24 Februari 2009

Ruang Publik Demokrasi (1)



Komisi Hubungan Antara Agama dan Kepercayaan Kevikepan Ende menyelenggarakan panel diskusi pemilu damai.

Oleh FRANS OBON

KOMENTAR moderator Romo Felix Djawa Pr mencairkan suasana diskusi panel mengenai pemilu damai di aula Wisma Santo Fransiskus Detusoko, Rabu 11 Februari lalu. Empat panelis dalam pertemuan yang digelar Tim Pastoral Kevikepan Ende, Keuskupan Agung Ende dari Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan bekerja sama dengan Departemen Agama Kabupaten Ende mewakili pandangan agama masing-masing. Dosen Sekolah Tinggi Filsasat Katolik Ledalero Pastor Paulus Budi Kleden SVD (Katolik), Anom B Triyadnya dari Parisada Hindu, Pendeta Yohanes Leymani (Protestan) dan Basirun Samlawi dari Pengadilan Agama Ende (Islam).

“Orientasi Penyuluh Lintas Agama se-Kabupaten Ende tentang Pemilu Damai,” begitu tema pertemuan ini, menurut Vikaris Episkopus (Vikep) Ende Romo Ambros Nanga Pr dimaksudkan untuk membangun dan memantapkan hubungan harmonis antaragama-agama. Pemilihan umum (Pemilu) yang digelar lima tahun sekali dengan beragam kepentingan partai dan para calon harus dilihat dalam konteks pluralisme pilihan politik. Karenanya proses demokrasi menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tidak boleh menjadi sumber konflik. Atas nama apun.


Komitmen dan persamaan persepsi ini mesti mulai dibangun dari para pemimpin agama. Pemilu yang damai sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi agama-agama ikut ambil bagian di dalam tanggung jawab ini. Partisipasi ini dimaksudkan untuk menyukseskan cita-cita bersama yakni pemilu menjadi medium untuk mencapai kebaikan bersama.

Pertemuan ini, kata Vikep, lebih dilihat sebagai lilin pertama yang coba dinyalakan para pemimpin berbagai agama untuk diestafetkan pada lilil-lilin pencerahan berikutnya. Makin banyak lilin pencerahan yang dinyalakan, makin baik bagi proses kematangan berdemokrasi. Kevikepan Ende sendiri akan memasukkan bahan-bahan hasil diskusi panel ini ke dalam bahan katekese politik yang lagi disusun oleh tim pastoral Kevikepan.

Kebersamaan dalam pertemuan ini, begitu Basirun Samlawi, perlu dibina agar menjadi satu kekuatan untuk kemajuan demokrasi dan kesejahteraan bersama. Demokrasi yang merupakan sebuah mekanisme melahirkan kepemimpinan dalam masyarakat erat berkaitan dengan dinamika sosial. Dinamika sosial bertali temali dengan mekanisme politik demokrasi sehingga tidak jarang terjadi konflik. Konflik itu dibungkus oleh kepentingan politik, kepentingan suku dan agama. Ideal kiranya jika terjadi konflik kepentingan dalam proses berdemokrasi itu diselesaikan secara santun, sehingga proses demokrasi dapat dipertanggungjawabkan, dan ukuran-ukuran berdemokrasi bisa menjamin keberlanjutan proses melahirkan pemimpin dalam masyarakat.

“Jika terjadi perdebatan, sampaikanlah secara santun. Hargailah hak-hak dan pendapat orang lain. Jangan mencederai demokrasi dan hindarilah demokrasi dari kekerasan, anarkisme, dan ekstrimisme. Mesti ada kesantunan dalam berdemokrasi dan proses demokrasi dipertanggungjawabkan,” katanya.

Menurut dia, pencederaan demokrasi dengan cara atas nama rakyat dan atas nama demokrasi itu justru akan melemahkan proses demokrasi tersebut. “Pemaksaan kehendak baik bersumber dari kekuatan mayoritas maupun minoritas akan menciptakan tirani mayoritas maupun tirani minoritas”. Jika mekanisme demokrasi tidak diatur oleh sebuah regulasi maka berpotensi untuk terjadinya konflik atau anarkisme. Demokrasi memungkinkan berkembangnya rasionalitas dan mekarnya harmonisasi sosial.

Pemilu, karenanya, tidak saja mencerminkan elektabilitas kepemimpinan, melainkan mencerminkan berkembang atau tidaknya pendidikan politik itu sendiri. Basirun ingin menegaskan bahwa proses Pemilu seperti sekarang ini mestinya juga mencerminkan pendidikan politik untuk mengembangkan demokrasi. Jika Pemilu menjadi media pendidikan demokrasi, mestinya juga seluruh aktivitas politik menjelang dan sesudah pemilu mencerminkan nilai kesantunan, moralitas, dan kearifan-kearifan berpolitik.

“Etika adalah bagian tak terpisahkan dari politik dan pendidikan politik akan memberikan harapan-harapan bagi lahirnya pilihan cerdas dari rakyat pemilih,” katanya.

Dia bilang basis utama dari demokrasi adalah nilai dan moralitas. Proses demokrasi itu menilmbulkan konflik baik konflik psikologis maupun sosial jika proses berdemokrasi itu meninggalkan nilai dan moralitasnya. Konflik dalam berdemokrasi itu bisa terjadi jika politik memanipulasi agama. Karenanya perlu proses pencerahan berkomunikasi. “Entah mekanisme demokrasi itu bentuknya apapun, terpenting tujuannya baik, tidak membawa suku dan agama dan berlangsung dalam suasana santun,” katanya.

Demokrasi Indonesia saat ini berada dalam proses transisi sehingga proses-proses demokrasi sebagaimana terungkap dalam pemilu mesti pula dijaga serta tidak menimbulkan kepenatan dalam diri kita.

Pemilu damai, begitu Pendeta Yan Leymani, panelis kedua mengatakan, pemilu berpotensi konflik bila tidak dibingkai oleh tanggung jawab baik oleh penyelenggara pemilu maupun masyarakat luas. Karena partai politik dengan syarat kepentingan akan bersaing dengan partai politik lainnya. Interaksi mereka perlu diatur dalam bingkai aturan dan tanggung jawab bersama agar pelaksanaan pemilu berlangsung damai dan aman. “Seluruh elemen masyarakat bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu damai,” ujarnya.

Kalau perbedaan kepentingan partai yang begitu banyak “mengeksploitasi sentimen-sentiman primordial dan memanipulasi solidaritas komunal”, maka konflik akan timbul.

Dia menyinggung politik uang (money politics) dalam pemilu di Indonesia. “Yang menerima senang, yang memberi merasa didukung”. Masalah primoridialisme dalam memilih juga terjadi, sedangkan kemampuan calon seakan diabaikan.

Bagi orang Kristen, “Proses pemilihan seorang pemimpin itu dilatarbelakangi oleh kebutuhan umat dengan tujuan pembebasan. Bebas dari belenggu yang membatasi manusia untuk melakukan sesuatu demi perkembangan dan pertumbuhan hidupnya, demi kedamaian dan kesejahteraan”.
Menurut dia, kepemimpinan Yesus jauh dari politik uang. Karena Dia datang dan hidup bersama masyarakat. “Banyak para pemimpin kita tidak datang dan hidup bersama masyarakat, karena mereka mengandalkan kekuatan lain”. Pemilu damai adalah sebuah gerakan moral. Kita semua berusaha agar suasana damai tercipta dan dinikmati oleh semua orang.

Sedangkan Anom Triyadnya dari Parisada Hindu menyebut pertemuan ini sebagai syering bersama untuk memendorong sebuah aksi damai dalam pelaksanaan pemilu. “Semua agama bicara soal damai”. Dia bilang dalam pelaksanaan hak dan kewajiban, seperti ruas dan buku dalam bambu. Dua unsur konstitutif tersebut perlu dilaksanakan secara seimbang.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar