15 Maret 2009

Sosialisasi Tambang, Tim DPRD Diusir

*Sosialisasikan Undang-Undang Pertambangan

Oleh Maxi Gantung

LEWOLEBA - Tim DPRD Lembata yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Lembata, Frans Making, Sabtu (14/3) diusir oleh kurang lebih 1.500 masyarakat dari sembilan desa di Kecamatan Lebatukan.

Tim DPRD Lembata ini rencananya mau sosilisasikan undang-undang pertambangan di Lewolein Desa Dikesare Kecamatan Lebatukan yang dihadiri 6 desa di kawasan Leragere dan 3 desa pesisir.

Sesuai dengan surat Camat Lebatukan Andreas Wahon, tim DPRD Lembata melakukan sosialisasi di Lewolein, Sabtu (14/3) pukul 10.00. Namun mereka baru tiba di Lewolein sekitar pukul 13.00. Masyarakat sudah menunggu kedatangan wakil rakyat ini di gapura, pintu masuk Desa Dikesare.

Masyarakat melakukan pagar betis di gapura. Barisan paling depan adalah ibu-ibu dan perempuan. Ribuan masaa ini dikoordinasi oleh Fransisko Making, Sekretaris Badan Permusyawaratan (BPD) Desa Dikesare. Sementara rombongan DPRD Lembata yang dipimpin Frans Making dikawal oleh banyak polisi. Polisi lengkap dengan peralatannya menggunakan dua mobil Dalmas.

Begitu rombongan tiba, ibu-ibu langsung mengusir tim DPRD. Polisi melakukan negosiasi dengan koordinator, Fransisko Making. Namun masyarakat tetap menolak dan mengusir wakil rakyat tersebut untuk tidak boleh datang sosialisasi undang-undang pertambangan.

Fransisko Making bertemu dengan Frans Making sekitar beberapa menit, namun masyarakat tetap menolak. Rombongan tim DPRD itu tidak bisa masuk ke Lewolein dan terpaksa harus pulang ke Lewoleba. Rombongan anggota DPRD Lembata yang diusir itu yakni Frans Making, Yakobus Liwa, Karolus Koto Langoday dan Theodorus Laba Kolin.
Fransisko Making kepada Flores Pos mengatakan masyarakat sepakat menolak dan mengusir wakil rakyat yang datang untuk sosialisasi undang-undang pertambangan itu karena DPRD Lembata tidak berpihak pada masyarakat. Ia juga mengatakan ketika ribuan rakyat melakukan aksi demo di kantor bupati dan DPRD, wakil rakyat ini tidak mau menerima rakyat.

“Kalau DPRD sudah memperlakukan kami rakyat dengan cara mereka, kami juga sebagai rakyat punya cara untuk menerima mereka yakni dengan cara mengusir mereka,” katanya.
Menolak dan mengusir wakil rakyat ini merupakan kesepkatan seluruh masyarakat. Rakyat sudah membuat surat pernyataan menolak tambang, katanya. Tolak tambang adalah harga mati namun pemerintah bersama DPRD masih bersih keras untuk melanjutkan tambang emas dan tembaga di wilayah mereka.

Fransisko Making mengatakan, dalam surat pernyataan penolak tambang yang disampaikan kepada pemerintah beberapa waktu lalu masyarakat sudah jelas mengatakan bahwa tolak tambang harga mati. Rakyat juga tolak kegiatan sosialisasi pertambangan, studi amdal dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan tambang.

Terkait rencana pemerintah Kabupaten Lembata untuk kegiatan sosialisasi mengenai analisa mengenai dampak lingkungan (Amadal) pertambangan di Lopo Moting, Senin (16/3), masyarakat sembilan desa itu sepakat untuk melarang para kepala desa ikut kegiatan di Lopo tersebut.

Pater Marselinus Vande Raring SVD dari JPIC SVD mengatakan substansi kunjungan DPRD ini adalah sosialisasi pertambangan. Namun yang perlu diingat bahwa tiga kali masyarakat datang ke DPRD Lembata untuk menyampaikan menolak tambang. Namun ditanggapi secara negatif oleh DPRD. Pater Vande mengatakan kontrak karya pertambangan ini sudah ditandatangani tahun lalu, mengapa baru sekarang DPRD melakukan sosialisasi.

Pater Vande mengatakan, program sosialisasi pertambangan yang dilakukan oleh DPRD adalah program dadakan yang sangat membingungkan rakyat. Pater Vande juga mempertanyakan, “ DPRD itu wakilnya siapa”?

“Kalau mereka wakil rakyat mengapa harus dikawal oleh begitu banyak polisi. Kita pertanyakan eksistensi mereka sebagai wakil rakyat,” katanya.

Anggota Dewan Karolus Koto Langoday kepada Flores Pos di kediamannya, Minggu (15/3) mengatakan, masyarakat di Kecamatan Lebatukan itubukan mengusir mereka tapi menolak kehadiran mereka untuk sosialisasi undang-undang pertambangan. “Kami bukan diusir tapi kami ditolak”.

Karolus Koto Langoday mengatakan, dia kecewa dengan sikap masyarakat yang menolak kedatangan mereka. Karena mereka pergi sosialisasi bukan atas nama pribadi tapi lembaga. Terlepas dari menerima atau menolak tambang, katanya, mestinya masyarakat menerima mereka untuk mendengar sosialisasi undang-undang pertambangan.

Soal banyaknya polisi yang datang bersama tim DPRD, kata dia, itu karena mendapat informasi masyarakat akan mengancam mereka.

“Pa camat mendapat laporan dan diteruskan kepada kami kalau masyarakat ancaman mereka. Walaupun kami diancam kami tetap pergi dan minta bantuan polisi untuk mengawal kami”.*
Selengkapnya...

UU Pornografi Hancurkan Masa Depan Indonesia

*Perlu Upaya Judicial Review

Kristianto Naben
Kontributor

LEDALERO - Undang-Undang (UU) No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dinilai dapat menghancurkan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Karena UU Pornografi merupakan strategi dari partai politik tertentu untuk menciptakan “pasar politik”. Sasarannya adalah pemilih parokial-tradisional yang jumlahnya kurang lebih 73% dari total pemilih di Indonesia.

Demikian dikatakan Boni Hargens, staf pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dalam Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Sikka Tolak UU Pornografi di aula Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Sabtu (14/3).

Pembicara lain adalah Pater Leo Kleden, dosen Filsafat di STFK Ledalero dengan moderator Rm Richardus Muga Pr. Hadir dalam seminar tersebut anggota Forum Masyarakat Sikka Tolak UU Pornografi, mahasiswa dan dosen STFK Ledalero, utusan dari Pemda Lembata dan Flores Timur serta sejumlah undangan dan tokoh masyarakat di antaranya Dan Woda Pale serta beberapa anggota DPRD Sikka.

Dalam makalahnya berjudul “UU Pornografi: Strategi Penciptaan Pasar Politik”, Boni Hargens mengatakan, latar belakang munculnya UU Pornografi adalah sejarah bangsa dan Negara Indonesia yang tidak sehat di antaranya adanya Piagam Jakarta, pembungkaman Islam Politik semasa Orde Baru, euforia kebebasan sesudah 1998 dan kebangkitan politik identias, kemunculan partai-partai politik berjubah agama dan transisi politik yang tidak dijamin oleh adanya kepemimpinan yang tangguh (strong leadership).

Karena itu, ia menilai UU Pornografi adalah sebuah strategi politik untuk menciptakan pasar politik bagi partai tertentu. Konstelasi politik nasional saat ini sudah bergeser sejalan dengan meningkatnya perolehan suara partai berbasis Islam.
Perubahan konstelasi ini dipicu oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tahun 2004 ganti nama menjadi PKS dan meraih lebih dari 8 juta suara (eskalasi dukungan 100%). Hingga 2009, PKS menang di 90 pilkada (prop/kab/walikota) di seluruh Indonesia. Ini tantangan buat partai “kiri” (nasionalis-sekuler) seperti PDIP dan Golkar.

Kehadiran partai ini dan model kerjanya sama persis dengan Ichwanul Muslimin-nya Al-Hasan Al-Banna di Mesir atau PAS di Malaysia, termasuk Hamas di Palestina. Similaritas ini yang memuncul kecurigaan apalagi di tengah fenomena transnasionalisme saat ini.

“Pasar politik itu mengkondisikan masyarakat untuk berpihak pada elemen-elemen politik yang menyusun UU Pornografi itu. UU Pornografi adalah representasi dari fundamentalisme gaya baru yang sifatnya transnasional,” kata penulis buku "10 Dosa Pokok SBY-JK".

Alasan Penolakan
Boni Hargens mengemukakan dua alasan penolakan terhadap UU Pornografi. Pertama, secara teknis UU Pornografi rancu karena menyamakan pornografi dengan pornoaksi seperti dalam pasal 1 ayat (1) UU yang berbunyi “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

UU ini juga kontraproduktif seperti dalam Pasal 3 mengenai tujuan UU 44/2008 ini pada poin yaitu menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yg majemuk.
“Bali, Sunda, Papua, adalah contoh kelompok budaya yang dirugikan. Lantas dimana aspek “melindungi budaya”-nya?” kata Boni.

Kedua, dari aspek substantif, UU ini menunjukkan bahwa negara memasuki ruang privat warga dan menjajahnya habis-habisan. Selain itu, hal yang tak dapat dihindari adalah intensi UU Pornografi dengan doktrin agama tertentu.

UU Pornografi juga memakai logika monokausal dalam menyikapi problem sosial, padahal tiap problem sosial dibentuk oleh sebab yang plural maka harus dipandang dengan perspektif multikausal.

UU Pornografi juga menunjukkan phallosentrisme politik. Paradigma phallosentris hanya bertahan dalam kelompok (budaya, agama, dll) yang tidak lentur terhadap dinamika demokrasi yang menekankan prinsip ekualitas.

"UU Pornografi adalah sebuah alat untuk mengkondisikan secara kultural dan prosesual masyarakat untuk membatasi diri pada nilai politik tertentu saja. Di sinilah aspek politik jangka panjang dari kehadiran UU ini dan perda-perda sejenis di Tangerang, Padang, Depok, Bogor, Sukabumi, dll.," kata cendekiawan muda ini.

Sementara P. Leo Kleden dalam makalahnya berjudul “Mempertimbangkan UU RI No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dari Perspektif Multikulturalisme” mengatakan bahasa perundang-undangan menggunakan strategi bahasa ilmiah ketika merumuskan definisi agar tidak terjadi kerancuan makna dan salah paham.

Pengertian yang tepat ini diperlukan karena UU bertujuan mengatur tata terib kehidupan publik dan pelanggarannya dikenakan sanksi. Sangksi dalam UU Pornografi sungguh mencengangkan.

Ia mencontohkan dalam pasal 31, orang yang men-download pornografi dipidana dengan penjara empat tahun atau pidana denda sebanyak Rp2 milyar dan dalam pasal 34 disebutkan bahwa orang yang menjadikan dirinya objek atau model yang mengandung muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara 10 tahun atau pidana denda Rp5 milyar.

“Coba bayangkan, seorang yang men- download pornografi di internet dihukum dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar rupiah. Bagaimana rasa keadilan kita bila seorang anak muda dihukum dengan menggunakan pasal ini, sementara mereka yang merugikan puluhan ribu rakyat dalam kasus lumpur Lapindo tidak dihukum, atau para koruptor kelas kakap tidak juga ditangkap karena dekat dengan pusat kekuasaan? Aneh!” katanya.

Dengan mengungkap beberapa kerancuan bahasa dalam UU Pornografi, Pater Leo menegaskan bahwa kalau seorang jaksa atau hakim menggunakan pasal tertentu dari UU yang kurang jelas ini untuk menjerat orang dengan hukuman yang sekian berat, masalahnya bukan menggelikan melainkan mengerikan.

Pater Leo mengkritisi pasal 2 UU Pornografi isinya antara lain pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, kebhinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi dan perlindungan terhadap warga.

Menurut dia, formalisme agama di Indonesia yang diatur UU menyebabkan adanya schizophrenia atau keterpecahan pribadi secara psikologis dan sosial yang tak ada taranya. Dari satu pihak tampaknya bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius, karena masjid-masjid, gereja-gereja, tempat ibadah selalu penuh dengan umat tapi dari pihak lain Indonesia dicatat sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia.

“Pada hemat saya, hal yang sama bisa terjadi dalam bidang etika ketika pemerintah berusaha mengatur seksualitas melalui UU tentang pornografi. Dari satu pihak, siapa bisa mengontrol semua data pornografis pada zaman komunikasi global yang sekian canggih? Dari pihak lain tidak terbukti secara sosiologis bahwa pada bangsa-bangsa yang memberikan kebebasan pers seluas-luasnya terjadi lebih banyak kekerasan atau kejahatan seksual. Di negara-negara yang bebas ini rakyat yang terdidik menganggap pers pornografis sebagai sampah dan karena itu tidak laku. Sementara itu dari negara-negara Arab dengan norma seksual yang sangat ketat setiap tahun selalu ada TKW kita yang dipulangkan dalam peti mati sebagai korban kejahatan seksual,” katanya.

Menurut Pater Leo, ada asumsi yang keliru bahwa kita sanggup meningkatkan hidup beragama, kesusilaan dan akhlak melalui perundang-undangan. Yang harus diatur oleh perundang-undangan ialah menyediakan ruang publik di mana orang bisa menghayati iman dan etika personal dengan bebas, yang dikembangkan melalui pendidikan yang baik. Dengan ini kita tidak mendukung penyebarluasan pornografi. “Yang hendak ditunjukkan di sini adalah bahwa para legislator kita telah menggunakan obat yang salah untuk sebuah penyakit sosial,” katanya.

Dukung Judicial Review
Dalam seminar tersebut, para pembicara dan peserta mendukung dilakukannya Judicial Review atas UU Pornografi. Boni Hargens mengatakan, kalau UU ini dipertahankan masa depan Indonesia akan dihancurkan karena UU ini adalah bukti nyata kemenangan kaum mayoritas atas minoritas dan menunjukkan kegagalan para legislator menyusun UU, padahal mereka adalah konsumen terbesar untuk dunia hiburan.

Karena itu, Boni Hargens menekankan bahwa kita yang menjadi kaum minoritas mesti menjadi minoritas yang kreatif, yang meskipun sedikit namun memberikan pengaruh yang besar sehingga mendatangkan perubahan.

Sementara P. Leo Kleden mengatakan, apa artinya diskusi dalam seminar ini kalau pada akhirnya gagal. Bercermin pada Sokrates dan Yesus Kristus yang harus mati demi mempertahankan kebenaran, Pater Leo menegaskan bahwa kita mesti tetap menyalakan kesadaran dan memperjuangkan apa yang sukar. Ia yakin bahwa orang yang berada dalam tekanan akan berjuang lebih besar dari mereka yang ada di medan perang.
Di akhir dari seminar ini, salah seorang anggota Forum, Tilde Pora, membacakan surat pernyataan bersama yang intinya antara lain menolak UU Pornografi, meminta Presiden RI mencabut UU Pornografi dan mengajak berbagai elemen masyarakat untuk mendukung upaya Judicial Review.

Seminar ini sedianya dihadiri oleh Adnan Buyung Nasution, Gubernur NTT, Sulawesi Utara, Papua dan Bali. Adnan Buyung Nasution tidak bisa hadir karena harus mengikuti satu agenda penting di Jakarta. Gubernur NTT yang sudah menyatakan kesediaannya untuk membuka dan menjadi pembicara, kemudian mendelegasikan tugas itu pada Asisten I Setda Provinsi NTT. Namun, ketika hendak ke Maumere, pesawat mengalami gangguan sehingga kehadirannya dibatalkan.

Sementara para gubernur lainnya juga tidak bisa hadir. Beberapa Bupati se-daratan Flores-Lembata juga diundang, namun yang hadir hanyalah utusan dari Lembata dan Flores Timur. Bupati Sikka yang diundang untuk hadir dan menutup seminar tersebut, hingga hari pelaksanaan seminar tidak memberikan konfirmasi dan tidak hadir pada acara tersebut.*
Selengkapnya...

Jatah Pupuk Bersubsidi Tidak Sesuai Kebutuhan

Oleh Hubert Uman

BAJAWA - Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Ngada Bernard F Burah mengatakan, jatah pupuk bersubsidi untuk Kabupaten Ngada pada musim tanam 2009-2010 tidak sesuai kebutuhan riil pupuk. Alokasi untuk kabupaten Ngada hanya 925 ton.

Pada kebutuhan pupuk di Ngada, kata dia, untuk musim tanam 2009/2010 untuk padi sawah, urea 1.348 ton, SP36 651 ton, dan Ponska (NPK) 726,5 ton. Untuk tanaman jagung musim tanam 2010, urea 1.426 ton, dan Sp36 712,9 ton.

Jatah pupuk bersubsidi jenis urea, kata Bernard, hanya 925 ton. Tidak sesuai permintaan dan kebutuhan. Kalau karena alasan RDKK (rencana definitif kegiatan kelompok) belum dimasukkan, sebenarnya bisa pakai dulu acuan data 2008. Sebab sosialisasi jatah pupuk berdasarkan RDKK ini belum optimal dilakukan.

“Ini berdasarkan luas areal fungsional. Dari sini kita lihat kebutuhan pupuk tidak cukup. Kita tetap berusaha agar ada penambahan jata pupuk lagi untuk Ngada,” kata Bernard Burah di ruang kerjanya, Jumat (13/3). Saat itu ia didampingi Kepala Bidang Perlindungan Tanaman dan Ternak Tena Damianus.

Distributor pupuk bersubsidi untuk Ngada dan Nagekeo Eufrasia S.Lay mengatakan, jatah pupuk urea yang hanya 925 ton hanay dapat memenuhi kebutuhan beberapa bulan saja.

“Supaya jatah pupuk subsidi ini bisa tambah, Pemda harus segera merevisi jatah pupuk lewat keputusan bupati. SK bupati ini akan dikirim ke gubernur yang tembusannya disampaikan juga ke PT Pupuk Kaltim. Di dalam revisi jatah pupuk ini dimasukan juga jatah pupuk untuk proyek pemerintah,” kata Eufrasia.*
Selengkapnya...

TPDI Bahas Kasus Romo Faustin dengan Kapolri

Oleh Wall Abulat


MAUMERE - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menyatakan penyesalannya atas kinerja Kapolres Ngada, AKBP Erdy Swahariyadi yang tidak transparan dalam proses hukum para tersangka pembunuhan Romo Faustin Sega, Pr.
Dia prihatin karena penanganan kasus ini sepertinya berjalan di tempat. TPDI telah akan menemui Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri untuk membahas masalah penanganan kematian Romo Faustin, pekan ini.

”TPDI sudah mengagendakan untuk bahas kasus Romo Faustin dan kinerja Kapolres Ngada ini dengan Kapolri,” kata Petrus Selestinus, Sabtu (14/3).

Dia ditanyai seputar sikap Kapolres Ngada AKBP Erdy Swahariyadi yang tidak mau diwawancari wartawan terkait perkembangan penanganan kasus Romo Faustin Sega, seperti diberitakan harian ini, Sabtu (14/3).

Selestinus mengaku pihaknya telah menerima keluhan masyarakat terkait kinerja Kapolres Ngada dan jajarannya yang tidak serius tangani kasus Romo Faustin Sega, dan pelbagai kasus lainnya.

“Selain mengagendakan bertemu Kapolri, TPDI juga akan membicarakan masalah serupa dengan Kepala Divisi Humas Mabes Polri dan petinggi Polri lainnya,” kata calon legislatif (caleg) DPR RI daerah pemilihan NTT I yang diusung Partai Demokrasi Pembaruan (DPD) ini.

Menurut Selestinus, sikap Kapolres Ngada yang tidak bersedia diwawancarai seputar perkembangan kasus Romo Faustin sangat bertentangan dengan kebijakan pimpinan Polri saat ini yang menekankan pentingnya peran informasi dari dan ke masyarakat, pentingnya transparansi.

Sikap Kapolres Ngada yang tertutup itu, lanjutnya, juga bertentangan dengan UU tentang informasi publik dan peraturan pemerintah terkait hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.

“Sikap tertutup seperti ini telah mencederai hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dijamin UU. Apalagi kasus yang sedang ditangani ini sudah menjadi konsumsi publik. Pertanyaan muncul, Kapolres bekerja untuk kepentingan siapa, apakah untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan pihak tertentu,” katanya.

Kepada Kapolri, Selestinus meminta agar segera mencopot Kapolres Ngada karena kinerja tidak profesional dan telah mencederai hati masyarakat, terutama keluarga Romo Faustin.

“Dalam agenda pertemuan itu nanti, saya akan mendesak Kapolri untuk segera copot Kapolres Ngada,” katanya.

Desakan untuk mencopot Kapolres Ngada ini juga disampaikan Ketua Forum Peduli Atas Situasi Negara (Petasan) Kabupaten Sikka, Siflan Angi dan adik kandung Romo Faustin, Carles Vian Baba dan Afra Mago, sebelumnya.

Mereka minta Kapolri untuk segera mencopot Kapolres Ngada karena kinerjanya tidak profesional dan telah membuat kesimpulan tergesa bahwa Romo Faustin meninggal wajar.
“Kapolri harus segera copot Kapolres Ngada,” kata Siflan, yang juga Ketua DPD Partai Merdeka Kabupaten Sikka.

Afra Mago selain mendesak Kapolres dicopot, juga dalam pernyataannya minta Kapolda NTT untuk mengambil alih penanganan hukum kasus Romo Faustin Sega. “Kapolda harus ambil alih penanganan kasus ini,” kata Mago.*

Selengkapnya...

Pemilu, Bikin Kita Pilu

Oleh P Peter C. Aman OFM
Direktur JPIC OFM Jakarta


Tak ada hari tanpa bicara politik. Tak ada saat tanpa menyusun siasat, entah apa namanya, seperti kerja sama, koalisi, agenda partai, isu kampanye, politik pencitraan, iklan, dll. Isu-isu inilah yang mengisi ruang publik serta menyita perhatian banyak orang saat ini. Saat menjelang pemilu.

Kalau mau jujur semua hingar-bingar tersebut tak punya simpul utuh dengan keperihatinan nyata rakyat kecil yang gelisah karena akan digusur, tanahnya dicaplok perusahaan tambang, harga bahan pangan tak kunjung terjangkau, musim yang tak menentu, busung lapar, biaya sekolah yang tinggi, kemiskinan dllsb. Lantas pertanyaan penting di sini adalah apakah Pemilu punya makna signifikan bagi perubahan kondisi hidup masyarakat Indonesia ke depan?


Demokrasi Seolah-olah
Kesuksesan penyelenggaraan pemilu 2004 tak urung membuat bangsa ini berbangga dan berbesar hati. Tak sedikit kata-kata pujian dialamatkan kepada diri sendiri: kita adalah bangsa besar dan demokratis; Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia setelah India dan USA.

Tentu tidak etis juga menyangkal kenyataan itu. Memang benar, Pemilu 2004 berjalan damai, tanpa insiden dan intimidasi. Rakyat menikmati kebebasan dan kedamaian dalam memberikan suaranya di tempat-tempat pemungutan suara. Monster Orde Baru, dalam rupa kehadiran petugas keamanan (militer) secara mencolok, yang membuat Pemilu selalu mencekam sudah terkubur.

Tetapi apakah itu yang dimaksudkan dengan demokrasi? Sudah sempurnakah demokrasi kita dalam wujud pemilu 2004? Kita ibarat anekdot tentang orang buta yang memegang kaki gajah lantas mendeskripsikan gajah seperti batang pohon. Pemilu yang damai dan bebas belumlah figur utuh dari demokrasi.

Atmosfere demokrasi dalam pemilu 2004, berupa kebebasan dan kedamaian tidak dapat dipisahkan dari eforia sosial politik masyarakat kita waktu itu, yang berharap banyak pada reformasi. Reformasi telah dinobatkan sebagai kemenangan rakyat atas kediktatoran Orde Baru. Pemilu 2004 seakan-akan diimpikan sebagai suatu gerbang terbuka menuju masyarakat adil makmur serta bebas merdeka.

Harapan seperti itu, tentu saja wajar. Rakyat berhak mengimpikannya dan menuntut bahwa dengan pemilu impian itu menjadi kenyataan.

Sekarang kita menjelangi pemilu 2009. Lima tahun terlewatkan tanpa ada perubahan berarti. Bukan bahwa tidak ada perubahan. Soalnya bahwa perubahan itu tidak menyapa dan menyentuh apalagi menjawab kebutuhan serta kepentingan masyarakat.

Mengapa demikian? Karena pemilu yang damai dam bebas barulah bungkusan atau kulit luar demokrasi. Substansi atau isi demokrasi adalah kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam setiap proses dan pilihan kebijakan pembangunan, karena muara atau tujuan akhirnya tidak bisa lain yakni: sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Persis inti dan substansi demokrasi itulah yang tidak tercapai selama periode lima tahun pasca pemilu 2004.

Kita berandai bahwa pemilu kala itu adalah mahkota demokrasi, ternyata demokrasi kita baru sebatas bungkus dan kulit luar: demokrasi seolah-olah.

Dari Demokrasi ke Oligarki
Hasil nyata dari pemilu 2004 adalah hadirnya gerombolan manusia yang berdasi rapi menduduki kursi-kursi kehormatan di Dewan Perwakilan mulai dari DPRD II sampai pada DPRD Pusat.

Siapa orang-orang itu? De Iure et per defenitionem mereka adalah wakil rakyat, para pejuang kepentingan rakyat. Mereka adalah manusia “berbahu lebar” tempat rakyat menimpakan keluhan dan keprihatinannya; mereka adalah para penyanyi yang berdendang: lay your troubles on my shoulders, put your worries in my pocket…. mereka adalah manusia berhati seluas laut untuk menampung, menyimpan dan kemudian mengolah agenda-agenda besar yang lahir dari kepedulian pada rakyat, untuk kemudian melahirkan hukum-hukum dan undang-udang yang isinya tidak lain dari spirit: sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mereka adalah manusia-manusia Indonesia pilihan dan cerdas untuk selalu menemukan jalan keluar bagi selaksa problematika masyarakat.

Yah, tetapi itu adalah impian, seharusnya, das sollen. Nyatanya, jauh panggang dari api. Begitu banyak produk Undang-Undang yang dihasilkan DPR yang menuai protes dan perlawanan dari masyarakat. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat serta kesejahteraannya, mereka malah berkoalisi dengan kaum kapitalis untuk memenangkan kepentingan pemodal dan menggilas rakyat yang mengangkatnya ke kursi terhormat itu. DPRD di salah satu kabupaten NTT, malah beramai-ramai mensosialisasikan kepentingan perusahaan Tambang yang dilawan rakyat. Dukacita, kecemasan dan penderitaan rakyat,mereka abaikan karena pemodal sudah membeli mereka. Lantas untuk apa pemilu? Untuk apa memilih para wakil rakyat?

Peran dan fungsi kritis yang harus dilakonkan melawan pelbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat tidak pernah dioptimalkan. Di kabupaten lain di NTT malah DPRD tidak tahu bahwa sudah banyak perusahaan tambang masuk menjarah kekayaan daerahnya.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Korupsi sudah menjadi menu harian dari berita-berita di negeri ini. Litani kisah penangkapan anggota dewan yang korup tak unjung usai terucap. Praktek persengkokolan pemodal, penguasa dan wakil rakyat sudah menjadi lazim. Di zaman Orde Baru kasus korupsi terkosentrasi di seputar elite kekuasaan. Dalam era reformasi masa kini, melakukan korupsi seolah-olah menjadi ‘citra diri baru’ kaum birokrat dan wakil rakyat. Belum keren kalau belum terlibat pada perkara yang satu itu, karena korupsi bukan lagi kejahatan tetapi kebudayaan. Hanya di Indonesia korupsi disebut kebudayaan.

Kalau out-put pemilu hanya sebatas itu, maka pemilu kita barulah bernilai demokratis secara prosedural dan elektorial dan bukan substansinya. Ada pengalihan kekuasaan dan kedaulatan kepada wakil rakyat, tetapi begitu menggenggam kekuasaan para wakil rakyat menjauhi rakyat, lantas berkolusi dengan penguasa dan pengusaha.

Bungkusan atau kulit demokrasi itu ternyata isinya adalah oligarki. Kekuasaan berada di tangan kelompok-kelompok kuat yang terus menerus memperjuangkan dan mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya, tanpa peduli rakyat mau jadi apa. Itulah yang kita temukan dalam aktivitas para politisi menjelang pemilu 2009 ini. Berkoalisi untuk kemudian berkolusi. Demokrasi kita melahirkan anak haram oligarki. Ya, pemilu seperti ini tentu bikin kita pilu.*
Selengkapnya...

Hari Ini, Pendeklarasian Kampanye Damai Pemilu 2009

Oleh Leonard Ritan

KUPANG - KPUD NTT, sesuai jadwal dan tahapan pelaksanaan pemilu legislatif 2009, hari ini Senin (16/3) melakukan pendeklarasian kampanye damai pemilu legislatif 2009. Pada kesempatan itu, akan dibacakan ikrar kampanye oleh wakil partai politik (Parpol) kontestan pemilu 2009.

Juru bicara KPUD NTT, Djidon de Haan kepada wartawan di Kupang, Sabtu (14/3) mengatakan, pencanangan kampanye damai ini akan dilaksanakan di arena pameran Fatululi-Kota Kupang pada pukul 14.00. Kegiatan ini dihadiri oleh 38 parpol di NTT dan 40 orang calon anggota legislatif (Caleg) DPD RI.

Dikatakannya, hingga Sabtu (14/3) baru enam dari 38 partai politik peserta pemilu legislatif di Provinsi NTT yang memasukan nama-nama juru kampanye ke KPUD NTT. Keenam parpol dimaksud yakni PDI Perjuangan, Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Demokrat, Partai Kedaulatan, Partai Pemuda, dan Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia.

Menurutnya, KPUD NTT telah beberapa kali meminta semua parpol untuk memasukan daftar nama-nama jurkam. Ini berkaitan dengan pelaksanaan rapat umum terbuka dalam bentuk kampanye.

“Jika tak berkampanye, parpol bersangkutan harus membuat surat pernyataan yang ditujukan kepada KPUD dengan tembusan ke panwaslu. Surat pernyataan itu penting sehingga jika diketahui parpol tersebut melaksanakan kampanye terbuka, dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku,” ungkap Djidon.

Sedangkan, lanjut Djidon, baru satu orang dari 40 orang caleg DPD RI atas nama Rikardus Wawo yang telah menyampaikan secara resmi bahwa dirinya tak melakukan kampanye terbuka. Dengan penyampaian dimaksud maka Rikardus Wawo dilarang untuk melakukan kampanye terbuka, baik dilakukannya sendiri maupun menggandeng parpol tertentu saat berkampanye. Jika kedapatan berkampanye terbuka, akan diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku.

Walau tak melakukan kampanye terbuka, papar Djidon, metode lain seperti rapat terbatas dan kampanye media dapat dilaksanakan tanpa ada konsekuensi hukum. Sehingga bagi parpol atau caleg DPD RI yang tak mau melaksanakan kampanye terbuka, bisa memilih metode lain.

Tentang pejabat negara seperti gubernur, wakil gubernur, bupati/walikota atau wakil bupati/wakil walikota yang mengajukan cuti kampanye, Djidon katakan belum ada, termasuk enam parpol yang sudah meyerahkan daftar jurkam. Sesuai ketentuan, tiga hari sebelum masa kampanye, pejabat negara tersebut sudah harus mengajukan cuti.

Dalam melaksanakan kampanye, pejabat tersebut tak boleh menggunakan fasilitas negara. Jika kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi jurkam, harus diatur agar keduanya tak melaksanakan kampanye pada hari yang sama. Sehingga tugas kenegaraan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Anggota KPUD NTT, Gazim M. Nur menjelaskan, susunan acara pencanangan kampanye damai ini sebagai berikut pembacaan kesepakatan dan pawai kampanye damai. Pada moment ini, setiap parpol diminta untuk menghadirkan 50 orang massa pendukung dan dua kendaraan. Sedangkan masing-masing caleg DPD RI , menghadirkan 10 orang massa dan satu kendaraan. Diperkirakan, sekitar 250 kendaraan akan diikutkan dalam pawai kampanye damai.

Gazim menambahkan, setiap partai dijadwalkan melaksanakan kampanye dalam dua hari, yakni mulai pukul 09- 16.00 Wita. Sesuai jadwal, setiap hari sebanyak tiga atau empat parpol yang melaksanakan kampanye di seluruh NTT. Kegiatan kampanye akan berakhir pada 5 April.*
Selengkapnya...

Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kibbla

Oleh Hubert Uman

BAJAWA - Program kemitraan antara Pemerintah Australia dan Indonesia di Kabupaten Ngada yang sedang dilaksanakan ialah penanganan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Kibbla). Program ini dibiayai pemerintah Australia dan Indonesia dalam hal ini Departemen Kesehatan. Pelaksanaannya berlangsung selama tiga tahun, 2008-2011.

Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Ngada Kosmas D. Lana, yang menarik dalam program, pihak Australia tidak membuat program sendiri. Mereka hanya mendukung program yang sudah direncanakan oleh Pemerintah Daerah.

“Tujuan jangka pendek program ini menuju persalinan selamat (MPS). Tujuan jangka panjangnya, untuk mencapai kesehatan ibu dan anak secara efektif serta memfasilitasi pendekatan lintas sektor. Sebab untuk kesehatan ibu dan anak bukan hanya tugas dinas kesehatan saja. Butuh keterlibatan sector lain,”kata Kosmas D Lana di ruang kerjanya, Sabtu (14/3).

Dia menjelaskan, instansi yang terlibat dalam program Kibbla ini, Bappeda melakukan kegiatan pra-Musrenbang Kibbla, Dinas Kesehatan mengadakan pelatihan bidan-bidan atau tenaga kesehatan, Dinas kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga Berencana mengadakan pelatihan KIE, dan BPMD dalam melakukan sosialisasi Kibbla dalam kaitannya dengan siaga. Untuk koordinasi, pihak Australia menempatkan konsultannya yakni Henyo Kerong di Bajawa dan berkantor di Bappeda.

Disampaikan oleh Fasilitator Provinsi Untuk Kibbla C. J. H Fernandes, Puskesmas sasaran program Kibbla ini ada tiga yakni Puskesmas Koeloda di Mataloko Kecamatan Golewa, Puskesmas Waepana di Kecamatan Soa, dan Puskesmas Maronggela Kecamatan Riung Barat.

Program kemitraan Australia-Indonesia untuk Kibbla ini, kata Fernandes, bersifat mendukung kegiatan yang diprogramkan Pemda. Dalam pelaksanaannya dibentuk satu tim yang namanya Distric Team Problem Solving (PTPS) yang anggotanya dari Dinas Kesehatan 7 orang, Bappeda 2 orang, dan BPMD, KCKB, IPPN (Ikatan Persatuan Perawat Nasional) IBI (Ikatan Bidan) dan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) masing-masing satu orang.*

Selengkapnya...

TPDI Dampingi Tersangka Kasus Cendana

Oleh Hubert Uman

BAJAWA - Warga Desa Nginamanu Kecamatan Wolomeze Mateus Meno, Videlis Reo, dan No Lengga pemilik kayu cendana yang dijadikan tersangka dalam kasus kayu cendana yang ditebang dan diangkut oleh dua anggota Polres Ngada Agus dan Andi, didampingi oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Surat kuasa sudah ditandatangani oleh Mateus Meno cs pada Sabtu (14/3) di Nginamanu.

“Kami sudah mendapat surat kuasa dari Mateus Meno cs. TPDI akan mengadu aparat polres Ngada ke Kapolri. Selaku kuasa hukum kami memiliki bukti kuat Kapolres Ngada dan anggotanya melakukan illegal logging. Dari mulut dua anggotanya kapolres yang menyuruh Andi dan Agus mengangkut kayu dari Kurubhoko. Mereka harus ditindak,”tegas Petrus Salestinus, Sabtu (14/3) usai penandatanganan surat kuasa dari Mateus Meno itu. Ia pergi ke Nginamanu bersama Ketua TPDI NTT Meridian Dewanto Dado.

Meridian Dewanta Dado menegaskan, salah kaprah Mateus Meno cs dijadikan tersangka dalam kasus illegal logging ini. Kayu mereka dipotong oleh orang suruhan anggota Polres. Kayu cendana juga anggota Polres yang angkut, tetapi digagalkan oleh Babinsa Wolomeze Niko Ria.

Sebagai kuasa hokum, demikian Dewanta, TPDI akan mendampingi Mateus Meno cs di setiap pemeriksaan, mulai dari penyidikan sampai ke pengadilan. Kapan mereka dipanggil dan diperiksa TPDI damping.

Anggota DPRD Ngada Yohanes Lingge mengatakan, masalah kayu cendana di Nginamanu ini sudah dibahas juga dalam rapat kerja komisi A DPRD Ngada. Komisi A minta kasus ini diusut tuntas. Siapa saja yang terlibat ditindak tegas.

Berdasarkan pengakuan dari pemilik kayu cendana di Wangka Selatan Kecamatan Riung, demikian Lingge, sebanyak 448 kg. Pada waktu hendak dipotong,antara pemilik kayu dengan Akbar dan dua anggota Polres Ngada Andi dan Agus menyepakati harga kayu Rp50 ribu/kg. Karena belum ada surat izin, maka harga kayu dipotong sebesar Rp25 ribu untuk urus surat-surat. Pemilik kayu hanya terima Rp25.000/kg. Ternyata sampai kayu diangkut surat-surat tidak diurus. Biaya proses perizinan dimakan Akbar dan dua anggota Polres. Kayu dipotong sejak Juli 2008.

“Kita selama ini sangat gencar propaganda untuk melestarikan hutan. Masyarakat yang tebang pohonnya sendiri ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sekarang aparat keamanan sendiri yang tebang pohon harus diproses. Penegakan hukum jangan pilih buluh,”kata anggota DPRD Ngada Frans Waha asal Riung di salah satu ruang komisi DPRD Ngada Kamis (12/3).*

Selengkapnya...