31 Maret 2009

Flores dan Kegenitan Politik

Oleh Max Regus, Pr
Rohaniwan Keuskupan Ruteng, Koordinator Parrhesia Institute Jakarta

BENCANA situ Gintung memberikan pelajaran berharga kepada bangsa ini. Tanggul penahan yang sudah keropos, pada titik paling kritis tidak mampu menahan jutaan galon air. Dalam sekejap, tanggul yang mempunyai tujuan pro kehidupan, mengirimkan kematian! Kemusnahan! Agak mirip! Indonesia seperti situ Gintung. Bangsa ini mungkin akan segera ambruk menuju kepunahan dengan ambisi dan kerakusan yang tidak tertahankan lagi.

Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk memperkuat kecemasan ini. Kita semua sudah lupa. Banyak petak tanah sudah bangkrut. Tidak ada yang ditambahkan di dalamnya. Yang ada cuma pengerukan dan perusakan. Mesin-mesin penggaruk tambang tidak pernah memedulikan pesan kehancuran yang terus mengintip kita. Bola api kerakusan raja-raja ekonomi dunia melahap apa saja yang bisa digunakan untuk menebalkan pundi-pundi harta. Bahkan, kaki tangan kapitalisme yang memakai baju bersih pembangunan, investasi, pemberdayaan lokal sudah bergerak tanpa terkendali di tengah kehidupan kita.


Satu mata kita menatap kehancuran. Mata yang lain memandang kegagahan politikus yang bertarung pada Pemilu. Ada satu pertanyaan: mampukah mereka menghentikan proses penghancuran masif yang sedang mengurung kehidupan kita?

Di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) sana, saya pernah melihat bendera sebuah partai politik yang berkibar gagah, tinggi di langit. Jauh melampaui rumah miskin para penduduk di sekitarnya. Juga, melebihi rumah ibadat. Saya tahu suatu saat ketika kekuasaan akan menerbangkan mereka meninggalkan rakyat yang tetap berkalang pada kemiskinan.

Sekarang, situasi sudah berbeda. Ada banyak saluran politik. Kendaraan politik berserakkan di mana-mana. Ada yang mewah. Ada yang keropos. Rongsokan. Suka mogok. Sering Macet. Ada yang kekurangan bahan bakar. Ada yang tidak mempunyai pengemudi andal. Rem yang bolong. Onderdil ’ecek-ecek’. Demokrasi kita memang meriah! Di dunia, jarang terjadi demokrasi dirayakan dengan cara semacam ini.

Ada seribu janji. Ada sejuta tawaran. Tentu, yang baik-baik saja. Yang indah-indah semuanya. Rakyat jadi silau. Terhipnotis. Di balik itu ada racun kekuasaan. Rakyat dibolak-balik hingga tidak berbentuk. Kehilangan hak politik. Pemilu tidak menjadi ruang negosiasi kepentingan rakyat. Masa depan Indonesia sama dengan contrengan pada Pemilu! Tidak ada penjelasan yang masuk akal bagaimana praksis politik kekuasaan ke depan.

Wajah-wajah lama datang lagi. Sembari membersihkan diri dari dosa masa lalu. Tidak ada rasa malu menagih kepercayaan rakyat. Padahal yang sebelumnya tidak pernah jelas digunakan untuk apa. Ada yang datang membawa kontrak politik. Mereka lupa bahwa Pemilu adalah sebuah kontrak politik paling demokratis. Kontrak apa lagi? Toh, yang paling banyak melanggar kontrak politik bukan rakyat. Sebaliknya, orang-orang yang menenteng kontrak politik selalu ‘mendua’ hati.

Yang lama membosankan! Sementara, yang baru tidak cukup meyakinkan publik. Publik ragu apakah mereka mampu membawa perubahan. Mereka bilang, yang sekarang lebih nyaman. Ada BLT. Ada dana stimulus. Kreasi politik menjadi stagnan. Di tengah hingar-bingar Pemilu, penyingkiran rakyat tetap menjadi pengalaman publik. Paling laris.

Pendapat filsuf sosial Axel Honneth penting untuk dimaknai dalam konteks politik menjelang Pemilu. Pengucilan sosial terbangun ketika kebutuhan dan harapan individu dan grup sosial tidak teridentifikasikan dengan tepat dalam kebijakan politik. Ada banyak individu dan kelompok minoritas yang kehilangan rujukan sebagai bagian negara.
Pasca reformasi lanskap pembangunan masih dihiasi kultur lama yang tetap menancapkan kekuatannya. Pertumbuhan ekonomi yang menjadi orientasi pembangunan terus menghadirkan masalah sosial kemanusiaan paling serius. Pembangunan yang dijalankan di bawah kendali para pemilik modal secara konsisten menjadi mimpi buruk bagi masyarakat.

Salah satu isu penting yang menjelaskan kondisi ini melekat pada problem kesenjangan sosial. Jarak sosial antara kelompok-kelompok sosial yang memiliki akses pada sumber-sumber sosial, ekonomi dan politik dengan kelompok-kelompok lemah semakin menguat. Kesenjangan sosial ini mencakup semua aspek kehidupan masyarakat.

Ada beberapa point penting. Pertama, ketidakadilan distribusi sosial dan ekonomi. Kemakmuran dan kesejahteraan masih berkisar pada segelintir masyarakat yang memiliki modal ekonomi. Sementara, sebagian besar anggota masyarakat termasuk dalam kelompok sosial ekonomi lemah. Kemiskinan sudah jelas menjadi bagian dari pengalaman hidup sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kedua, lingkungan hidup mengalami kehancuran akibat pembabatan hutan yang meluas. Kehancuran kualitas tanah untuk pertanian dengan cepat menimbulkan kemiskinan sosial. Ketiga, sebagian besar masyarakat belum mendapatkan jaminan pendidikan dan kesehatan.

Persoalan paling mendasar yang dialami rakyat adalah ketiadaan akses pada kebijakan-kebijakan politik pro kemakmuran. Bahkan sebagian rakyat dianggap sebagai barikade yang menghalangi kemajuan. Logika pembangunan yang membenarkan semua cara untuk mencapai target-target kemajuan meninggalkan kemerosotan sosial. Politik harus menjadi kekuatan yang membuka jalur-jalur bagi rakyat menuju kesejahteraan.

Flores sarat dengan kisah penyingkiran rakyat. Tidak sebanding dengan harapan yang muncul dari podium kampanye politik. Seperti daerah-daerah lainnya, Flores juga menikmati riuh gemuruh kekuatan politik mendagangkan visi dan misi politik. Flores bisa menjadi situ Gintung! Berantakan akibat keserakahan kekuasaan. Kita harus menagih tanggung jawab politik. Namun, jalan ke sana penuh tanda tanya.

Salah satu titik tolak yang paling penting adalah para pelaku politik kekuasaan. Pak Pius Rengka menulis opini dengan sangat baik – Partai Bandit dan Bandit Partai (Flores Pos, 30/3/) Dia benar menyebutkan “bandit” untuk semua politikus yang telah mengabaikan legitimasi dari rakyat. Kita, terutama pada pelaku politik, bisa mendiskusikan persoalan ini dengan serius. Kita harus bertanya pada tokoh yang mumpuni dalam bidang politik dan legislasi seperti Pak Pius Rengka tentang bagaimana caranya untuk tidak menjadi Partai Bandit dan Bandit Partai. Sebab tanpa perubahan yang lebih baik untuk masyarakat kita di Flores, Pemilu 2009 hanya mengumbar ‘kegenitan politik’ yang menggelikan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar