15 April 2009

Dilema Ayah

Oleh Mirela Xanthaki
Sindikasi Pantau

KIAN banyak laki-laki yang memanfaatkan paternity leave (cuti untuk menemani istri melahirkan) atau bahkan berhenti bekerja untuk mengasuh anak sementara sang istri bekerja. Tapi stigma sosial, yang melekat pada ayah semacam itu, sulit dihilangkan. Peran itu secara tradisional dipandang sebagai tugas perempuan.

"Ada anggapan, khususnya dalam budaya Amerika, bahwa seorang laki-laki menjadi penting berdasarkan berapa banyak uang yang mereka dapatkan. Lelaki seharusnya bekerja, menghasilkan uang, itulah tugas mereka," ujar Armin Brott, penulis enam buku laris tentang keayahan (fatherhood) yang juga salah seorang pendiri Fathers at Work, sebuah organisasi yang membantu laki-laki menyeimbangkan antara karier dan keluarga, kepada IPS.

Paternity leave serta kesempatan untuk bekerja dalam waktu lebih singkat dan fleksibel ketika anak-anak masih kecil diberikan kepada para ayah di Skandinavia selama beberapa dekade. Di belahan dunia lainnya, khususnya di AS, banyak laki-laki masih bergantung pada kemurahan hati atasan mereka.

Menurut Biro Sensus AS, diperkirakan ada 159.000 ayah yang tinggal di rumah pada 2006. Mereka, yang memiliki anak-anak berusia kurang dari 15 tahun ini, berada di luar tekanan kerja selama lebih dari setahun. Mereka bisa mengurus keluarga, sementara sang istri mencari uang di luar rumah.

Tapi, jumlah total orangtua yang tinggal di rumah di AS adalah 5,8 juta –menunjukkan mayoritas masih para ibu.

"Banyak perusahaan menyediakan 12 minggu cuti dan 12 minggu cuti di luar tanggungan, tapi hanya berlaku di atas kertas. Masalah sebenarnya adalah apakah laki-laki bisa memanfaatkan jatah cuti yang begitu panjang dan apakah mereka benar-benar bisa mengambil izin cuti itu," ujar Phoebe Taubman, staf pengacara di A Better Balance, kelompok advokasi hukum berbasis di New York yang fokus pada masalah karier dan keluarga.

Jumlah laki-laki yang meminta cuti demi alasan keluarga meningkat. Menurut survei Flex-Time Lawyers dan majalah Working Mothers pada 2007, 88 persen dari 50 perusahaan papan atas di negeri ini menyediakan cuti paternity leave rata-rata 4,6 minggu. Tahun lalu, jumlahnya meningkat hingga 90 persen, dengan cuti rata-rata 5,8 minggu.

Survei pada 2008 menunjukkan, 62 persen ayah baru memanfaatkan paternity leave. Tahun ini jumlahnya melonjak hingga 83 persen.

Hanya sekitar 13 persen perusahaan di AS yang menyediakan cuti paternity leave, ujar sebuah perkiraan.

Sementara itu, jumlah ayah yang memilih tinggal di rumah meningkat, seiring kian banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah.

"Krisis keuangan lebih mempengaruhi laki-laki ketimbang perempuan, dengan jumlah pekerjaan yang berkurang. Laki-laki –suka atau tidak– harus menghabiskan lebih banyak waktu berkualitasnya bersama anak-anak," ujar Roland Warren, presiden National Fatherhood Initiative, sebuah kelompok advokasi, kepada IPS.

Menurut survei CareerBuilder.com, 37 persen ayah yang bekerja akan memilih meninggalkan pekerjaan jika pasangan atau istri mereka mampu menghasilkan cukup uang untuk menopang kehidupan keluarga. Jika diberikan pilihan itu, 38 persen lainnya memilih gaji mereka dipotong agar bisa menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak.
"Banyak laki-laki menyadari bahwa mereka tak ingin melakukan sesuatu seperti ayah, kakek, dan kakek buyut mereka. Identitas lelaki terlalu dikaitkan dengan pekerjaan: berapa banyak uang yang kami hasilkan dan apa yang sudah kami lakukan dalam hidup. Banyak dari kami yang menengok ke belakang, dan ternyata ini kurang lengkap, dan tak terlalu berguna," ujar Brott kepada IPS.

"Kian banyak laki-laki yang mengatakan, saya tak bahagia dengan pilihan yang harus saya ambil, saya tak bahagia saat menengok ke belakang, memperhatikan apa yang dilakukan ayah dan betapa dia menderita karena tak bisa menghabiskan waktu bersama anak-anaknya," ujarnya.

Survei itu menunjukkan, sekitar satu dari empat ayah yang bekerja (24 persen) merasa pekerjaan berpengaruh negatif terhadap hubungan mereka dengan anak-anak. Dalam hal waktu bersama anak-anak, satu dari empat ayah yang bekerja (25 persen) menghabiskan kurang dari satu jam dalam sehari. 42 persen menghabiskan waktu kurang dari dua jam setiap hari.

Meski makin banyak perusahaan menawarkan opsi untuk mendukung keseimbangan antara karier dan keluarga, lebih dari sepertiga ayah yang bekerja mengatakan atasan mereka tak memberikan aturan yang fleksibel seperti bekerja jarak jauh dan pembagian kerja.
Tapi sekalipun atas bisa memahami, rekan kerja dan masyarakat bisa saja tidak. "Banyak laki-laki yang tinggal di rumah harus menghadapi berbagai komentar seperti, 'Oh, saya harap Anda segera mendapat pekerjaan!', atau 'Hari ini Anda mengasuh anak di rumah?', atau "Di mana ibunya?'," ujar Brott.

Sebuah survei yang dilaksanakan tahun lalu oleh A Better Balance dan sekelompok mahasiswa hukum New York University bernama Generation Y (mereka yang lahir setelah tahun 1979) menunjukkan, laki-laki muda juga mencemaskan konsep keseimbangan karier dan keluarga sebagaimana teman-teman perempuan mereka.

"Mereka sudah khawatir meski belum berkeluarga, yang menunjukkan mereka tertarik dan mereka jauh lebih sadar," ujar Taubman.

Salah seorang mahasiswa hukum yang ambil bagian dalam survei itu berkata, "Saat saya berpikir mengenai paternity leave, saya hanya mendapat kesan 'stigma besar, stigma yang sangat besar'."

"Ada stigma dan stereotipe mengenai perawatan keluarga yang selama ini dinilai rendah dalam masyarakat dan dikaitkan dengan peran dan nilai-nilai gender," ujar Taubman.

Laki-laki keputusan mereka akan berdampak pada karier, bahwa mereka akan diabaikan dari promosi jabatan. Terkadang, kekhawatiran itu benar-benar terjadi.

"Para ayah diperlakukan seperti pahlawan ketika mereka mengambil cuti untuk anak-anak. Tapi jika mereka meminta terlalu banyak, anggapan itu akan berubah," ujar Ellen Galinsky, presiden Families and Work Institute.

Pada akhirnya, perusahaan harus memahami bahwa dengan mendukung kebijakan di tempat kerja yang ramah bagi para ayah, mereka akan mendapatkan pegawai yang lebih bahagia, betah di perusahaan itu, dan lebih produktif, ujar Brott.

"Perusahaan melakukannya bukan semata-mata karena sesuatu yang baik, tapi karena dengan begitu mereka meraih keuntungan," ujarnya.

Dia mengatakan bahwa perempuan, yang berharap suaminya membantu mengurus rumah, juga bisa menjadi bagian dari masalah. Sadar atau tidak, mereka selalu meminta pembagian tanggung jawab dengan suami –terutama mengenai pengasuhan anak.

"Mereka mengajari apa yang harus dilakukan, seperti bagaimana mendadani anak-anak, apa yang harus dimakan, atau lagu yang harus dinyanyikan untuk anak-anak menjelang tidur. Ini kelihatannya baik, tapi sebenarnya tidak. Hal-hal yang diatur sedemikian rupa, tapi pada akhirnya tak berjalan, akan membuat banyak kesalahan," ujar Brott.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar