15 Maret 2009

Pemilu, Bikin Kita Pilu

Oleh P Peter C. Aman OFM
Direktur JPIC OFM Jakarta


Tak ada hari tanpa bicara politik. Tak ada saat tanpa menyusun siasat, entah apa namanya, seperti kerja sama, koalisi, agenda partai, isu kampanye, politik pencitraan, iklan, dll. Isu-isu inilah yang mengisi ruang publik serta menyita perhatian banyak orang saat ini. Saat menjelang pemilu.

Kalau mau jujur semua hingar-bingar tersebut tak punya simpul utuh dengan keperihatinan nyata rakyat kecil yang gelisah karena akan digusur, tanahnya dicaplok perusahaan tambang, harga bahan pangan tak kunjung terjangkau, musim yang tak menentu, busung lapar, biaya sekolah yang tinggi, kemiskinan dllsb. Lantas pertanyaan penting di sini adalah apakah Pemilu punya makna signifikan bagi perubahan kondisi hidup masyarakat Indonesia ke depan?


Demokrasi Seolah-olah
Kesuksesan penyelenggaraan pemilu 2004 tak urung membuat bangsa ini berbangga dan berbesar hati. Tak sedikit kata-kata pujian dialamatkan kepada diri sendiri: kita adalah bangsa besar dan demokratis; Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia setelah India dan USA.

Tentu tidak etis juga menyangkal kenyataan itu. Memang benar, Pemilu 2004 berjalan damai, tanpa insiden dan intimidasi. Rakyat menikmati kebebasan dan kedamaian dalam memberikan suaranya di tempat-tempat pemungutan suara. Monster Orde Baru, dalam rupa kehadiran petugas keamanan (militer) secara mencolok, yang membuat Pemilu selalu mencekam sudah terkubur.

Tetapi apakah itu yang dimaksudkan dengan demokrasi? Sudah sempurnakah demokrasi kita dalam wujud pemilu 2004? Kita ibarat anekdot tentang orang buta yang memegang kaki gajah lantas mendeskripsikan gajah seperti batang pohon. Pemilu yang damai dan bebas belumlah figur utuh dari demokrasi.

Atmosfere demokrasi dalam pemilu 2004, berupa kebebasan dan kedamaian tidak dapat dipisahkan dari eforia sosial politik masyarakat kita waktu itu, yang berharap banyak pada reformasi. Reformasi telah dinobatkan sebagai kemenangan rakyat atas kediktatoran Orde Baru. Pemilu 2004 seakan-akan diimpikan sebagai suatu gerbang terbuka menuju masyarakat adil makmur serta bebas merdeka.

Harapan seperti itu, tentu saja wajar. Rakyat berhak mengimpikannya dan menuntut bahwa dengan pemilu impian itu menjadi kenyataan.

Sekarang kita menjelangi pemilu 2009. Lima tahun terlewatkan tanpa ada perubahan berarti. Bukan bahwa tidak ada perubahan. Soalnya bahwa perubahan itu tidak menyapa dan menyentuh apalagi menjawab kebutuhan serta kepentingan masyarakat.

Mengapa demikian? Karena pemilu yang damai dam bebas barulah bungkusan atau kulit luar demokrasi. Substansi atau isi demokrasi adalah kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam setiap proses dan pilihan kebijakan pembangunan, karena muara atau tujuan akhirnya tidak bisa lain yakni: sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Persis inti dan substansi demokrasi itulah yang tidak tercapai selama periode lima tahun pasca pemilu 2004.

Kita berandai bahwa pemilu kala itu adalah mahkota demokrasi, ternyata demokrasi kita baru sebatas bungkus dan kulit luar: demokrasi seolah-olah.

Dari Demokrasi ke Oligarki
Hasil nyata dari pemilu 2004 adalah hadirnya gerombolan manusia yang berdasi rapi menduduki kursi-kursi kehormatan di Dewan Perwakilan mulai dari DPRD II sampai pada DPRD Pusat.

Siapa orang-orang itu? De Iure et per defenitionem mereka adalah wakil rakyat, para pejuang kepentingan rakyat. Mereka adalah manusia “berbahu lebar” tempat rakyat menimpakan keluhan dan keprihatinannya; mereka adalah para penyanyi yang berdendang: lay your troubles on my shoulders, put your worries in my pocket…. mereka adalah manusia berhati seluas laut untuk menampung, menyimpan dan kemudian mengolah agenda-agenda besar yang lahir dari kepedulian pada rakyat, untuk kemudian melahirkan hukum-hukum dan undang-udang yang isinya tidak lain dari spirit: sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mereka adalah manusia-manusia Indonesia pilihan dan cerdas untuk selalu menemukan jalan keluar bagi selaksa problematika masyarakat.

Yah, tetapi itu adalah impian, seharusnya, das sollen. Nyatanya, jauh panggang dari api. Begitu banyak produk Undang-Undang yang dihasilkan DPR yang menuai protes dan perlawanan dari masyarakat. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat serta kesejahteraannya, mereka malah berkoalisi dengan kaum kapitalis untuk memenangkan kepentingan pemodal dan menggilas rakyat yang mengangkatnya ke kursi terhormat itu. DPRD di salah satu kabupaten NTT, malah beramai-ramai mensosialisasikan kepentingan perusahaan Tambang yang dilawan rakyat. Dukacita, kecemasan dan penderitaan rakyat,mereka abaikan karena pemodal sudah membeli mereka. Lantas untuk apa pemilu? Untuk apa memilih para wakil rakyat?

Peran dan fungsi kritis yang harus dilakonkan melawan pelbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat tidak pernah dioptimalkan. Di kabupaten lain di NTT malah DPRD tidak tahu bahwa sudah banyak perusahaan tambang masuk menjarah kekayaan daerahnya.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Korupsi sudah menjadi menu harian dari berita-berita di negeri ini. Litani kisah penangkapan anggota dewan yang korup tak unjung usai terucap. Praktek persengkokolan pemodal, penguasa dan wakil rakyat sudah menjadi lazim. Di zaman Orde Baru kasus korupsi terkosentrasi di seputar elite kekuasaan. Dalam era reformasi masa kini, melakukan korupsi seolah-olah menjadi ‘citra diri baru’ kaum birokrat dan wakil rakyat. Belum keren kalau belum terlibat pada perkara yang satu itu, karena korupsi bukan lagi kejahatan tetapi kebudayaan. Hanya di Indonesia korupsi disebut kebudayaan.

Kalau out-put pemilu hanya sebatas itu, maka pemilu kita barulah bernilai demokratis secara prosedural dan elektorial dan bukan substansinya. Ada pengalihan kekuasaan dan kedaulatan kepada wakil rakyat, tetapi begitu menggenggam kekuasaan para wakil rakyat menjauhi rakyat, lantas berkolusi dengan penguasa dan pengusaha.

Bungkusan atau kulit demokrasi itu ternyata isinya adalah oligarki. Kekuasaan berada di tangan kelompok-kelompok kuat yang terus menerus memperjuangkan dan mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya, tanpa peduli rakyat mau jadi apa. Itulah yang kita temukan dalam aktivitas para politisi menjelang pemilu 2009 ini. Berkoalisi untuk kemudian berkolusi. Demokrasi kita melahirkan anak haram oligarki. Ya, pemilu seperti ini tentu bikin kita pilu.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar