15 Maret 2009

Sosialisasi Tambang, Tim DPRD Diusir

*Sosialisasikan Undang-Undang Pertambangan

Oleh Maxi Gantung

LEWOLEBA - Tim DPRD Lembata yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Lembata, Frans Making, Sabtu (14/3) diusir oleh kurang lebih 1.500 masyarakat dari sembilan desa di Kecamatan Lebatukan.

Tim DPRD Lembata ini rencananya mau sosilisasikan undang-undang pertambangan di Lewolein Desa Dikesare Kecamatan Lebatukan yang dihadiri 6 desa di kawasan Leragere dan 3 desa pesisir.

Sesuai dengan surat Camat Lebatukan Andreas Wahon, tim DPRD Lembata melakukan sosialisasi di Lewolein, Sabtu (14/3) pukul 10.00. Namun mereka baru tiba di Lewolein sekitar pukul 13.00. Masyarakat sudah menunggu kedatangan wakil rakyat ini di gapura, pintu masuk Desa Dikesare.

Masyarakat melakukan pagar betis di gapura. Barisan paling depan adalah ibu-ibu dan perempuan. Ribuan masaa ini dikoordinasi oleh Fransisko Making, Sekretaris Badan Permusyawaratan (BPD) Desa Dikesare. Sementara rombongan DPRD Lembata yang dipimpin Frans Making dikawal oleh banyak polisi. Polisi lengkap dengan peralatannya menggunakan dua mobil Dalmas.

Begitu rombongan tiba, ibu-ibu langsung mengusir tim DPRD. Polisi melakukan negosiasi dengan koordinator, Fransisko Making. Namun masyarakat tetap menolak dan mengusir wakil rakyat tersebut untuk tidak boleh datang sosialisasi undang-undang pertambangan.

Fransisko Making bertemu dengan Frans Making sekitar beberapa menit, namun masyarakat tetap menolak. Rombongan tim DPRD itu tidak bisa masuk ke Lewolein dan terpaksa harus pulang ke Lewoleba. Rombongan anggota DPRD Lembata yang diusir itu yakni Frans Making, Yakobus Liwa, Karolus Koto Langoday dan Theodorus Laba Kolin.
Fransisko Making kepada Flores Pos mengatakan masyarakat sepakat menolak dan mengusir wakil rakyat yang datang untuk sosialisasi undang-undang pertambangan itu karena DPRD Lembata tidak berpihak pada masyarakat. Ia juga mengatakan ketika ribuan rakyat melakukan aksi demo di kantor bupati dan DPRD, wakil rakyat ini tidak mau menerima rakyat.

“Kalau DPRD sudah memperlakukan kami rakyat dengan cara mereka, kami juga sebagai rakyat punya cara untuk menerima mereka yakni dengan cara mengusir mereka,” katanya.
Menolak dan mengusir wakil rakyat ini merupakan kesepkatan seluruh masyarakat. Rakyat sudah membuat surat pernyataan menolak tambang, katanya. Tolak tambang adalah harga mati namun pemerintah bersama DPRD masih bersih keras untuk melanjutkan tambang emas dan tembaga di wilayah mereka.

Fransisko Making mengatakan, dalam surat pernyataan penolak tambang yang disampaikan kepada pemerintah beberapa waktu lalu masyarakat sudah jelas mengatakan bahwa tolak tambang harga mati. Rakyat juga tolak kegiatan sosialisasi pertambangan, studi amdal dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan tambang.

Terkait rencana pemerintah Kabupaten Lembata untuk kegiatan sosialisasi mengenai analisa mengenai dampak lingkungan (Amadal) pertambangan di Lopo Moting, Senin (16/3), masyarakat sembilan desa itu sepakat untuk melarang para kepala desa ikut kegiatan di Lopo tersebut.

Pater Marselinus Vande Raring SVD dari JPIC SVD mengatakan substansi kunjungan DPRD ini adalah sosialisasi pertambangan. Namun yang perlu diingat bahwa tiga kali masyarakat datang ke DPRD Lembata untuk menyampaikan menolak tambang. Namun ditanggapi secara negatif oleh DPRD. Pater Vande mengatakan kontrak karya pertambangan ini sudah ditandatangani tahun lalu, mengapa baru sekarang DPRD melakukan sosialisasi.

Pater Vande mengatakan, program sosialisasi pertambangan yang dilakukan oleh DPRD adalah program dadakan yang sangat membingungkan rakyat. Pater Vande juga mempertanyakan, “ DPRD itu wakilnya siapa”?

“Kalau mereka wakil rakyat mengapa harus dikawal oleh begitu banyak polisi. Kita pertanyakan eksistensi mereka sebagai wakil rakyat,” katanya.

Anggota Dewan Karolus Koto Langoday kepada Flores Pos di kediamannya, Minggu (15/3) mengatakan, masyarakat di Kecamatan Lebatukan itubukan mengusir mereka tapi menolak kehadiran mereka untuk sosialisasi undang-undang pertambangan. “Kami bukan diusir tapi kami ditolak”.

Karolus Koto Langoday mengatakan, dia kecewa dengan sikap masyarakat yang menolak kedatangan mereka. Karena mereka pergi sosialisasi bukan atas nama pribadi tapi lembaga. Terlepas dari menerima atau menolak tambang, katanya, mestinya masyarakat menerima mereka untuk mendengar sosialisasi undang-undang pertambangan.

Soal banyaknya polisi yang datang bersama tim DPRD, kata dia, itu karena mendapat informasi masyarakat akan mengancam mereka.

“Pa camat mendapat laporan dan diteruskan kepada kami kalau masyarakat ancaman mereka. Walaupun kami diancam kami tetap pergi dan minta bantuan polisi untuk mengawal kami”.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar