15 April 2009

Apakah Gereja Terlanjur Berpolitik?

Oleh Rm Aloysius Ndate Pr
Pastor Pembantu Paroki Talibura

Kurun waktu sejak reformasi, kebebasan berpolitik secara hormat dan martabat cukup asyik dibicarakan. Kini pembebasan kehidupan berpolitik semakin terjangkau dan mulai menawarkan kesusksesan gemilang sehingga menjadi rebutan masyarakat luas. Pemerintah dan organisasi politik tampak kurang cermat mengkaji struktur lahiriah dalam merekrut politisi yang berkualitas. Masih segar di mata masyarakat bahwa para politisi berjuang tanpa visi dan kurang menampilkan diri sebagai sosok yang populis (merakyat). Mereka tetap rapi membungkus kejahatan moral (moral crime) yang cenderung menggelapkan realitas krisis kemanusiaan dan buta menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Gereja dalam wujud institusi dan organisasi melihat tantangan besar itu, sebagai gambaran pesimistis masa depan bangsa.

Dokumen Konsili Vatikan II tentang gereja, Lumen Gentium menandaskan bahwa gereja adalah umat Allah yang terdiri dari kaum klerus dan awam. Berbeda dengan klerus yang bertugas untuk menggembalakan umat-Nya, awam dipercayakan oleh Konsili untuk mencari Kerajaan Allah di tengah dunia. Dalam konteks kehidupan politik, awam mendapat tugas khusus dari Gereja untuk terlibat penuh dalam dunia politik. Paus Yohanes Paulus II dalam Redemtoris Hominis secara tegas mengatakan politik adalah tugas awam.

Menghadapi ancaman dan problem kualitas manusia yang semakin luntur di negeri ini, solusi moral yang ditawarkan gereja tidak jarang membuat para politisi menahan nafas panjang dan cemas. Bagi orang yang tidak memiliki pemahaman dan yang sedang berusaha naik ke posisi puncak berpolitik akan bertanya: “Mengapa Gereja berpolitik?” Dengan menggunakan “batu ujian ini”, gereja dengan bijaksana hadir dekat dengan orang yang menderita dan tetap meletakkan kinerja politikus di jalan yang baru. Pandangan ini dianut oleh umat Kristiani yang menghendaki adanya ketentraman dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Melalui pengalamannya, Gereja Indonesia terus merasa terpanggil untuk menyebarkan pencerahan bermartabat di dalam sisitem demokrasi yang rasional adil dan benar.

Gereja sebagai model pelayan iman dan moral berjalan dengan tekun menerobos krisis dalam tragedi kemanusiaan dan kesuraman berpolitik di negeri ini. Dengan argumen hakikat iman, Gereja tetap kritis menyampaikan kritik terhadap para politisi yang bermental apatis dan tak sanggup merubah kebijakan pembangunan. Pencemaran politik sering menciptakan krisis malapetaka bagi rakyat. Secara teknis, trik politik yang kita hadapi sekarang masih kental mengidentifikasikan pada kepentingan pribadi atau lingkaran kelompok yang menginginkan kekuasaan politik partai itu sendiri. Selama ini ada semacam gambaran yang keliru bahwa para politisi menjadikan semua yang berurusan dengan kesejahteraan rakyat itu “gampang”.

Memasuki dan menghadapi dunia politik praktik saat ini, yang mengombang-ambingkan masyarakat dengan kisah-kisah krusial yang berseberangan dengan ajaran Kristiani, Gereja semakin merasa gelisah dan kehilangan harapan baik terhadap pemerintah maupun organisasi politik. Banyak kisah-kisah konkret yang membuat pilihan kekristenan pada masa ini menghadapi saat yang sangat sulit. Di sinlah problemnya, mengingat Gereja selalu prakarsa dan fasih bersuara untuk merebut kebenaran harkat manusia. Itulah jalan damai menuju keadilan tetapi tetap pada akhirnya kebenaran menjadi lebih rawan dan bahkan bertaruh nyawa.

Menjelajahi pelbagai tugas pewartaan dalam mempertahankan perjuangan hak kebebasa Iman dan moran di tengah masyarakat, terkadang orang Kristen harus lebih rela mengorbankan kehormatan karya dan relatif sabar menahan bila “dicap”; Suka mencampuri urusan politik. Dari sisi tilik, jika orang kristiani tetap yakin dan terbuka seta memiliki identitas Iman dengan inspirasi Injil, mau tidak mau harus menghadapi kerawanan.

Gereja sebagai lembaga tetap berada di dalam negara, sementara ini muncul suatu kemerosotan dalam partisipasi polotis. Karena itu, apa yang dilakukan oleh gereja suka atau tidak suka berpengaruh langsung atau tidak langsung pada bangsa dan negara secara keseluruhan. Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh negara juga membawa dampak bagi Gereja. Hubungan Gereja dan politik dalam masyarakat yang sedang membangun bukanlah hubungan yang sederhana dan juga tergantung pada situasi politik masing-masing negara. Misalnya perbedaan etnis, pemborosan uang negara, munculnya sejumlah politisi yang korup dan global warming yang akan mengancam hidup manusia secara menyeluruh. Kondisi seperti ini sudah seharusnya menjadi keprihatinan Gereja untuk “dihadapi dan bukan untuk dihindari” sejalan dengan itu, Max Weber menegaskan bahwa bukti agama yang sejati tidak hanya dalam hal-hal keimanan dan kekerapan kehadiran di Gereja tetapi juga pada perilaku yang benar dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai warga bangsa yang beriman Kristen, kita adalah pelayan politik dan spiritual yang mempunyai tekat, bahwa keenakan pribadi atau golongan tertentu harus disingkirkan. Sampai di sini kita harus bertanya: “apakah gereja terlanjur berpolitik”?

Paus Yohanes Paulus II melarang kaum rohaniwan-rohaniwati melibatkan diri dalam politik, namun di Haiti beliau menegur korupsi pemerintah, di Mexico ia menyerukan perlu diadakannya land reform. Seperti halnya dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987), ia menghimbau agar “rezim-rezim korup, diktator dan otoriter digantikan dengan tatanan partisipasi demokratis (No, 44). Sri Paus sebagai pemimpin berusaha mempengaruhi opini dunia dalam berbagai masalah moral dan pemberi napas kahidupan dalam setiap “institusi”.

Di akhir tahun 2002, Gereja Vatikan meluncurkan dokumen “The Participation of Catholics Life”, dimana dikatakan suara hati yang benar seorang Kristen tidak akan membiarkan dirinya untuk memilih sebuah program politik atau hukum yang menentang isi fundamental ajaran iman dan moral. Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa situasi dewasa ini politik adalah urusan semua warga negara yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Suasana ini barangkali relatif baru, karena sebelumya pembangunan politik dan ekonomi masih menjadi urusan pemerintah atau barisan elite. Pandangan klasik ini tidak bisa diterima lagi secara absolut karena Gereja melihat bahwa ada umat yang merasa yakin akan adanya alternatif lain.

Pendekatan Gereja dan politik tampak paling jelas dalam masa era global yang masih pluralis dan ambiguitas. Ruang dialog kontemporer iman dan moral kian bergerak untuk menekan struktur-struktur yang tidak adil di tengah masyarakat.

Paul Tilich, dalam Teologi Kristiani telah memberikan peringatan kepada teolog agar tidak berpaling dari realitas kehidupan. Pada titik yang paling mendasar Gereja cepat berpaling pada realitas kisah korban penderitaan rakyat, terutama bagi yang menghadapi akibat krisis ekonomi global dan kecurangan di dalam berpolitik.

Dalam kaitan dengan kebijakan politik public, Gereja tidak mudah terjebak pada rangkaian kata indah dan “proyek proposal” yang ditawarkan oleh para politisi masa kini. Para aktivitas komunikasi kristiani seperti dalam solidaritas demokrasi Katolik Indonesia dan Forum Masyarakat Katolik Indonesia telah menganggap perubahan sebagai suatu tindakan korup dan penyimpangan. Mereka berpendapat, saat ini telah terjadi penderitaaan rakyat yang terus menerus tanpa putus, kerusakan harta benda yang muncul sudah tidak masuk akal dan nilai-nilai autentik dalam hidup berbangsa semakin suram. Di samping penderitaan umat manusia, ada juga penderitaan bumi dan makhluk lainnya.

Kerap kali kebijakan represif yang dibuat oleh kelompok intelektual Gereja adalah model “kompetisi suci”, demi menjaga hak dan peluang untuk bersaksi dalam menyingkapi kebutaan hati manusia dan kerusakan dunia. Sementara pendekatan Gereja di dalam pergolakan politik tampak belum selesai, ternyata semakin banyak muncul krisis baru. Gereja sebagai wadah, senantiasa bersedia mendengar dan ditantang oleh orang lain dengan tidak membiarkan siapapun untuk terus bersikap inklusif dalam berpolitik.

Pertanyaan apakah gereja terlanjur berpolitik? Mungkin terlalu keras kedengarannya, tetapi ini mengandung satu peringatan untuk mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Di sini talaah kritis mau menyikapi masalah yang sulit dan riskan dengan menguji berbagai kesamaan maupun perbedaan melalui jalan dialog politik.
Jadi sekali lagi, apabila Gereja menghindari tugas pendidikan politik atau pengawasan kinerja kerja politik, itu berarti menghilangkan kebenaran politik yang berhati nurani (actus humanus).

edisi, 15 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar