31 Maret 2009

Satlantas Polres Sikka Razia di Sekolah-Sekolah

Memeriksa Kelengkapan Surat-Surat

Oleh Syarif Lamabelawa

MAUMERE -- Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Sikka melakukan razia di sekolah-sekolah guna memeriksa kelengkapan surat sepeda motor, termasuk surat izin mengemudi (SIM) para siswa. Satlantas juga mengagendakan untuk melakukan razia di kantor-kantor pemerintah.

Seperti disaksikan, dalam razia ke SMA Negeri I Maumere, Senin (30/1), ditemukan 50-an siswa yang memiliki kendaraan sepeda motor, tapi tidak memiliki SIM. Padahal para siswa tersebut setiap hari dating ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor.

Kasat Lantas Polres Sikka AKP Indra Widjatmoko yang dikonfirmasi di sela-sela kegiatan razia itu mengatakan, razia ke sekolah-sekolah tersebut merupakan aksi simpatik.

“Ini sifatnya pembinaan. Kita berharap dengan cara seperti ini, anak-anak disadarkan untuk memiliki SIM saat mengendarai sepeda motor,” ujarnya seraya menampik melakukan tindakan represif untuk aksi ke sekolah-sekolah itu.

Saat melakukan aksi ke SMA Negeri I Maumere, dari 50-an siswa yang memiliki kendaraan sepeda motor yang dikumpulkan di halaman sekolah itu, hanya dua orang yang memiliki SIM. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran siswa pemilik kendaraan untuk memiliki SIM masih rendah.

Widjatmoko mengatakan, dirinya telah mengirim surat ke sekolah-sekolah untuk melakukan razia surat-surat kendaraan. “Suratnya saya sudah kirim. Hari ini kita di SMA I, nanti disusul di sekolah-sekolah lain termasuk kampus dan instansi pemerintah,” katanya.

Kepala Sekolah SMA Negeri I Maumere, Diro Darius menyatakan salut atas tindakan aparat Polantas Polres Sikka yang terjun ke sekolah itu. Dengan begitu sehingga para siswa bisa lebih disadarkan untuk memiliki SIM dan melengkapi surat-surat untuk kendaraannya.

Tanya Denda Tilang
Salah seorang pengemudi kendaraan roda empat, Hans kepada Flores Pos mempertanyakan denda tilang atas kendaraannya sebesar Rp150.000. Hans mengaku, kendaraannya ditilang di depan Polres Sikka pada Sabtu (21/3) malam.

“Surat-surat saya lengkap hanya lampu jarak dekatnya putus. Kendaraan saya ditahan dan keesokan paginya saya bayar Rp150, kendaraan saya langsung keluar,” ujar Hans yang mengaku tidak diberikan kwintasi denda tilang oleh anggota lantas yang menerima uang itu.

Sebagai orang yang awam aturan, Hans mempertanyakan, pemberian uang untuk denda tilang tersebut tanpa merima kwitansi. “Saya pertanyakan sekarang saya tidak diberi kwitansi. Kesalahan saya pelanggaran saya cuma lampu. apakah pelanggaran ini harus bayar Rp150.000. Kalau putusan pengadilan Rp50 ribu, apakah uang yang saya setor itu sisanya dikembalikan,” tanyanya.

Dia mengatakan, sudah tidak tahu lagi apakah kendaraannya tersebut sudah disidangkan di pengadilan atau belum. Namun sampai dengan hari ini, dirinya belum mengetahui berapa putusan pengadilan untuk denda atas pelanggarannya.

Kasat Lantas Widjatmiko yang dikonfirmasi Sabtu (28/3) di Mapolres Sikka mengaku semua kendaraan yang ditilang dalam dalam semingggu terakhir belum disidangkan. Menurutnya, pada akhir bulan ini baru direkap berapa banyak ditilang.

Ditanya berapa banyak kendaraan yang ditilang sudah ditarik pulang dengan jaminan membayar denda tilang, Widjatmoko mengaku belum mengetahuinya. “Nanti malam ada tilang baru saya sampaikan,” katanya tergesa-gesa karena akan menggelar rapat dengan stafnya.
Selengkapnya...

Pelaku dan Otak Pembunuhan Harus Ditangkap

Kasus Romo Faustinus Sega

Oleh Hubert Uman


BAJAWA -- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus dan Pengacara dari Yayasan Bina Bantuan Hukum (YBBH) Veritas Jakarta Silvester Manis, selaku Kuasa Hukum Keuskupan Agung Ende dalam menangani kasus kematian Romo Faustinus Sega Pr menegaskan, pelaku dan otak pembunuhan kasus ini harus ditangkap. Ini harus menjadi hadiah paskah bagi umat Katolik di Flores dari Polda NTT.

Pernyataan ini disampaikan secara terpisah. Petrus Salestinus sampaikan per telepon, Selasa (31/3) dan Silvester Nong Manis katakan hal it di Kevikepan Bajawa, Senin (30/3). Saat itu ada juga Vikep Bajawa Rm. engky Sareng Pr dan anggota JPIC Tonny Min Tansatrisna.

Tim Polda NTT yang melakukan penyelidikan dan penyidikan ulang kasus kematian Romo Faustin, kata Silvester Nong Manis, dalam rangka mencari dan mengumpulkan serpihan-serpihan bukti yang tercecer. Kerja tim Polda sangat didukung oleh gereja dan tim Investigasi dan Advokasi Kematian Romo Faustin yang dibentuk Keuskupan Agung Ende.
“Kita siap bantu memberikan data dan hasil kerja tim investigasi. Kerja tim Polda kita dukung agar para pelaku cepat ditangkap. Saat ini umat masih menunggu hasil kerja tim Polda,” kata Silvester Nong Manis.

Menyinggung BAP untuk tersangka Theresia Tawa, disampaikan oleh Silvester Nong Manis, berdasarkan penjelasan Kajari Bajawa Semuel Say, ternyata BAP yang dibuat penyidik Polres Ngada tidak didukung oleh bukti-bukti permulaan. Sebagai contoh, pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang dipakai oleh penyidik sama sekali tidak didukung alat bukti yang cukup. Siapa yang merencanakan, siapa aktor intelektualnya, dan lain-lain, tidak jelas. Ada surat keterangan hasil visum et repertum atau autopsi tetapi tidak disertai dengan bukti yang terkait dengan kekerasan tumpul (istilah forensik. Bukan kekerasan benda tumpul).

Menurut Petrus Salestinus dan Silvester Nong Manis, penyidikan yang dilakukan Polres Ngada terkesan kuat cenderung membelokkan dan mengaburkan data fakta. Hasil autopsi dibelokkan. Tersangka yang semula dua orang, Theresia Tawa dan Anus Waja, hanya Theresia Tawa yang diproses sampai ke jaksa penuntut umum.

“Penyidik Polres Ngada selalu mengabaikan bukti yang mengarah ke pembunuhan. Polisi lebih menonjolkan mati wajar dan amoral yang sama sekali tidak ada buktinya,” ujar Silvester Nong Manis.

Baik menurut Petrus Salestinus maupun Silvester Nong Manis, dalam penyelidikan dan penyidikan kasus kematian Romo Faustin, penyidik Polres Ngada mengabaikan asas hukum dimana pencari keadilan (masyarakat Flores) berhak mendapat keadilan secara cepat, sederhana, dan murah.

“Polisi harus memegang asas hukum ini. Dalam tempo yang singkat polisi harus bisa mengungkapkan sebuah kasus. Menangkap pelaku dan mengungkapkan motifnya,” kata Petrus Salestinus.

Sebagai kuasa hokum Keuskupan Agung Ende (KAE) dan Gereja Katolik, kata Petrus Salestinus, TPDI dalam waktu dekat meminta Kapolri mempersonanongratakan Kapolres Ngada. Kapolres Ngada diganti oleh perwira Polri yang memiliki kemampuan untuk menegakan hukum di Ngada, terutama perwira yang memahami kehidupan religiusitas masyarakat Flores.

Petrus Salestinus juga mengecam Kapolres Ngada yang menutup diri dengan informasi dari masyarakat. Ini bertentangan dengan kebijakan Polri yang menjadikan informasi dicari pelaku dan barang buktinya.

“TPDI juga mengecam sikap Kapolres yang tidak memberikan informasi secara periodik kepada masyarakat, terutama berkaitan dengan kasus yang menarik perhatian masyarakat. Ini bagian dari hak masyarakat. Mereka mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan penanganan kasus Romo Faustin, ujar Petrus Salestinus.”* dari masyarakat sebagai bagian terpenting dalam mengungkapkan kejahatan yang sulit

Selengkapnya...

PKDI Bisa Raih 30 Kursi DPR

Jangan Pilih Caleg Janji

Oleh Andre Durung

LABUAN BAJO -- Sekretaris Jendral (Sekjen) Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) Maria Anna Soe yakin partainya bisa raih sekitar 30 kursi di DPR-RI pada pemilu legislatif (pileg) 2009 yang dijadwalkan 9 April mendatang. Karena tanggapan masyarakat Indonesia terhadap partai bernomor 32 yang berlambangkan kontas dan pohon terang ini luar biasa.

Hal itu antara lain diungkapkan Anna Soe pada acara makan bareng dengan masyarakat Wae Kesambi, Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) di halaman rumah Ketua PAC PKDI Kecamatan Komodo-Mabar di kampung Wae Kesambi-Labuan Bajo-Mabar, Minggu (29/3). Hadir saat itu antara lain Ketua Dewan Pembina PKDI Manggarai Ipi Soe, Ketua DPC PKDI Mabar Angelus Soe, Ketua PAC PKDI Kecamatan Komodo Benediktus Untul dan wartawan Flores Pos-Jakarta Hila Japi.

Menurut Anna Soe, selama perjalanan mengeliling nusantara belakangan tanggapan dan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap PKDI sunggu luar biasa. Dalam kampanye pada sejumlah daerah di tanah air kehadiran massa selalu ribuan. Antara lain di Papua, Menado, Padang, Sumtra Utara, Maluku dan di Flores.

“ Kita yakin PKDI bisa dapat 30 kursi di DPR pusat nanti kalau dikumpul-kumpul suara dari seluruh daerah di Indonesia ini,” kata perempuan yang juga calon legislatif (caleg) DPR-RI dari PKDI tersebut.

Diungkapkan, PKDI adalah partai nasional religius terbuka. Kepengurusan PKDI terdapat di 33 Propinsi dan di sekitar 400 Kabupaten/Kota di Indonesia. Caleg-calegnya tidak cuma dari kalangan Katolik, tetapi juga banyak dari Protestan, Islam, Hindu, Budha dan Konghucu. Caleg DPR-RI dari PKDI seorang di antaranya orang Islam.
Sedangkan untuk tingkat DPRD, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia caleg PKDI beragam. Di samping dari Katolik, juga tidak sedikit berasal dari kalangan Protestan, Islam, Hindu, Budha dan Konghucu. Antara lain di Mataram-NTB dan Padang-Sumatra Barat banyak caleg PKDI dari Islam, di Bali banyak dari kalangan Hindu, serta di Jawa ada caleg PKDI dari Budha dan Konghucu, kata Anna Soe.
PKDI, ungkap Anna Soe, sering diidentikkan partainya orang Flores karena patai berlambangkan Kontas dan Pohon Terang ini didirikan oleh orang-orang Flores di perantauan. PKDI didirikan untuk memperjuangkan keadilan bagi kaum papa, miskin, marjinal, lemah, tidak berdaya, terpinggirkan dan berbagai nilai yang dikelompokkan sebagai kaum kecil lainnya tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, adat istiadat, status sisial ekonomi budaya dengan berlandaskan kasih.

Orang-Orang Flores di perantauan mendirikan PKDI beberapa tahun lalu, demikian Ana Soe, untuk memperjuangkan nasib masyarakat di seluruh pelosok nusantara yang selama ini diduga kurang mendapat perlakuan adil atau bahkan tidak adil oleh negara, temasuk yang ada di Flores-Lembata dan NTT umumnya. Dan NTT adalah kelompok termiskin dari 33 Propinsi di Indonesia sejauh ini.

Masih kata Anna Soe, banyak wakil rakyat NTT yang duduk di kursi dewan di Senayan (pusat) selama ini memang berjuang untuk NTT. Tetapi sepertinya suara mereka kurang di dengar di dewan pusat. Itu karena mereka menumpang pada satu dua kendaraan politik lain. Sadar akan kondisi ini makanya PKDI dibentuk. Agar orang-orang yang terpinggirkan, termasuk di Flores-Lembata dan NTT umumnya memiliki wadah perjuangan tersendiri di pusat, tambah wanita yang juga Ketua Bapilu pusat PKDI itu.

Sedangkan Ipi Soe pada kesempatan sama antara lain mengatakan, orang Flores mendirikan partai politik (parpol) sendiri dengan nama PKDI tidak berarti Flores mau merdeka, bukan juga mau perang, semuanya tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PKDI sebagai wadah orang Flores untuk memperjuangkan keadilan bagi kaum papa, minoritas, lemah, tak berdaya, terpinggilkan dan lain-lain yang dikelompokkan dalam miskin dan kurang mendapat perlakuan adil dari negara.

Lebih dari itu, ungkap Ipi Soe, PKDI lahir untuk meneruskan cita-cita luhur pendiri bangsa ini, Indonesia, yang mengaku keberagaman. Terdiri dari pulau-pulau, suku, agama, ras, adat istiadat dan lain-lain. Sekalipun berbeda-beda tapi tetap satu atau bhineka tunggal ika. Namun belakangan nilai bhinneka tungga ika tersebut sepertinya mulai luntur. Tidak sedikit produk Undang-Undang (UU) di Indonesia belakangan terkesan diskriminatif. Untuk membela cita-cita luhur tersebut makanya PKDI lahir.
Ditegaskan, PKDI lahir sebagai wadah untuk meperjuangkan ketidakadilan bagi anak bangsa yang selama ini diduga masih banyak diperlakukan tidak adil, diskriminasi oleh negara.

“Kita tunjukan kita sebagai orang Flores-NTT kudut neka anggap enteng lata (supaya tidak dianggap enteng oleg orang),” tandas lelaki berkaca mata itu dan disambut tepuk tangan meriah masyarakat yang hadir saat itu.

Menanggapi sejumlah peserta acara yang antara lain menanya siapa mengontrol anggota dewan yang diduga keluar dari visi misi partai dalam menjalankan tugas kedewanannya, hanya untuk kepentingan pribadi wakil rakyat bersangkutan, termasuk dari PKDI kelak, diantaranya ditanya Lamber Laman, Ipi Soe menegaskan jangan pilih caleg tukang janji. Karena dewan tidak punya uang. Yang punya uang pemerintah dan rakyat, diturunkan melalui berbagai program yang sebelumnya dituang dalam musrenbang.

“Kalau ada caleg umbar janji selama kampanye untuk aspalkan jalan, air minum bersih dan lain-lain manakala sudah jadi dewan kelak, jangan percaya, itu tipu. Caleg PKDI yang demikian juga pembohongan public, jangan pilih orang begitu,” tegas Ipi Soe.

Ipi Soe mengingatkan masyarakat, kalau ada anggota dewan asal PKDI nanti dalam menjalankan tugas kedewanannya tidak sesuai amanat dan visi misi paratai, hanya untuk kepentingan pribadi, memperkaya diri dan berbagai nilai negatif lainnya, masyarakat langsung melapornya ke PKDI pusat di Jakarta supaya segera diambil tindakan tegas. PKDI pusat tidak segan-segan memecat atau me-rekol-nya anggota dewan asal PKDI yang demikian, katanya yang lagi-lagi mendapat aplaus dari masyarakat.
Tugas dewan, kata Ipi Soe, yakni berhubungan dengan legislasi, budjet (anggaran) dan pengawasan/kontrol. Oleh sebab itu kalau ada caleg yang menjanjikan aspal jalan, air minum bersih dan lain-lain kepada masyarakat selama kampanye ini agar rakyat memilih dia pada pileg 9 April 2009 mendatang dan jadi dewan, jangan percaya, itu tipu, jangan pilih dia, karena dewan tidak punya uang. Untuk pembangunan yang punya uang adalah pemerintah dan rakyat yang diturunkan punya mekanisme, program. Anggota dewan yang turun ke masyarakat bersama pemerintah cuma untuk mendampingi, tambahnya.
Ketua PAC PKDI Kecamatan Komodo Benediktus Untul pada kesempatan tersebut antara lain mengungkapkan, PKDI lahir karena krisis kepercayaan terhadap para elite di RI ini. Landasan pijak karya PKDI atas dasar kasih, katanya. Ketua DPC PKDI Mabar Angelus Soe pada kesempatan sama juga senada dengan Anna Soe, Ipi Soe.*

Selengkapnya...

Flores dan Kegenitan Politik

Oleh Max Regus, Pr
Rohaniwan Keuskupan Ruteng, Koordinator Parrhesia Institute Jakarta

BENCANA situ Gintung memberikan pelajaran berharga kepada bangsa ini. Tanggul penahan yang sudah keropos, pada titik paling kritis tidak mampu menahan jutaan galon air. Dalam sekejap, tanggul yang mempunyai tujuan pro kehidupan, mengirimkan kematian! Kemusnahan! Agak mirip! Indonesia seperti situ Gintung. Bangsa ini mungkin akan segera ambruk menuju kepunahan dengan ambisi dan kerakusan yang tidak tertahankan lagi.

Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk memperkuat kecemasan ini. Kita semua sudah lupa. Banyak petak tanah sudah bangkrut. Tidak ada yang ditambahkan di dalamnya. Yang ada cuma pengerukan dan perusakan. Mesin-mesin penggaruk tambang tidak pernah memedulikan pesan kehancuran yang terus mengintip kita. Bola api kerakusan raja-raja ekonomi dunia melahap apa saja yang bisa digunakan untuk menebalkan pundi-pundi harta. Bahkan, kaki tangan kapitalisme yang memakai baju bersih pembangunan, investasi, pemberdayaan lokal sudah bergerak tanpa terkendali di tengah kehidupan kita.


Satu mata kita menatap kehancuran. Mata yang lain memandang kegagahan politikus yang bertarung pada Pemilu. Ada satu pertanyaan: mampukah mereka menghentikan proses penghancuran masif yang sedang mengurung kehidupan kita?

Di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) sana, saya pernah melihat bendera sebuah partai politik yang berkibar gagah, tinggi di langit. Jauh melampaui rumah miskin para penduduk di sekitarnya. Juga, melebihi rumah ibadat. Saya tahu suatu saat ketika kekuasaan akan menerbangkan mereka meninggalkan rakyat yang tetap berkalang pada kemiskinan.

Sekarang, situasi sudah berbeda. Ada banyak saluran politik. Kendaraan politik berserakkan di mana-mana. Ada yang mewah. Ada yang keropos. Rongsokan. Suka mogok. Sering Macet. Ada yang kekurangan bahan bakar. Ada yang tidak mempunyai pengemudi andal. Rem yang bolong. Onderdil ’ecek-ecek’. Demokrasi kita memang meriah! Di dunia, jarang terjadi demokrasi dirayakan dengan cara semacam ini.

Ada seribu janji. Ada sejuta tawaran. Tentu, yang baik-baik saja. Yang indah-indah semuanya. Rakyat jadi silau. Terhipnotis. Di balik itu ada racun kekuasaan. Rakyat dibolak-balik hingga tidak berbentuk. Kehilangan hak politik. Pemilu tidak menjadi ruang negosiasi kepentingan rakyat. Masa depan Indonesia sama dengan contrengan pada Pemilu! Tidak ada penjelasan yang masuk akal bagaimana praksis politik kekuasaan ke depan.

Wajah-wajah lama datang lagi. Sembari membersihkan diri dari dosa masa lalu. Tidak ada rasa malu menagih kepercayaan rakyat. Padahal yang sebelumnya tidak pernah jelas digunakan untuk apa. Ada yang datang membawa kontrak politik. Mereka lupa bahwa Pemilu adalah sebuah kontrak politik paling demokratis. Kontrak apa lagi? Toh, yang paling banyak melanggar kontrak politik bukan rakyat. Sebaliknya, orang-orang yang menenteng kontrak politik selalu ‘mendua’ hati.

Yang lama membosankan! Sementara, yang baru tidak cukup meyakinkan publik. Publik ragu apakah mereka mampu membawa perubahan. Mereka bilang, yang sekarang lebih nyaman. Ada BLT. Ada dana stimulus. Kreasi politik menjadi stagnan. Di tengah hingar-bingar Pemilu, penyingkiran rakyat tetap menjadi pengalaman publik. Paling laris.

Pendapat filsuf sosial Axel Honneth penting untuk dimaknai dalam konteks politik menjelang Pemilu. Pengucilan sosial terbangun ketika kebutuhan dan harapan individu dan grup sosial tidak teridentifikasikan dengan tepat dalam kebijakan politik. Ada banyak individu dan kelompok minoritas yang kehilangan rujukan sebagai bagian negara.
Pasca reformasi lanskap pembangunan masih dihiasi kultur lama yang tetap menancapkan kekuatannya. Pertumbuhan ekonomi yang menjadi orientasi pembangunan terus menghadirkan masalah sosial kemanusiaan paling serius. Pembangunan yang dijalankan di bawah kendali para pemilik modal secara konsisten menjadi mimpi buruk bagi masyarakat.

Salah satu isu penting yang menjelaskan kondisi ini melekat pada problem kesenjangan sosial. Jarak sosial antara kelompok-kelompok sosial yang memiliki akses pada sumber-sumber sosial, ekonomi dan politik dengan kelompok-kelompok lemah semakin menguat. Kesenjangan sosial ini mencakup semua aspek kehidupan masyarakat.

Ada beberapa point penting. Pertama, ketidakadilan distribusi sosial dan ekonomi. Kemakmuran dan kesejahteraan masih berkisar pada segelintir masyarakat yang memiliki modal ekonomi. Sementara, sebagian besar anggota masyarakat termasuk dalam kelompok sosial ekonomi lemah. Kemiskinan sudah jelas menjadi bagian dari pengalaman hidup sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kedua, lingkungan hidup mengalami kehancuran akibat pembabatan hutan yang meluas. Kehancuran kualitas tanah untuk pertanian dengan cepat menimbulkan kemiskinan sosial. Ketiga, sebagian besar masyarakat belum mendapatkan jaminan pendidikan dan kesehatan.

Persoalan paling mendasar yang dialami rakyat adalah ketiadaan akses pada kebijakan-kebijakan politik pro kemakmuran. Bahkan sebagian rakyat dianggap sebagai barikade yang menghalangi kemajuan. Logika pembangunan yang membenarkan semua cara untuk mencapai target-target kemajuan meninggalkan kemerosotan sosial. Politik harus menjadi kekuatan yang membuka jalur-jalur bagi rakyat menuju kesejahteraan.

Flores sarat dengan kisah penyingkiran rakyat. Tidak sebanding dengan harapan yang muncul dari podium kampanye politik. Seperti daerah-daerah lainnya, Flores juga menikmati riuh gemuruh kekuatan politik mendagangkan visi dan misi politik. Flores bisa menjadi situ Gintung! Berantakan akibat keserakahan kekuasaan. Kita harus menagih tanggung jawab politik. Namun, jalan ke sana penuh tanda tanya.

Salah satu titik tolak yang paling penting adalah para pelaku politik kekuasaan. Pak Pius Rengka menulis opini dengan sangat baik – Partai Bandit dan Bandit Partai (Flores Pos, 30/3/) Dia benar menyebutkan “bandit” untuk semua politikus yang telah mengabaikan legitimasi dari rakyat. Kita, terutama pada pelaku politik, bisa mendiskusikan persoalan ini dengan serius. Kita harus bertanya pada tokoh yang mumpuni dalam bidang politik dan legislasi seperti Pak Pius Rengka tentang bagaimana caranya untuk tidak menjadi Partai Bandit dan Bandit Partai. Sebab tanpa perubahan yang lebih baik untuk masyarakat kita di Flores, Pemilu 2009 hanya mengumbar ‘kegenitan politik’ yang menggelikan!
Selengkapnya...

BENTARA: Pemkab Ende Masih Orde Baru?

Kasus Tanah Eks Sekolah Cina

Oleh Frans Anggal

Para ahli waris tanah eks sekolah Cina (Hua Chiao) mendatangi DPRD Ende. Mereka meminta kepastian dan kejelasan hasil klarifikasi dewan terhadap berbagai pihak tentang pengembalian tanah eks sekolah Cina itu kepada para ahli waris.

Tiga tahun lalu, 6 Mei 2006, mereka datang ke DPRD dengan tujuan yang sama. DPRD beri janji melakukan klarifikisi dengan para pihak terkait. Hasilnya, tak ada tindak lanjut. Habis janji, habis. Sekarang para ahli waris datang lagi. Mereka tagih janji. Tagih kepada para wakil rakyat yang saat kampanye selalu berkoar-koar dengan slogan “Bukan janji, tapi bukti”.

Didatangi lagi, DPRD kasih janji lagi. Isinya sama: akan memanggil semua pihak untuk dimintai klarifikasi. Kalau buktinya cukup kuat, begitu kata DPRD, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa syarat. Tapi, lagi-lagi, ini baru janji. Boleh jadi akan jadi janji bohong jilid dua.

Mengklarifikasi, apalagi menyelesaikan kasus ini tidak segampang mengumbar janji. Ada tembok besar di sana. Tembok Pemkab Ende. Pemkablah yang paling bertanggung jawab, selaku pihak yang "de facto" menguasai tanah itu sampai saat ini.

Pasca-tragedi G-30-S, intensitas kerusuha anti-Tionghoa meningkat. Bersamaan dengan tindakan represif militer, terjadilah penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah, toko, sekolah, dan mobil milik etnis Tionghoa. April 1966, semua sekolah Tionghoa ditutup oleh pemerintah Orde Baru.

Di Ende, sekolah Hua Chiao yang terletak di Jalan Pasar itu diambil alih oleh kodim. Selanjutnya digunakan oleh pemkab. Di bawah Dinas P dan K, tanah ini pernah dijadikan lokasi SMEA negeri dan STM negeri. Terakhir, sampai saat ini, disewapakaikan kepada swasta untuk usaha pertokoan.

Yang mengejutkan, tanah ini telah disertifikasi menjadi milik pemkab. Sertifikasi siluman, seperti kerja pencuri di malam hari. Namanya juga kerja diam-diam, maka jangankan membeli, memberi kompensasi saja tidak. Ini perampasan berkedok aturan.

Sampai saat ini Pemkab Ende aman-aman saja.Seolah-olah masih di awal Orde Baru. Padahal, Indonesia sudah berubah. Thn 1998, Presiden Habibie menghapus istilah “pribumi” dan “non-pribumi’. Thn 2000, Presiden Gus Dur menghapus larangan terhadap agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Thn 2001, menteri agama tetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, juga mencabut larangan penggunaan bahasa Tionghoa. Thn 2002, Presiden Megawati mengumumkan mulai 2003 Imlek menjadi hari nasional. Maka, Imlek pun menjadi hari libur nasional, tidak sekadar hari libur fakultatif.

Sudah berubah! Masa, Pemkab Ende masih di masa Orde Baru?

“Bentara” FLORES POS, Rabu 1 April 2009



SENGGOL


Forcam Sikka dukung Bupati Rotok cabut izin operasi tambang mangan.
Dukung habis, kontrol terus.

Kasus Rm Faustin, tim Polda diharapkan berpihak pada kebenaran.
Bukan kebenaran dalam saku.

Dari Ruteng: Jangan pilih caleg tukang janji karena semua itu tipu.
Siapa lagi, semuanya beri janji.

Om Toki

Selengkapnya...