak lebih daripada ‘fenomena permen karet’ (bubble gum phenomenon). Menggelembung besar, isinya hampa. Tak ada pula yang bisa diangkatnya kecuali dirinya sendiri. Sebab, ia cuma permen karet, bukan balon udara.

Dalam dunia psikologi, ‘fenomena permen karet’ menggejalakan kelainan jiwa. Megalomania. Kelainan jiwa yang ditandai khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran diri. Ekspresinya: ucapan dan tindakan. Gila yang besar-besar meski merusak. Tambang emas, gedung megah, mobil mewah, pesta meriah. Di tengah kemiskinan rakyat, bukankah ini termasuk “keajaiban dunia” juga?

“Bentara” FLORES POS, Jumat 1 Mei 2009


SENGGOL

Kasus Rm Faustin, Uskup dan para imam kecewa dengan Polres Ngada.
Polres bisa tanya, apa itu kecewa?

Terkait mogok makan, Yayasan Nusa Nipa bertemu dengan mahasiswa.
Temu kangen apa temu pisah?

Aliansi mahasiwa gulirkan 5 calon bupati dan wabup Mabar.
Hujan kepagian, ada apa?

Om Toki

Selengkapnya...