24 Februari 2009

Ruang Publik Demokrasi (2)

Oleh FRANS OBON

PADA bagian pertama dari presentasinya, Pater Paulus Budi Kleden bicara pandangan Gereja Katolik mengenai pemilu dan demokrasi. Menurut dia, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa demokrasi merupakan sistem yang layak dipuji. “Gereja mendorong perjuangan ke arah demokrasi, namun serentak mengingatkan bahwa penerapan sistem ini mesti disesuaikan dengan kondisi berbeda masing-masing wilayah,” katanya.

Gereja Katolik, katanya, menyadari sepenuhnya arti penting politik bagi dirinya, bagi perwujudan ideal sebuah masyarakat yang sejahtera dan manusia yang bebas. Gereja melihat keterlibatan dalam politik sebagai “panggilan” yang “berat namun mulia”. Orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas politik adalah “orang-orang yang memiliki integritas moral dan kebijaksanaan, dan karenanya orang-orang ini berani menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap orang dan kelompok lain”.


Bagi orang Katolik, aktivitas politik harus bersumber pada iman sebagai sumber visi, motivator kegiatan politik dan instansi moral. “Politisi Katolik harus merasa yakin bahwa berpolitik adalah sebuah panggilan”.

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere ini menegaskan bahwa Gereja Katolik menghargai pluralisme politik. Namun serentak Gereja tidak mengidentikan dirinya dengan salah satu partai politik dan mengarahkan umatnya dengan satu partai politik.

“Gereja sama sekali tidak bertendensi untuk mengidentikan diri dengan satu partai politik atau mengarahkan umatnya untuk hanya terlibat dalam satu partai politik, atau pemilu hanya memilih satu partai politik,” tegasnya.

Berbagai dokumen Gereja Katolik yang berbicara mengenai politik, terutama dokumen Ajaran Sosial Gereja menegaskan bahwa demokrasi memungkinkan partisipasi warga negara dalam kebijakan publik pemerintahan, peluang bagi rakyat memilih pemimpinnya, dan meminta pertanggungjawaban dari mereka. Karenanya menurut Budi Kleden, pemilu menjadi media kontrol dari rakyat untuk para pemimpin mereka. Sehingga pemilu tidak saja memberikan legitimasi bagi para pemimpin, melainkan juga sebuah mekanisme kontrol.

Dalam dokumen Centisimus Annus dari Paus Johanes Paulus II, artikel 46, disebutkan: “Gereja menghargai sistem demokrasi karena membuka wewenang yang lebih luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagipula memberi peluang bagi rakyat bawahan untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari mereka dan – bila itu memang sudah selayaknya – menggantikan mereka melalui cara-cara damai”.

Dengan demikian Pemilu bagi Gereja Katolik, katanya, merupakan mekanisme yang memungkinkan rakyat memilih pemimpin, meminta pertanggungjawaban dan menurunkan mereka. Karenanya juga setiap peristiwa politik harus pula diarahkan pada kontribusi bagi perdamaian. Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) juga telah berulang kali menegaskan pentingnya demokrasi dan menumbuhkan sikap demokratis sebagai wujud pertanggungjawaban iman. Nota Pastoral KWI tahun 2003 berjudul “Keadilan bagi Semua Orang” menegaskan pentingnya memperhatikan etika politik demi kesejahteraan bersama.

Ada beberapa prinsip etika politik. Pertama, hormat terhadap martabat manusia. Martabat manusia tidak boleh diperalat untuk tujuan apapun, termasuk untuk tujuan politik. Kedua, kebebasan. Yakni “Bebas dari segala bentuk ketidakadilan dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh”.

Ketiga, keadilan, kesejahteraan, dan kepastian hukum; keempat, solidaritas. “Di mana orang mengalami perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti berdiri pada pihak korban ketidakadilan termasuk ketidakadilan struktural”. Kelima, subsidiaritas, yakni “menghargai kemampuan setiap manusia baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu. Keenam, fairness. Politik yang demokratis adalah politik yang fair, di mana “dihormatinya pribadi dan nama baik lawan politik, dihargainya perbedaan wilayah privat dari wilayah publik,; disadari dan dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat”.

Ketujuh, demokrasi sebagai “sistem yang tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan, melainkan juga hidup ekonomi, sosial, dan kultural”. Kedelapan, tanggung jawab. “Kita tidak bisa melemparkan tanggung jawab terhadap kehidupan kita kepada pemerintah atau lembaga mananpun”.

Setelah bicara pandangan Gereja soal politik dan demokrasi, Pater Budi bicara soal pemilu damai. Bagi dia, pemilu damai tidak saja diukur pada saat penyelenggaraannya, melainkan kontribusi pemerintahan hasil pemilu itu bagi perdamaian. “Kualitas penyelenggaraan kekuasaan diukur berdasarkan kontribusinya bagi kesejahteraan. Basis dari kesejahteraan bersama itu adalah keluhuran martabat manusia”. Salah satu unsur dari kesejahteraan itu adalah kedamaian. Karenanya setiap momentum politik turut diukur berdasarkan suasana damai yang diciptakannya.

Ada empat komponen pemilu damai.
Pertama, regulasi. Regulasi dalam pemilu harus memberikan kepastian, tidak menimbulkan kebingungan dan multitafsir. Regulasi juga harus adil yakni memberikan jaminan kepada semua warga negara untuk menggunakan hak hak pilihnya baik hak pilih aktif maupun pasif. Transparansi adalah unsur penting lainnya baik dalam proses maupun dalam menentukan hasil pemilu.

Kedua, penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu harus taat asas, adil, jujur, dan melakukan sosialisasi aturan dan mekanisme pemilu. “Seringkali keonaran dalam pemilu terjadi karena kurang atau tidak adanya pengetahuan mengenai mekanisme dan aturan dalam keseluruhan proses pemilu”.

Ketiga, peserta pemilu. Setiap calon tidak menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan kemenangan. “Pemilu yang damai turut dijamin oleh peserta pemilu yang memiliki harga diri dan bermartabat. Peserta seperti ini berlapang dada untuk menerima kekalahan dan merayakan kemenangan sebagai penerimaan tanggung jawab”.

Keempat, warga (masyarakat). Warga memberikan kontribusi bagi pemilu damai bila dia menggunakan haknya sesuai dengan pertimbangan suara hati sendiri. Sikap kedua adalah menghargai keputusan pribadi sesama warga. “Kedamaian dalam politik dijamin apabila masing-masing warga menghargai apa yang menjadi pilihan politis sesamanya. Karena demokrasi dilandaskan pada kesediaan berbeda pendapat. Karena itu setiap bentuk paksaan kepada penyeragaman sebenarnya mengkhianati demokrasi dan merendahkan martabat orang lain”. Pemilu damai juga tercipta jika warga tidak membiarkan dirinya diprovokasi oleh kekuatan lain.
Pada bagian ketiga presentasinya, Pater Paul menegaskan, empat komponen pemilu damai ini dapat dipakai untuk menilai Pemilu 2009. Menurut dia, Pemilu 2009 ditandai ketidakstabilan regulasi. Soal parlementary threshold, partai-partai kecil masih menggugat ke Mahmakah Konstitusi. Selain itu masih ada problem cara mencontreng dan penetapan kursi untuk perempuan.

Dia menyoroti khusus soal jadwal pemilu yang bertepatan dengan hari keagamaan sekelompok warga yang dinilainya bisa membatasi penggunaan hak pilih warga. “Warga bisa saja dihadapkan pada pilihan melaksanakan tugas keagamaan atau mengikuti pemilu”.

Soal penyelenggara, sampai sekarang rasanya masih kurang sosialisasi terutama soal pencontrengan dan keabsahan surat suara. Peserta pemilu masih menggunakan kampanye negatif untuk merebut suara terbanyak setelah adanya ketetapan penetapan kursi berdasarkan suara terbanyak.

Mengenai sikap warga, dia menilai sudah ada proses pendewasaan dalam berdemokrasi. Namun yang masih diwaspadai adalah “sikap acuh tak acuh”. Hal ini disebabkan karena “kekecewaan terhadap para politisi dan perubahan kondisi kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan, sehingga pemilu bisa jadi cukup sepi”.

Menurut dia, saat sekarang penting mendorong warga untuk menjadi pemilih cerdas, yang mendasarkan pilihannya pada pertimbangan kepentingan seluruh masyarakat. “Bagi orang Katolik, tidak menggunakan hak pilih pun merupakan satu keputusan yang harus dihormati, apabila hal itu sungguh beralasan. Karena itu kendati ada prediksi yang meyakinkan bahwa angka golput akan meningkat dalam Pemilu 2009, Gereja Katolik hendaknya tidak perlu mengeluarkan larangan untuk pilihan sikap ini”.

Menyitir pernyataan Paus Johanes Paulus II pada Hari Perdamaian Sedunia 1991, “Jika Anda inginkan perdamaian, hormatilah suara hati setiap pribadi” dia mengatakan, “Jika Anda menginginkan pemilu damai, hormatilah suara hati setiap warga.”*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar