15 April 2009

Penghitungan Suara Dipindahkan ke KPUD

Netralitas Petugas Diragukan

Oleh Christo Lawudin

RUTENG --Penghitungan suara di Kecamatan Rahong Utara, Manggarai terpaksa dilakukan di Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Manggarai di Ruteng karena adanya kecurigaan para petugas tidak netral. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dicurigai tidak netra dan lebih condong ke partai politik dan calon tertentu.

Disaksikan Flores Pos di kompleks Kantor KPUD, Selasa (14/4), para anggota PPK dan para saksi memadati salah satu ruangan kantor KPUD. Aparat kepolisian dan Brimob berjaga-jaga.

Kepada wartawan anggota KPUD Hendrikus Dao mengatakan, aturannya penghitungan suara dilakukan di kecamatan. Tapi karena ada kecurigaan terhadap PPK, penghitungan terpaksa dilakukan di Kantor KPUD. Aparat kepolisian mencurgai kotak suara lebih banyak yang sebenarnya 240 tetapi yang ada 245 kota. Berarti ada tambahan 5 kota suara.

”Karena ada kecurigaan itu, diputuskan untuk dibawa ke KPUD. Kemarin malampeti suara dibawa ke Ruteng. Penghitungan suara dilakukan di KPUD. Sekarang ini, penghitungan baru dimulai,” ujar anggota KPUD Hendrik Dao.

Juru bicara KPUD F T Kony Syukur menambahkan, semua kotak suara dibawa ke kantor KPUD untuk dicek jumlah riilnya. Ternyata jumlahnya tetap 240 buah.

”Karena sudah di sini, maka penghitungan langsung dilakukan di KPUD saja. Penghitungan baru dimulai juga,” katanya.

Ketua Panwas Aloysisus Poleng di Ruteng, Selasa (14/4) mengatakan, sebetulnya masalahnya agak rumit diKecamatan Rahong Utara. Ada kecurigaan dari warga, simpatisan, saksi, caleg, dan parpol terhadap PPK. Karena istri Ketua PPK Christian Dagur adalah caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

”Khawatir terjadi hal-hal tak diinginkan, para saksi dari caleg dan parpol protes keras. Warga kemudian lapor ke Panwas dan seterusnya dilaporkan ke polisi untuk pengamanan. Karena itu, kemarin pagi, semua kotak suara dibawa ke Ruteng,” katanya.

Menjaga terjadi kemungkinan terburuk, katanya, pihaknya merekomendasikan ke KPUD, termasuk kepada Ketua PPK Rahong Utara yakni Ketua PPK tidak boleh mengurus apapun berkaitan dengan suara. Kecurigaan terjadi karena ada 5 kotak suara terpisah dari tumpukan kotak suara lainnya. Dari sana kecurigaan itu muncul sehinggga diputuskan semua kotak suara diangkut ke Ruteng untuk diplenokan di tingkat PPK.

Kotak Suara Sudah Rusak
Sementara itu di Desa Waning, Kecamatan Kuwus, Manggarai Barat segel kota suara dirusak sehingga bungkusan kertas suara sudah terbuka sebelum pencontrengan dilakukan, Kamis (9/4). Hal itu diduga dilakukan seorang anggota Panwas Desa Waning.
Ketua DPC Partai Patriot Mabar, Laurensius Barus kepada wartawan di Golowelu, Senin (13/4) mengatakan, kotak suarayang sudah terbuka terjadi di TPS 06 Tehong, Desa Waning. Diduga dilakukan Panwas Desa Elias Nai. Hal tersebut diketahui saat anggota KPPS memperlihatkan kotak suara kepada saksi-saksi parpol.

Karena ada kejanggalan, saksi dari PDIP mempersoalkanya. Mengapa kotak suara dan pembungkus surat suara telah dibuka. Kondisi kotak suara yang dibuka diperlihatkan kepada para saksi dari Partai Patriot, PAN, PIB, PDS, Hanura, dan lain-lain.

”Saat masalah itu dipersoalkan, Ketua KPPS Tehong, Herman Jeranu mengatakan, pihaknya tak melakukan itu. Keadaannya sudah seperti itu memang. Karena itu, pencontrengan tetap dilangsungkan. Dan, masalah itu harus dicatat para saksi,” kata anggota DPRD Mabar ini.

Karena tidak puas, maka kasus ini dilaporkan ke Kades Waning. Elias Nai mengaku, dia membukanya karena mau ambil spidol. Tapi tindakan ini dilakukan atas izin KPPS dan PAM TPS.

Hal senada disampaikan caleg dari Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB), Agustinus Sun per telepon, Selasa (14/4). Menurutnya, kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Panwas Kecamatan Kuwus untuk ditangani secara serius. Sebagai caleg dirinya mendapat informasi tersebut dari saksi yang hadir di TPS 05 Tehong.

”Katanya dia mau ambil sepidol dan dokumen-dokumen lain seperti SK-SK dari mitra Panwaslu. Kita juga sudah panggil orangnya dan dia sudah mengakuinya. Sebagai caleg, pembukaan segel kotak suara itu suatu pelanggaran dalam Pileg 2009 ini di Desa Waning,”katanya.

Dia bilang kasus ini mesti diproses hukum karena sudah masuk dalam tindak pidana. Karena membuka logistik pemilu harus dilakukan bersama-sama di TPS-TPS.
Elias Nai kepada wartawan, Senin (13/4) di Golowelu membantah membuka kotak suara. Dia hanya mau ambil sepidol dalam peti surat suara. Waktu itu, ada PAM TPS yang menyaksikannya.

”Saya beritahu mereka untuk ambil sepidol untuk tanda tangan surat keputusan (SK) mitra Panwaslu. Kalau salah, saya siap terima untuk diproses secara hukum. Saya tidak curi,” katanya.

Dia ambil spidol tidak di tempat tersembunyi, tapi di TPS yang dihadiri Ketua KPPS dan anggota PMA desa.
Selengkapnya...

Jaksa Nilai Hakim Tidak Netral

Sidang Perdana Longginus

Oleh Syarif Lamabelawa

MAUMERE -- Sidang perdana perkara dugaan korupsi dana purnabkti DPRD Sikka senilai Rp276,5 juta dengan terdakwa mantan Bupati Sikka mulai digelar di Pengadilan Negeri (PN) Maumere, Selasa (14/4).

Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai majelis hakim tidak netral karena cenderung memojokkan mereka dalam kasus ini.

Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim P M Silalahi yang didampingi anggota L S Tampubolon dan Albon Damanik. Tim JPU yakni Hendrina Malo, Ahmat Jubair, dan Moh Takdir. Sedangkan terdakwa didampingi tim kuasa hukumnya yakni Marianus Moa, Marianus Rinaldy Laka, dan Valentinus Pogon.

Sidang dijaga ketat puluhan polisi. Meski berlangsung aman, sidang dihadiri pula pendukung Longginus dan massa tandingan yang jumlah ratusan orang.

Meski sidang sudah dibuka, Ketua Majelis Hakim P M Silalahi masih “berkhotbah” terhadap JPU dan meminta JPU untuk lebih dewasa dalam kasus ini dan meminta para pengamat yang biasanya lebih pintar menghargai proses hukum tersebut.

Silalahi juga meminta agar tidak ada pihak yang menekan pengadilan terkait pemberian status penahanan kota terhadap terdakwa. Status tahanan kota merupakan kewenangan pengadilan tanpa dmenjelaskan alasannya.

Silalahi juga ikut mengoreksi isi dakwaan JPU di antaranya mempertanyakan kapan JPU melimpahkan berkas kasus 27 mantan anggota yang ikut menerima dana purnabakti. Dia katakan ini karena dalam salah satu bagian dakwaan JPU, dinyatakan berkas 27 mantan DPRD itu sedang dalam penuntutan.

Sikap ketua majelis hakim yang terkesan memojokkan JPU ini, beberapa kali disambut dengan tepuk tangan dan teriakan massa pendukung Longginus yang memenuhi ruang sidang.

Salah seorang anggota tim JPU, Ahmat Jubair kepada wartawan usai sidang menyesalkan sikap ketua majelis hakim tersebut. Menurutnya, “khotbah” ketua majelis hakim itu mesti tidak perlu terjadi karena yang disampaikan itu di luar konteks dan bukan masuk dalam acara persidangan.

Sikap ketua majelis hakim, demikian Jubair, terkesan sedang melampiaskan ketidakpuasannya terhadap sesuatu yang terjadi. Diduga kuat, sikap itu akibat tekanan masyarakat atas sikap pengadilan dalam kasus ini.

Dia menambahkan, sikap ketua majelis hakim yang juga mengoreksi isi dakwaan setelah dibukanya sidang menunjukkan majelis hakim tidak netral. Sebab, itu adalah porsinya penasihat hukum yang menanggapinya melalui eksepsi.

“Tugas hakim itu menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara. Bukan mengoreksi dakwaan. Koreksi dakwaan boleh tapi sebelum sidang, bukan saat berlangsungnya sidang,” kritik Jubair.

Ditanya mengapa JPU tidak lakukan interupsi saat itu, Jubair mengatakan, pihaknya memilih untuk tidak menanggapi karena tidak ingin ada sorak sorai yang mengganggu jalannya persidangan. Sehingga pertimbangan JPU biarkan masyarakat yang menilai semuanya itu.

Seperti disaksikan, saat sidang berlangsung, ratusan massa pendukung Longginus dan massa tandingan terlihat hadir. Massa pendukung Longginus mengikuti jalannya sidang dengan tertib.

Sementara massa tandingan yang semula berencana berorasi di depan PN, tidak jadi melakukannya. Salah seorang dari massa tandingan itu, Meridian Dado mengatakan, pihaknya akan melakukan hal itu pada sidang lanjutan, Selasa (21/4).*



Selengkapnya...

Polisi Masih Lacak Pelaku Aborsi

Polisi Sudah Kantongi Bukti

Oleh Andre Durung

LABUAN BAJO -- Polisi sudah kantongi bukti-bukti, namun masih mencari pelaku tindakan aborsi di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Senin (13/4).

Kapolres Mabar, AKBP Samsuri di ruang kerjanya, Selasa (14/4) mengatakan, kasus ini cukup menghebohkan warga sekitar lokasi kejadian. Diduga, tindakan aborsi dilakukan Senin (13/4). Lokasinya di bibir kali di belakang kompleks SMAK St Iginatius Loyola Labuan Bajo.

Di lokasi, polisi menemukan barang bukti seperti alat suntik, bercak darah, bungkusan obat-obatan dan semacam ari-ari. Sedangkan pelaku dan bayi korban belum ditemukan.

Polisi akan bekerja sama dengan petugas kesehatan di Mabar untuk mencari jejak pelaku.

Sekretaris Dinas Kesehatan Mabar, Paulus Lesing di ruang kerjanya di Labuan Bajo, Selasa (14/4) mengatakan, Dinas Kesehatan sedang berkoordinasi dengan jejaring kesehatan di tingkat bawah.

“ Kita sudah dengar, sekarang kita lagi kordinasi dengan yang di bawah, juga dengan polisi,” katanya.

Hal senada disampaikan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Mabar, Martina M.Tibo pada kesempatan yang sama.

Menurut situs www. Aborsi.org, di dunia kedokteran abortus atau menggugurkan kandungan berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.

Ada tiga jenis aborsi yakni aborsi spontan (alamiah), aborsi buatan, dan aborsi terapeutik (medis).

Aborsi spontan atau alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, sedangkan
aborsi buatan atau sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi.

Sedangkan aborsi terapeutik atau medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.

Banyak alasan orang melakukan aborsi antara lain usia si ibu masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah) atau aib keluarga. Menurut studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998), hanya satu persen aborsi karena kasus perkosaan atau incest, 3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri, termasuk takut tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu atau gengsi. Atau hamil di luar nikah karena akan dilihat sebagai aib.

Sedangkan pelaku umumnya wanita berusia muda. Studi kasus di Ameroka lebih dari separo atau 57 persen pelaku aborsi berada di bawah usia 25 tahun. Bahkan 24 persen dari mereka wanita remaja berusia di bawah 19 tahun.*

Selengkapnya...

Petinju Nasional Diduga Terlibat Pembunuhan Turis Asing

DENPASAR (ANTARA) --
Andreas Seran, salah seorang petinju nasional, diduga menjadi salah seorang pelaku pengeroyokan Sean Keith William (22), turis asal New Zealand yang ditemukan tak lagi bernyawa di Hotel Sari Yasa Samudra, Kuta, Bali.

Selain Andreas, dua karyawan diskotek Bounty Kuta, Doni dan Nengah Suastika juga telah ditetapkan polisi selaku tersangka pelaku penganiayaan itu.
Kapolsek Kuta AKP Dody Prawira di Denpasar, Selasa, mengakui pihaknya telah menetapkan tiga tersangka.

"Ditemukan cukup bukti bahwa ketiga tersangka telah melakukan pemukulan dan pelemparan menggunakan botol bekas minuman dan gelas ke arah korban William saat terjadi keributan di ruang diskotek Bounty," katanya.

Bukti tersebut, lanjut dia, tidak hanya dari keterangan sejumlah saksi, tetapi juga hasil rekaman kamera CCTV yang terpasang di ruang diskotek di kawasan obyek wisata internasional Kuta itu.

Khusus untuk tersangka Andreas Seran, yang bersangkutan tercatat sebagai salah seorang petinju nasional yang kini aktif berlatih di sasana tinju Harry’s Gym di Perth, Australia, tempat petunju Chris Jhon digembleng belum lama ini.
Di dalam negeri, Andreas diketahui pernah bertarung dalam kelas welter 69,5 kilogram.

Dia terlibat pemukulan terhadap korban William, diduga karena pengaruh minuman keras yang ditenggaknya.

Sementara dua tersangka lain, Doni dan Nengah Suastika, masing-masing diketahui selaku tenaga keamanan (security) dan bartender di Diskotek Bounty Kuta.

Informasi yang dihimpun di lapangan menyebutkan bahwa William tewas menyusul terjadinya insiden saling lempar botol minuman di ruang Diskotek Bounty, Kuta, Kabupaten Badung, Sabtu (11/4) tengah malam.

Kejadian berawal dari tidak terpenuhinya keinginan korban yang minta diberikan diskon atas minuman yang dibelinya.

Versi lain menyebutkan bahwa korban yang berniat "joged" di lantai dua, namun lantaran panggung penuh, petugas tidak mengizinkan William masuk, sehingga dia langsung naik pitam dan mengamuk.

Amukan korban berupa melemparkan botol-botol bekas minuman, ternyata berbuntut dengan saling lempar dengan pengunjung diskotek yang lain. Tidak hanya itu, sejumlah orang yang diduga karyawan atau petugas keamanan setempat, malah ramai-ramai menggebuki korban.

Munculnya keributan tersebut membuat suasana menjadi gaduh, sehingga sebagian pengunjung terpaksa harus berhamburan keluar ruangan.

Polisi yang datang ke tempat kejadian berhasil mengatasi keadaan dan bersamaan dengan itu William dilaporkan langsung dibawa pulang ke Hotel Sari Yasa Samudra, Kuta, tempatnya menginap.

Namun pada pagi harinya, korban ditemukan pasangan wanitanya sudah tidak lagi bernyawa di dalam kamar hotel.

Pihak Polsek Kuta yang mendapat laporan, langsung membawa jenazah korban ke RSUP Sanglah Denpasar untuk dimintakan visum dokter mengenai sebab-sebab kematiannya.
Sementara itu, jenazah William hingga kini masih dibaringkan di RSUP Sanglah Denpasar guna dilakukan otopsi dan menunggu pihak keluarga datang menjemputnya.*

Selengkapnya...

Kalabahi Mencekam, Polisi Berlakukan Siaga I

KUPANG (ANTARA)
Kota Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor hingga Senin (13/4) masih mencekam, menyusul tawuran antarpemuda di kota kecil itu pada Minggu Paskah (12/4).

Kapolres Alor, AKBP Edy Yudianto, Senin memberlakukan Siaga I di wilayah itu ketika meletus lagi aksi tawuran serupa pada Senin pagi.

Dalam tawuran itu, para perusuh menggunakan batu dan anak panah untuk saling melempar dan saling memanah sehingga menimbulkan korban jiwa di antara kedua belah pihak.

Seorang pemuda setempat, Iwan Holo, anak salah seorang Ketua RT di kawasan Bunga Waru Kalabahi terkapar diterjang anak panah di bagian pinggul sebelah kiri.
Korban langsung dilarikan ke RSUD Kalabahi untuk mendapat perawatan sekaligus mencabut anak panah yang masih menancam di pinggulnya.

Hery, seorang pemuda lainnya mengalami luka serius di pelipis kanan terkena lemparan batu.

Sementar itu, dua anggota Polres Alor, Bripda Jusuf dan Ferdinandus Ati dilarikan ke UDG RSUD Kalabahi karena terkena lemparan batu di bagian wajah.

Tawuran antarpemuda itu melibatkan pemuda jalur atas dan jalur bawah Pasar Inpres Kalabahi. Penyebab terjadinya tawuran sedang dalam penyelidikan aparat kepolisian.
Informasi yang beredar yang menyebut bahwa polisi telah memukul sejumlah pemuda yang terlibat tawuran, telah memicu kelompok pemuda dari kelurahan Wetabua langsung menyerang Mapolres Alor di Kalabahi dengan batu dan benda keras lainnya.

Kapolres Alor, AKBP Edy Yudianto, langsung memberlakukan Siaga I dan memerintahkan anggotanya untuk menyebar ke kawasan Wetabua.

Aparat keamanan dari Polres Alor sempat melepas tembakan peringatan ke udara untuk meredakan amukan massa yang menyerang markas kepolisian tersebut.

Namun, kelompok pemuda dari Kelurahan Wetabua tetap nekad tanpa mempedulikan tembakan peringatan tersebut.

Polisi akhirnya melakukan tembakan di tempat karena massa pemuda semakin beringas.
Kerusuhan tersebut, terjadi pada Minggu (13/4) malam, ketika sebagian umat kristiani sedang mengikuti ibadat Paskah.

Di panggung halaman Gereja Pola Tribuana Kalabahi sedang berkumandang lagu-lagu Paskah, namun di kawasan sekitar Mapolres Alor yang berbatasan langsung dengan wilayah Kelurahan Wetabua, tidak jauh dari Gereja Pola Tribuana, terdengar rentetan tembakan.

Sementara itu, petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang datang dari luar Kalabahi untuk menyerahkan tabulasi data hasil Pemilu legislatif 9 April lalu, ikut terjebak di tengah kerusuhan massal itu ketika melintas di jalan utama di sekitar Pasar Inpres Kalabahi.

Meskipun demikian, truk yang digunakan petugas PPK untuk mengangkut kotak surat suara yang hendak disampaikan ke KPU Kabupaten Alor di Kalabahi, lolos dari amukan massa.

Melihat situasi semakin mencekam, Polres Alor meminta bantuan keamanan dari Kodim 1622/Alor. Komandan Kodim 1622/Alor, Letkol (Kav) Syiachrical E Siregar terjun langsung memimpin anak buahnya membantu aparat Polres Alor yang tengah dalam ancaman serangan pemuda dari Kelurahan Wetabua itu. Situasi berhasil dikendalikan ketika aparat Kodim Alor diterjunkan ke daerah kerusuhan.

Namun pada Minggu tengah malam, kelompok pemuda Wetabua kembali beraksi dengan menyerang aparat keamanan dan membakar sebuah sepeda motor milik anggota Polres Alor.
Mobil dinas Kapolres Alor tidak luput dari hujan batu yang dilayangkan pemuda Wetabua yang tengah murka itu. Kaca depan mobil Dalmas Polres Alor pecah berantakan.
Akhirnya, aparat keamanan berhasil memukul mundur kelompok anak mudah tersebut.
Meskipun demikian, pada Senin dini hari pecah lagi kerusuhan di wilayah Pasar Inpres Lipa Kalabahi.

Kelompok pemuda yang berhadap-hadapan saling serang dengan batu dan anak panah. Toko-toko dan kios-kios pun tutup.

Para pemilik dan penjaga toko/kios serta penjual di pasar lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Hingga Senin malam, tidak ada aktivitas di pasar tersebut.
Kondisi itu membuat suasana Kota Kalabahi bertambah mencekam. Jalan utama yang membelah kota Kalabahi itu pun sempat ditutup aparat Polres Alor hingga pukul 11.00 Wita.

Pawai Paskah yang dikoordinir Gereja Ikhtus Puildon Kalabahi yang mengambil start di Stadion Bola Kaki Batunirwala Kalabahi dan berakhir di Stadion Mini Kalabahi terpaksa hanya sampai di lapangan SD GMIT Kabola, Kelurahan Mutiara.

Sekitar 11 Gereja Kristen di Kalabahi yang semula siap ikut Pawai Paskah pada Senin siang, akhirnya batal mengikuti kegiatan rohani keagamaan tersebut karena situasi keamanan di kota kecil tambah tidak menentu.

Kelompok pemuda Wetabua ketika melihat aparat Polres Alor berkonsentrasi mengamankan situasi di Pasar Inpres Lipa Kalabahi, memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menyerang Mapolres Alor.

Seluruh kekuatan Polres Alor, mulai dari tingkat perwira hingga prajurit lapangan dikerahkan semuanya untuk menghalau serangan.

Suara tembakan terdengar bersahut-sahutan. Sementara dari Masjid Babuljihad Wetabua berkumandang Allahu Akbar...Allahu Akbar.

Sebuah mobil Dalmas yang mengangkut anggota Polres bersenjata lengkap diterjunkan ke Wetabua. Pemuda setempat kalang kabut dan bersembunyi di rumah-rumah penduduk dan ada yang melarikan diri dengan menggunakan perahu motor.

Sekitar 16 pemuda berhasil dibekuk aparat dan digelandang ke Mapolres Alor. Dua pemuda diterjang peluru aparat yakni Anus Manukoi (20) terkena tembakan di paha kiri dan sayatan di paha kanan.

Jackly (27), tertembak di betis kanan dan tembus ke betis kiri, sedang seorang siswi SMP, Sumiati Abas (16) terkena tembakan peluru nyasar di bagian pelipis kanan. Lukanya cukup parah di bagian pelipis kanan sedalam sekitar 3,5 cm.

Diperkirakan masih banyak pemuda yang terluka tembak tetapi belum mau berobat ke RSUD Kalabahi.

Sementara itu korban luka parah dari pihak Polres Alor, yakni Stefanus (30) yang terkena panah di dada bagian kiri dan Ari Sanjaya terkena sabetan parang di tangan kiri.
Polda NTT telah menerjunkan pasukan dari Satuan Brimoda NTT ke Kalabahi untuk mengamanan situasi di kota itu guna mencegah meluasnya aksi kerusuhan.

Tindakan pengamanan dipandang sangat penting karena sebagian besar PPK di Alor sedang melakukan proses penghitungan surat suara pada pemilu 9 April lalu.

Sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Alor belum juga melakukan pencentangan surat pada pemilu 9 April, karena tertukarnya surat suara untuk DPRD Kabupaten Alor.*

Selengkapnya...

Caleg PDIP Dilaporkan ke Polisi


Oleh Syarif Lamabelawa


MAUMERE-- Calon anggota legislatif untuk DPRD Kabupaten Sikka dari Dapil III Sikka, Gaut I. Parera alias Ensi Pitan dilaporkan ke polisi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum setempat karena diduga melakukan praktik politik uang sehari sebelum dilakukan pencontrengan.

Ketua Panwaslu Kabupaten Sikka, Alfon Gaudensius Sero kepada wartawan Selasa (14/4) membenarkan adanya laporan itu. “Laporannya sudah kita teruskan ke polisi kemarin,” kata Sero.

Dia mengaku, tindakan yang diduga sebagai praktik politik uang itu terjadi di Kelurahan Wailiti pada tanggal 8 April 2009 sekitar pkl 23.00, atau sehari menjelang pencontrengan. Saat itu, dua warga setempat Fabianus Susar dan Agus Diaz didatangi oleh sepasang suami isteri yakni Markus Moa dan Sisilia Sensiana.

Pasangan suami isteri itu, katanya, membawa dua amplop yang masing-masing di dalamnya berisi uang Rp25 ribu dan stikernya Ensi Pitan. Kedua orang yang menerima “kado” itu kemudian menyampaikan hal tersebut kepada Pello.

Berdasarkan laporan dan barang bukti tersebut, lanjut Sero, pihaknya kemudian melakukan kajian dan selanjutnya melaporkan masalah tersebut ke Polres Sikka. Dalam laporan itu dibuat sebagai terlapor I yakni Ensi Pitan, terlapor II Markus Moa, dan terlapor III Sesilia Sensiana.

Ensi Pitan yang dikonfirmasi melalui handphone-nya membantah telah melakukan hal itu. Dia mengatakan tidak mengetahui adanya kejadian pemberian uang dan stiker tersebut. “Itu bisa saja ada permainan,” katanya singkat.*

Selengkapnya...

Dilema Ayah

Oleh Mirela Xanthaki
Sindikasi Pantau

KIAN banyak laki-laki yang memanfaatkan paternity leave (cuti untuk menemani istri melahirkan) atau bahkan berhenti bekerja untuk mengasuh anak sementara sang istri bekerja. Tapi stigma sosial, yang melekat pada ayah semacam itu, sulit dihilangkan. Peran itu secara tradisional dipandang sebagai tugas perempuan.

"Ada anggapan, khususnya dalam budaya Amerika, bahwa seorang laki-laki menjadi penting berdasarkan berapa banyak uang yang mereka dapatkan. Lelaki seharusnya bekerja, menghasilkan uang, itulah tugas mereka," ujar Armin Brott, penulis enam buku laris tentang keayahan (fatherhood) yang juga salah seorang pendiri Fathers at Work, sebuah organisasi yang membantu laki-laki menyeimbangkan antara karier dan keluarga, kepada IPS.

Paternity leave serta kesempatan untuk bekerja dalam waktu lebih singkat dan fleksibel ketika anak-anak masih kecil diberikan kepada para ayah di Skandinavia selama beberapa dekade. Di belahan dunia lainnya, khususnya di AS, banyak laki-laki masih bergantung pada kemurahan hati atasan mereka.

Menurut Biro Sensus AS, diperkirakan ada 159.000 ayah yang tinggal di rumah pada 2006. Mereka, yang memiliki anak-anak berusia kurang dari 15 tahun ini, berada di luar tekanan kerja selama lebih dari setahun. Mereka bisa mengurus keluarga, sementara sang istri mencari uang di luar rumah.

Tapi, jumlah total orangtua yang tinggal di rumah di AS adalah 5,8 juta –menunjukkan mayoritas masih para ibu.

"Banyak perusahaan menyediakan 12 minggu cuti dan 12 minggu cuti di luar tanggungan, tapi hanya berlaku di atas kertas. Masalah sebenarnya adalah apakah laki-laki bisa memanfaatkan jatah cuti yang begitu panjang dan apakah mereka benar-benar bisa mengambil izin cuti itu," ujar Phoebe Taubman, staf pengacara di A Better Balance, kelompok advokasi hukum berbasis di New York yang fokus pada masalah karier dan keluarga.

Jumlah laki-laki yang meminta cuti demi alasan keluarga meningkat. Menurut survei Flex-Time Lawyers dan majalah Working Mothers pada 2007, 88 persen dari 50 perusahaan papan atas di negeri ini menyediakan cuti paternity leave rata-rata 4,6 minggu. Tahun lalu, jumlahnya meningkat hingga 90 persen, dengan cuti rata-rata 5,8 minggu.

Survei pada 2008 menunjukkan, 62 persen ayah baru memanfaatkan paternity leave. Tahun ini jumlahnya melonjak hingga 83 persen.

Hanya sekitar 13 persen perusahaan di AS yang menyediakan cuti paternity leave, ujar sebuah perkiraan.

Sementara itu, jumlah ayah yang memilih tinggal di rumah meningkat, seiring kian banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah.

"Krisis keuangan lebih mempengaruhi laki-laki ketimbang perempuan, dengan jumlah pekerjaan yang berkurang. Laki-laki –suka atau tidak– harus menghabiskan lebih banyak waktu berkualitasnya bersama anak-anak," ujar Roland Warren, presiden National Fatherhood Initiative, sebuah kelompok advokasi, kepada IPS.

Menurut survei CareerBuilder.com, 37 persen ayah yang bekerja akan memilih meninggalkan pekerjaan jika pasangan atau istri mereka mampu menghasilkan cukup uang untuk menopang kehidupan keluarga. Jika diberikan pilihan itu, 38 persen lainnya memilih gaji mereka dipotong agar bisa menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak.
"Banyak laki-laki menyadari bahwa mereka tak ingin melakukan sesuatu seperti ayah, kakek, dan kakek buyut mereka. Identitas lelaki terlalu dikaitkan dengan pekerjaan: berapa banyak uang yang kami hasilkan dan apa yang sudah kami lakukan dalam hidup. Banyak dari kami yang menengok ke belakang, dan ternyata ini kurang lengkap, dan tak terlalu berguna," ujar Brott kepada IPS.

"Kian banyak laki-laki yang mengatakan, saya tak bahagia dengan pilihan yang harus saya ambil, saya tak bahagia saat menengok ke belakang, memperhatikan apa yang dilakukan ayah dan betapa dia menderita karena tak bisa menghabiskan waktu bersama anak-anaknya," ujarnya.

Survei itu menunjukkan, sekitar satu dari empat ayah yang bekerja (24 persen) merasa pekerjaan berpengaruh negatif terhadap hubungan mereka dengan anak-anak. Dalam hal waktu bersama anak-anak, satu dari empat ayah yang bekerja (25 persen) menghabiskan kurang dari satu jam dalam sehari. 42 persen menghabiskan waktu kurang dari dua jam setiap hari.

Meski makin banyak perusahaan menawarkan opsi untuk mendukung keseimbangan antara karier dan keluarga, lebih dari sepertiga ayah yang bekerja mengatakan atasan mereka tak memberikan aturan yang fleksibel seperti bekerja jarak jauh dan pembagian kerja.
Tapi sekalipun atas bisa memahami, rekan kerja dan masyarakat bisa saja tidak. "Banyak laki-laki yang tinggal di rumah harus menghadapi berbagai komentar seperti, 'Oh, saya harap Anda segera mendapat pekerjaan!', atau 'Hari ini Anda mengasuh anak di rumah?', atau "Di mana ibunya?'," ujar Brott.

Sebuah survei yang dilaksanakan tahun lalu oleh A Better Balance dan sekelompok mahasiswa hukum New York University bernama Generation Y (mereka yang lahir setelah tahun 1979) menunjukkan, laki-laki muda juga mencemaskan konsep keseimbangan karier dan keluarga sebagaimana teman-teman perempuan mereka.

"Mereka sudah khawatir meski belum berkeluarga, yang menunjukkan mereka tertarik dan mereka jauh lebih sadar," ujar Taubman.

Salah seorang mahasiswa hukum yang ambil bagian dalam survei itu berkata, "Saat saya berpikir mengenai paternity leave, saya hanya mendapat kesan 'stigma besar, stigma yang sangat besar'."

"Ada stigma dan stereotipe mengenai perawatan keluarga yang selama ini dinilai rendah dalam masyarakat dan dikaitkan dengan peran dan nilai-nilai gender," ujar Taubman.

Laki-laki keputusan mereka akan berdampak pada karier, bahwa mereka akan diabaikan dari promosi jabatan. Terkadang, kekhawatiran itu benar-benar terjadi.

"Para ayah diperlakukan seperti pahlawan ketika mereka mengambil cuti untuk anak-anak. Tapi jika mereka meminta terlalu banyak, anggapan itu akan berubah," ujar Ellen Galinsky, presiden Families and Work Institute.

Pada akhirnya, perusahaan harus memahami bahwa dengan mendukung kebijakan di tempat kerja yang ramah bagi para ayah, mereka akan mendapatkan pegawai yang lebih bahagia, betah di perusahaan itu, dan lebih produktif, ujar Brott.

"Perusahaan melakukannya bukan semata-mata karena sesuatu yang baik, tapi karena dengan begitu mereka meraih keuntungan," ujarnya.

Dia mengatakan bahwa perempuan, yang berharap suaminya membantu mengurus rumah, juga bisa menjadi bagian dari masalah. Sadar atau tidak, mereka selalu meminta pembagian tanggung jawab dengan suami –terutama mengenai pengasuhan anak.

"Mereka mengajari apa yang harus dilakukan, seperti bagaimana mendadani anak-anak, apa yang harus dimakan, atau lagu yang harus dinyanyikan untuk anak-anak menjelang tidur. Ini kelihatannya baik, tapi sebenarnya tidak. Hal-hal yang diatur sedemikian rupa, tapi pada akhirnya tak berjalan, akan membuat banyak kesalahan," ujar Brott.*

Selengkapnya...

Apakah Gereja Terlanjur Berpolitik?

Oleh Rm Aloysius Ndate Pr
Pastor Pembantu Paroki Talibura

Kurun waktu sejak reformasi, kebebasan berpolitik secara hormat dan martabat cukup asyik dibicarakan. Kini pembebasan kehidupan berpolitik semakin terjangkau dan mulai menawarkan kesusksesan gemilang sehingga menjadi rebutan masyarakat luas. Pemerintah dan organisasi politik tampak kurang cermat mengkaji struktur lahiriah dalam merekrut politisi yang berkualitas. Masih segar di mata masyarakat bahwa para politisi berjuang tanpa visi dan kurang menampilkan diri sebagai sosok yang populis (merakyat). Mereka tetap rapi membungkus kejahatan moral (moral crime) yang cenderung menggelapkan realitas krisis kemanusiaan dan buta menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Gereja dalam wujud institusi dan organisasi melihat tantangan besar itu, sebagai gambaran pesimistis masa depan bangsa.

Dokumen Konsili Vatikan II tentang gereja, Lumen Gentium menandaskan bahwa gereja adalah umat Allah yang terdiri dari kaum klerus dan awam. Berbeda dengan klerus yang bertugas untuk menggembalakan umat-Nya, awam dipercayakan oleh Konsili untuk mencari Kerajaan Allah di tengah dunia. Dalam konteks kehidupan politik, awam mendapat tugas khusus dari Gereja untuk terlibat penuh dalam dunia politik. Paus Yohanes Paulus II dalam Redemtoris Hominis secara tegas mengatakan politik adalah tugas awam.

Menghadapi ancaman dan problem kualitas manusia yang semakin luntur di negeri ini, solusi moral yang ditawarkan gereja tidak jarang membuat para politisi menahan nafas panjang dan cemas. Bagi orang yang tidak memiliki pemahaman dan yang sedang berusaha naik ke posisi puncak berpolitik akan bertanya: “Mengapa Gereja berpolitik?” Dengan menggunakan “batu ujian ini”, gereja dengan bijaksana hadir dekat dengan orang yang menderita dan tetap meletakkan kinerja politikus di jalan yang baru. Pandangan ini dianut oleh umat Kristiani yang menghendaki adanya ketentraman dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Melalui pengalamannya, Gereja Indonesia terus merasa terpanggil untuk menyebarkan pencerahan bermartabat di dalam sisitem demokrasi yang rasional adil dan benar.

Gereja sebagai model pelayan iman dan moral berjalan dengan tekun menerobos krisis dalam tragedi kemanusiaan dan kesuraman berpolitik di negeri ini. Dengan argumen hakikat iman, Gereja tetap kritis menyampaikan kritik terhadap para politisi yang bermental apatis dan tak sanggup merubah kebijakan pembangunan. Pencemaran politik sering menciptakan krisis malapetaka bagi rakyat. Secara teknis, trik politik yang kita hadapi sekarang masih kental mengidentifikasikan pada kepentingan pribadi atau lingkaran kelompok yang menginginkan kekuasaan politik partai itu sendiri. Selama ini ada semacam gambaran yang keliru bahwa para politisi menjadikan semua yang berurusan dengan kesejahteraan rakyat itu “gampang”.

Memasuki dan menghadapi dunia politik praktik saat ini, yang mengombang-ambingkan masyarakat dengan kisah-kisah krusial yang berseberangan dengan ajaran Kristiani, Gereja semakin merasa gelisah dan kehilangan harapan baik terhadap pemerintah maupun organisasi politik. Banyak kisah-kisah konkret yang membuat pilihan kekristenan pada masa ini menghadapi saat yang sangat sulit. Di sinlah problemnya, mengingat Gereja selalu prakarsa dan fasih bersuara untuk merebut kebenaran harkat manusia. Itulah jalan damai menuju keadilan tetapi tetap pada akhirnya kebenaran menjadi lebih rawan dan bahkan bertaruh nyawa.

Menjelajahi pelbagai tugas pewartaan dalam mempertahankan perjuangan hak kebebasa Iman dan moran di tengah masyarakat, terkadang orang Kristen harus lebih rela mengorbankan kehormatan karya dan relatif sabar menahan bila “dicap”; Suka mencampuri urusan politik. Dari sisi tilik, jika orang kristiani tetap yakin dan terbuka seta memiliki identitas Iman dengan inspirasi Injil, mau tidak mau harus menghadapi kerawanan.

Gereja sebagai lembaga tetap berada di dalam negara, sementara ini muncul suatu kemerosotan dalam partisipasi polotis. Karena itu, apa yang dilakukan oleh gereja suka atau tidak suka berpengaruh langsung atau tidak langsung pada bangsa dan negara secara keseluruhan. Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh negara juga membawa dampak bagi Gereja. Hubungan Gereja dan politik dalam masyarakat yang sedang membangun bukanlah hubungan yang sederhana dan juga tergantung pada situasi politik masing-masing negara. Misalnya perbedaan etnis, pemborosan uang negara, munculnya sejumlah politisi yang korup dan global warming yang akan mengancam hidup manusia secara menyeluruh. Kondisi seperti ini sudah seharusnya menjadi keprihatinan Gereja untuk “dihadapi dan bukan untuk dihindari” sejalan dengan itu, Max Weber menegaskan bahwa bukti agama yang sejati tidak hanya dalam hal-hal keimanan dan kekerapan kehadiran di Gereja tetapi juga pada perilaku yang benar dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai warga bangsa yang beriman Kristen, kita adalah pelayan politik dan spiritual yang mempunyai tekat, bahwa keenakan pribadi atau golongan tertentu harus disingkirkan. Sampai di sini kita harus bertanya: “apakah gereja terlanjur berpolitik”?

Paus Yohanes Paulus II melarang kaum rohaniwan-rohaniwati melibatkan diri dalam politik, namun di Haiti beliau menegur korupsi pemerintah, di Mexico ia menyerukan perlu diadakannya land reform. Seperti halnya dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987), ia menghimbau agar “rezim-rezim korup, diktator dan otoriter digantikan dengan tatanan partisipasi demokratis (No, 44). Sri Paus sebagai pemimpin berusaha mempengaruhi opini dunia dalam berbagai masalah moral dan pemberi napas kahidupan dalam setiap “institusi”.

Di akhir tahun 2002, Gereja Vatikan meluncurkan dokumen “The Participation of Catholics Life”, dimana dikatakan suara hati yang benar seorang Kristen tidak akan membiarkan dirinya untuk memilih sebuah program politik atau hukum yang menentang isi fundamental ajaran iman dan moral. Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa situasi dewasa ini politik adalah urusan semua warga negara yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Suasana ini barangkali relatif baru, karena sebelumya pembangunan politik dan ekonomi masih menjadi urusan pemerintah atau barisan elite. Pandangan klasik ini tidak bisa diterima lagi secara absolut karena Gereja melihat bahwa ada umat yang merasa yakin akan adanya alternatif lain.

Pendekatan Gereja dan politik tampak paling jelas dalam masa era global yang masih pluralis dan ambiguitas. Ruang dialog kontemporer iman dan moral kian bergerak untuk menekan struktur-struktur yang tidak adil di tengah masyarakat.

Paul Tilich, dalam Teologi Kristiani telah memberikan peringatan kepada teolog agar tidak berpaling dari realitas kehidupan. Pada titik yang paling mendasar Gereja cepat berpaling pada realitas kisah korban penderitaan rakyat, terutama bagi yang menghadapi akibat krisis ekonomi global dan kecurangan di dalam berpolitik.

Dalam kaitan dengan kebijakan politik public, Gereja tidak mudah terjebak pada rangkaian kata indah dan “proyek proposal” yang ditawarkan oleh para politisi masa kini. Para aktivitas komunikasi kristiani seperti dalam solidaritas demokrasi Katolik Indonesia dan Forum Masyarakat Katolik Indonesia telah menganggap perubahan sebagai suatu tindakan korup dan penyimpangan. Mereka berpendapat, saat ini telah terjadi penderitaaan rakyat yang terus menerus tanpa putus, kerusakan harta benda yang muncul sudah tidak masuk akal dan nilai-nilai autentik dalam hidup berbangsa semakin suram. Di samping penderitaan umat manusia, ada juga penderitaan bumi dan makhluk lainnya.

Kerap kali kebijakan represif yang dibuat oleh kelompok intelektual Gereja adalah model “kompetisi suci”, demi menjaga hak dan peluang untuk bersaksi dalam menyingkapi kebutaan hati manusia dan kerusakan dunia. Sementara pendekatan Gereja di dalam pergolakan politik tampak belum selesai, ternyata semakin banyak muncul krisis baru. Gereja sebagai wadah, senantiasa bersedia mendengar dan ditantang oleh orang lain dengan tidak membiarkan siapapun untuk terus bersikap inklusif dalam berpolitik.

Pertanyaan apakah gereja terlanjur berpolitik? Mungkin terlalu keras kedengarannya, tetapi ini mengandung satu peringatan untuk mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Di sini talaah kritis mau menyikapi masalah yang sulit dan riskan dengan menguji berbagai kesamaan maupun perbedaan melalui jalan dialog politik.
Jadi sekali lagi, apabila Gereja menghindari tugas pendidikan politik atau pengawasan kinerja kerja politik, itu berarti menghilangkan kebenaran politik yang berhati nurani (actus humanus).

edisi, 15 April 2009
Selengkapnya...

BENTARA: Damai di Atas Keadilan

Oleh Frans Anggal

Kasus Kepala Telkom Lewoleba, Jefta Loak, berakhir. Pelaku ‘perbuatan tidak menyenangkan’ terhadap wartawan Flores Pos Maxi Gantung ini divonis 20 hari penjara. Praktis ia langsung menghirup udara bebas begitu vonis dijatuhkan. Masa hukumannya habis dipotong masa tahanan.

Puaskah Maxi Gantung? Puas untuk satu hal, tidak puas untuk hal lain. Ia tidak puas dengan Polres Lembata. Bayangkan. Pelaku meramas krah baju korban. Korban merasa dipermalukan dan diinjak-injak harga dirinya. Pelaku juga melarang korban menggunakan jasa internet Telkom yang adalah fasilitas umum. Untuk kasus ini, polisi menggunakan pasal tindak pidana ringan (tipiring). Ini namanya menjerat nyamuk pakai tali kerbau. Menjerat untuk meloloskan. Maxi menolak menandatangani BAP. Akhirnya polisi mengganti pasal.

Kalau polisinya main kotor, tidak demikian jaksa dan hakim. Maxi puas, Jefta Loak akhirnya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum. Ia pun dihukum karena perbuatannya itu.

Bahwa putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa, tidak soal. Jaksa menuntut satu bulan, hakim memvonis 20 hari. Korting 10 hari, tidak apa-apa. Begitu juga ketika 20 hari penjara langsung habis dipotong masa tahanan. Artinya, Jefta divonis penjara tetapi secara fisik tidak meringkuk di balik terali besi. Semua itu tidak apa-apa.

Tujuan Maxi memproses hukum kasus ini bukan untuk itu. Bukan untuk menjebloskan Jefta ke penjara. Masuk penjara hanya akibat, sejauh yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum. Akhirnya memang terbukti. Perbuatan Jefta tidak dapat dibenarkan. Maxi puas.

Secara pribadi, di luar persidangan, Jefta mengakui kesalahannya. Ia mendatangi rumah Maxi untuk minta maaf. Maxi memaafkan. Keduanya berdamai. Hal ini kemudian turut menjadi unsur yang meringankan vonis bagi Jefta. Kendati demikian, Maxi tidak mencabut gugatan. Damai, ya. Proses hukum, jalan terus.

Dengan pilihan itu, Maxi memperhadapkan perasaan kasihan dan perasaan tega di satu pihak (sebagai sifat psikologis) dan perasaan adil dan tidak adil (sebagai sifat moral) di pihak lain. Pilihan yang ia jatuhkan adalah pilihan (sebagai warga) negara hukum. Mendasarkan sikap dan perlakukan pada pertimbangan moral melalui hukum dan pengadilan, bukan pada perasaan yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Ia memenangkan sifat-sifat moral di atas sifat-sifat yang semata-mata psikologis.

Sikap Maxi sebagai pribadi sejalan dengan sikap Flores Pos sebagi lembaganya. Dalam artian tertentu, Maxi itu personifikasi Flores Pos juga, yang menolak kesewenang-wenangan dan segala bentuk premanisme. Kita cinta damai. Tapi damai itu harus dibangun di atas keadilan.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 15 April 2009


SENGGOL

Dua tersangka kasus Rm Fastin ditahan di Polda NTT di Kupang.
Polres Ngada jadi penonton.

Tim kuasa hukum keuskupan mendukung langkah Polda NTT.
Dukung ya, kontrol tetap.

Sudah ada tiga alat bukti kunci untuk mengungkap kasus ini.
Pasti, tidak bunuh pake HP.

Om Toki
Selengkapnya...

BENTARA: Contrengan Paska

Oleh Frans Anggal

“Karya-Nya tidak seperti Golkar. Perjuangan-Nya tidak seperti PDIP. Damainya tidak seperti PDS. Hati nurani-Nya tidak seperti Hanura. Kebangkitan-Nya melebihi PKB. Contreng Yesus! Selamat Paska.”

SMS ini beredar Sabtu Besar 11 April dan Minggu Paska 12 April 2009. Paska dikaitkan dengan pemilu tiga hari sebelumnya. Yang dikampanyekan bukan parpol, tapi Allah dan karya-Nya. Yang dicontreng bukan caleg, tapi seorang pribadi, yang karena kasih-Nya kepada manusia dan ketaatan-Nya kepada Allah, rela mati di salib demi keselamatan umat manusia dan segenap alam ciptaan.

Membandingkan Allah dengan parpol, caleg dengan Yesus, tidaklah tepat. Namun ada yang penting di balik perbandingan yang tidak proporsional ini. Sebuah keprihatinan.

Pemilu semakin menjadi pertarungan partai nasionalis dan partai agama. Pertarungan dua jenis karung untuk memperebutkan kucing. Sayang, banyak pemilih hanya melihat kucing, lupa melihat karung. Yang penting kucing masuk karung. Karung nasionalis atau karung agama, tidak dipedulikan. Ideologi partai tidak dihiraukan.

Ada yang tidak paham. Dalam karung yang tepat, kucing sehat akan tetap hidup, berani mengeong, dan siap menerkam tikus. Sebaliknya, dalam karung yang salah, kucing sehat sekalipun, apalagi yang sakit-sakitan, gampang lemas karena terinjak, bahkan mati bodoh dimangsa kucing lain.

Apa pun hasil pemilu, itulah hasil pilihan kita. Pilih kucing untuk karung dan pilih karung untuk kucing. Selanjutnya, ke mana karung akan dibawa? Ke NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia? Ataukah menuju NSRI, Negara Syariah Republik Indonesia?

Fakta. Dalam Pembukaan UUD 1945, Piagam Jakarta dicoret. Namun ia muncul dalam bentuk lain melalui banyak peraturan, dari perda hingga UU. Perda syariah semakin banyak. UU juga begitu, bahkan sejak 1974, melalui UU Perkawinan; 1989 melalui UU Peradilan Agama;1999 melalui UU Haji. 2000 ke atas melalui UU Sisdiknas dan UU Pornografi, yang tidak eksplisit namun bernuansa syariah. Belum lagi RUU Pengelolaan Zakat dan Jaminan Produk Halal, yang sebenarnya merupakan salinan hukum agama ke dalam kerangka hukum negara.

Fakta. Ketika RUU Pengelolaan Zakat dan Jaminan Produk Halal dibahas di DPR, hanya satu fraksi yang protes. Partai lain, termasuk yang nasionalis, belum jelas mengajukan keberatan. Ini tanda apa? Karung nasionalis pun sudah berisi banyak kucing agamais.

Salah siapa? Salah yang pilih. Kita-kita juga. Salah pilih kucing, salah pilih karung. Namun tak perlu mengutuk diri. Kita harus bangkit. Terus berjuang menjaga NKRI, rumah bersama milik kita semua. Kita bukan penghuni indekos di negeri ini. Itulah hikmah Paska dan makna contrengannya.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 14 April 2009


SENGGOL

Turut Berbahagia atas Pengangkatan
Rm Edmundus Woge, CSsR
Menjadi Uskup Weetebula
oleh Paus Benediktus XVI, Sabtu 4 April 2009
“Menjadi Gembala di Padang Pluralisme”

Om Toki
Selengkapnya...