23 April 2009

BENTARA: Alma-Mater, Bapa-Angker

Tepatkah Siswi Hamil Dilarang Ikut UN?

Oleh Frans Anggal

Beda sekolah, beda kebijakan. Di Sumba Timur dan Rote Ndao, 13 siswi dilarang ikut ujian nasional (UN) karena hamil. Di Manggarai, sebaliknya. SMK Karya Ruteng tetap mengizinkan siswi hamil dan melahirkan ikut UN. Dua peristiwa ini masing-masing diberitakan Pos Kupang dan Flores Pos. Dua-duanya di halaman depan. Dinilai penting dan menarik.

Begitu seringnya siswi hamil jelang UN. Begitu seringnya pula mereka dilarang ikut UN karena hamil. Saking seringnya, baik kasus maupun sikap sekolah terhadapnya dianggap biasa pula. Banyak sekolah pakai aturan yang sama. Jangan coba-coba hamil sebelum UN. Berani hamil, batal UN. Bahkan dikeluarkan. Sekolah negeri, sekolah swasta, sama saja.

Karena yang hamil hanya perempuan maka selalu siswilah yang jadi korban. Siswa, karena tidak hamil, berpeluang luput. Karena hamilnya yang dilihat maka, sejauh tidak hamil, siswi yang berhubungan seks pun bisa luput. Siswanya apalagi. Dari sisi dampak seperti ini, adilkah sekolah?

Tak ada siswi yang mau hamil. Mereka tahu akibatnya. Bukan hanya tidak bisa ikut UN, tetapi lebih daripada itu. Mereka menanggung derita batin karena malu dan rasa bersalah. Menanggung aneka cap masyarakat dan penolakan keluarga. Hamil menjadi pengalaman traumatis.

Sudah begitu, yang bersangkutan masih harus menerima hukuman lagi dari sekolah. Dilarang ikut UN. Ada yang sampai dikeluarkan. Sekolah, yang selalu dijuluki alma-mater, ‘ibunda yang penuh kasih’, ternyata lebih bercitra ayah yang gemar menghukum ketimbang ibunda yang rahim merangkul. Justru ketika sang anak sangat membutuhkannya, bukan dekapan kasih ibu yang diterima, tetapi kepalan tinju ayah. Sekolah bukan lagi alma-mater, tetapi bapa-angker. Nanti, saat butuh dana dari alumni, barulah bermanis diri: “Mohon sumbangan untuk alma-mater”.

Pelajar kelas III SLA rata-rata berusia di bawah 18 tahun. Anggapan dasar ini jugalah yang digunakan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ketika membatasi usia anak di bawah umur. Usia di bawah umur adalah usia di bawah 18 tahun. Karena asumsinya begitu maka pelajar kelas III SLA masih harus digolongkan sebagai anak di bawah umur.

Menurut UU Perlindungan Anak, yang merupakan ratifikasi atas Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak, orang di bawah umur harus dianggap tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual. Karena itu, bila hamil, ia harus dianggap sebagai korban. Korban harus ditolong, bukan dihukum.

Dalam cara pandang ini, kebijakan SMK Karya Ruteng tetap mengizinkan siswi hamil dan melahirkan ikut UN sangatlah tepat. Kasek Nobertus Janu memakai alasan kemanusiaan. Benar. Lebih daripada itu, ini hak anak atas pendidikan.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 April 2009


SENGGOL

Di Lembata, caleg yang meninggal beberapa bulan lalu turut dipilih.
Hebat. Lembata punya wakil di alam baka.

Di Sikka, dua buronan pencuri lolos dari kepungan polisi.
Kalau Polres Ngada, tangkap orangtuanya.

Produsen semen bilang, wajar kenaikan harga semen saat ini.
Konsumen bilang, kurang ajar.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Dari “Pati Ka” ke Patiha

Pemkab Ende Kembali ke Enam Hari Kerja

Oleh Frans Anggal

Mulai 1 Mei 2009 Pemkab Ende kembali memberlakukan enam hari kerja, Senin-Sabtu, setelah satu setengah tahun berjalan dengan lima hari kerja, Senin-Jumat. Dengan enam hari kerja maka uang lauk-pauk PNS ditiadakan. Itu berarti menghemat Rp17,9 miliar setahun. Khusus untuk tahun berjalan, dana yang bisa dihemat melalui kebijakan baru ini separo dari angka itu. Dananya akan dialokasikan untuk masyarakat miskin.

Pemberlakuan kembali enam hari kerja merupakan bagian dari usaha Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar berhemat besar-besaran di birokrasi. Birokrasi di Ende boros. Banyak yang dimakan, banyak pula yang ikut makan, karena makanannya banyak. Lihat struktur anggarannya. Berlimpah untuk birokrasi. Anggaran belanja aparatur 81,26 persen. Sedangkan untuk publik hanya 18,74 pesen. Itu pun kalau tidak ikut dimakan.

Pola boros untuk birokrasi tapi kikir untuk publik inilah yang hendak diubah. Porsi birokrasi dikurangi agar porsi publik bisa ditambah. Salah satu jalan, kembali ke enam hari kerja. Karena dengan itu, uang lauk-pauk sebagai dampak lima hari kerja dihapus. Dananya dialihkan untuk memperbesar anggaran belanja publik.

Lebih jauh, kembali ke enam hari kerja tidak cukup hanya sebatas itu. Kembali ke enam hari kerja haruslah juga menjadi gerakan kembalinya birokrasi menjadi abdi masyarakat. Kali lalu, dalam kajian pemkab ketika hendak membelakukan lima hari kerja, sisi inilah yang kurang diperhatikan.

Kelender kerja masyarakat masih kalender lama. Kerja enam hari. Istirahat satu hari. Ende masih Ende yang dulu, belum menjadi New York. Siklus kerja masyarakat seperti ini semestinya terefleksi dalam kalender birokrasi selaku pelayan. Mengurangi hari kerja, meski tidak mengurangi jam kerja, sama artinya dengan mengurangi akses masyarakat mendapatkan pelayanan.

Birokrasi tahu itu. Lalu, kenapa mesti lima hari kerja? Apakah karena lebih efektif, efisien, ekonomis? Tidak juga. Ketika Bupati Don Wangge sidak ke lima unit kerja yang beban kerjanya paling tinggi, apa yang ditemukan? Pukul 14.00 banyak pegawai tidak bekerja lagi. Kalau begitu, kenapa lima hari kerja? Jawabannya ini: karena ada uangnya! Uang lauk-pauk. Dulu-dulu, ketika uangnya belum nongol, mana ada lima hari kerja. Begitu duit datang, Ende langsung menjadi New York.

Hasilnya? Seperti temuan Bupati Don itu. Pukul 14.00, kabur atau nganggur. Birokrat kita berkalender New York, tetapi masih berkebiasaan Flores. Orang Flores terbiasa tidur siang. Tak heran, setelah makan siang dengan uang lauk-pauk tadi, banyak pegawai terbuai rayuan pulau kapuk. Ngantuk. Untuk hal seperti inikah Rp17,9 miliar dihabiskan dalam setahun?

Kembali ke enam hari kerja, tepat. Pertimbangannya memenuhi asas patut, teliti, hati-hati. Disingkat, patiha. Bukan sekadar pati ka (kasih makan).

“Bentara” FLORES POS, Kamis 23 April 2009


SENGGOL

Ketua Tim Penggerak PKK NTT: Perempuan berperan majukan NTT.
Jelaslah Bu. Tks.

Di Flotim, rekapitulasi hasil pileg belum dapat dilakukan.
KPU-nya masih pilek.

Paskah Suzetta: Pemerintah akan naikkan gaji PNS 2010.
Halus, iklan capres.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Sembrononya Polres Ngada

Mempersoalkan Surat Jaminan Kasus Buron

Oleh Frans Anggal

Di Ngada, seorang tersangka kasus pencurian melarikan diri dari sel mapolres. Polisi cari, tidak ketemu. Polisi dapat akal. Tengah malam, ayah dan ibu si buronan diangkut ke mapolres. Mereka dipaksa menandatangani surat jaminan. Isinya: jika anak mereka tidak ditemukan atau tidak menyerahkan diri maka mereka sebagai orangtua akan masuk sel.

Jangankan pakai ilmu hukum, pakai akal sehat saja sudah jelas, betapa sembrononya Polres Ngada. Tersangka disel oleh polisi. Dijaga oleh polisi. Ia berada penuh di bawah tanggung jawab polisi. Kalau ia lari, siapa yang salah? Polisi! Si petugas jaga. Bukan orangtua tersangka. Pihak yang bersalah itulah yang bertanggung jawab. Kalau wujud tanggung jawabnya mesti berupa masuk sel, si petugaslah yang masuk, bukan orangtua tersangka.

Secara hukum, jaminan selalu dalam pengertian sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk membujuk pembebasan seorang tersangka dari penjara, dengan pemahaman bahwa sang tersangka akan kembali ke persidangan atau membiarkan jaminannya hangus. Biasanya jaminan berupa uang akan dikembalikan pada akhir persidangan jika tersangka hadir dalam setiap persidangan.

Ada yang namanya sita jaminan. Jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan. Sitaan tidak untuk dilelang atau dijual, tapi hanya disimpan oleh pengadilan. Dengan penyitaan, tergugat kehilangan kewenangan menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan barang itu tidak sah dan merupakan tindak pidana.

Yang terjadi di Ngada, tahapannya belum sampai di pengadilan, jaminan sudah dikarang-karang. Jaminan itu pun dipaksakan oleh polisi, bukan atas kehendak bebas orangtua tersangka. Yang dijaminkan pun bukan uang atau barang, tapi manusia, orangtua tersangka. Mengerikan! Manusia disamaderajatkan dengan barang atau benda sebagai jaminan. ‘Penyakit’ khas Indonesia.

Di Indonesia, keluarga sering menjadikan diri jaminan untuk menyertai pengajuan penangguhan penahanan oleh kuasa hukum. Ini salah kaprah. Dasar yuridisnya tidak ada. Tak ada peraturan soal sanksi atas jaminan itu. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Tommy Soeharto. Istri Tommy menjamin suaminya tidak akan melarikan diri. Jaminan berupa surat itu ternyata tidak ada sanksinya ketika Tommy benar-benar melarikan diri.

Atas dasar yang sama, dalam kasus di Ngada, orangtua tersangka pun tidak dapat diberi sanksi meski sudah menandatangani surat jaminan. Menyel mereka sama artinya dengan merampas kemerdakaan. Ini sudah termasuk delik, bukan lagi upaya paksa hukum. Jadi, Polres Ngada, jangan sembrono!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 April 2009


SENGGOL

Di Lembata, dua anak panti asuhan Don Bosco tenggelam saat piknik.
Piknik = Pikir sebelum Nikmat.

Wabup Sikka ajak tokoh agama majukan pembangunan.
Mereka sudah dari dulu, Pak.

BLT naikkan daya beli masyarakat 6 persen.
Juga naikkan daya pesona capres.

Om Toki

Selengkapnya...

BENTARA: Untuk Kadiskes Manggarai

Kasus Honor Tenaga Harian Lepas

Oleh Frans Anggal

Di Manggarai, sudah empat bulan tenaga harian lepas bidang kesehatan belum menerima honor. Januari hingga April 2009. Jumlah mereka ratusan, umumnya perawat, tersebar di seluruh Manggarai. Jam kerja mereka sama seperti jam kerja PNS. Kalau akhir bulan PNS muka cerah terima gaji, para tenaga lepas ini hanya lonto acu, menunggu dalam ketidakpastian. Kini mereka sudah tidak tahan. Mereka mengeluh sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Apakah karena tidak ada anggaran? Anggaran ada, kata Wakil Ketua DPRD Jack Mut Naur. Anggaran untuk tenaga harian lepas pada sejumlah instansi sudah dialokasikan dalam APBD. Kalau begitu, kandas di mana?

Kandas di Dinas Kesehatan. Tapi Kadiskes Yulianus Weng punya alasan. Bukan tidak bayar, tapi belum, karena masih diproses. Pihaknya sudah mengajukan permohonan SK kepada bupati agar para tenaga lepas punya kekuatan untuk mendapatkan haknya. Prosesnya masih di dinas pendapatan dan keuangan. Yang ia khawatirkan, kalau tenaga harian tidak ada dalam DPA Diskes Manggarai maka mereka tidak akan menerima honor.

Ini mengerikan. Para tenaga lepas itu direkrut. Dipekerjakan. Tapi kerja tanpa SK. Lalu, karena tidak ada SK, honor tidak diberikan. Kadiskes gampang saja bermaian bahasa. Kata “tidak” diganti dengan “belum”. Bukan tidak bayar, tapi belum bayar. Bukan tidak ada SK, tapi belum ada SK.

Dalam banyak kasus, para pejabat suka berulah seperti ini. Memakai language game atau ‘permainan bahasa’ untuk menyembunyikan kenyataan sebenarnya dan ketidakbecusannya sendiri. Lapar dibilang rawan pangan. Rawan pangan dibilang rawan daya beli. Harga naik dibilang harga disesuaikan. Rakyat makan ubi hutan karena kelaparan dibilang ubi hutan itu pangan alternatif’ warisan nenek moyang.

Pujangga Inggris William Shakespeare sangat tepat ketika menggoreskan seuntai bait yang menyentil soal bahasa dan penamaan. What is in a name? Apa arti sebuah nama? Mawar, dengan nama apa pun yang kita berikan padanya, ia tetap semerbak mewangi.

Dalam kasus honor tenaga harian Diskes Manggarai, istilah apa pun yang digunakan, ia tetap kasus. Tidak bayar honor atau belum bayar honor, sama saja. Dua-duanya tetap menceritakan ketidakbecusan manajemen. Dari sisi dampaknya juga sama saja. Para tenaga lepas mengeluh. Mereka sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Honor itu hak para tenaga harian lepas. Mereka sudah direkrut, sudah dipekerjakan, dan sudah bekerja. Soal hak, tidak ada diskusi. Hak hanya mengenal satu kata: penuhi! Ada SK atau tidak, anggarannya masuk APBD atau tidak, diperhitungkan dalam DPA diskes atau tidak, itu bukan tanggung jawab mereka. Itu urusan DPRD, bupati, kadiskes, dan kadis terkait.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 21 April 2009


SENGGOL

Mulai 1 Mei 2009, Pemkab Ende berlakukan enam hari kerja.
Setelah eksperimen yang mahal.

Psikolog: Caleg yang stres karena gagal, bermental pencari kerja.
Pemilihnya bermental cari ‘gizi’.

Kadis PU Ngada: Dalam tender, pungutan pada kontraktor dilarang.
Kalau uang datang sendiri?

Om Toki

Selengkapnya...