24 Februari 2009

Ruang Publik Demokrasi (3/habis)

Oleh FRANS OBON

TANYA jawab hanya dua sesi. Masalah yang dominan dibahas secara lebih luas soal menggunakan hak pilih, kapabilitas, moralitas dalam politik, dan dampingan terhadap para politisi. Abdurahman, seorang peserta menanyakan kepada panelis soal penggunaan hak pilih. Menyikapi adanya sikap masyarakat yang tidak mau menggunakan hak pilihnya, Abdurahman menegaskan perlunya menggunakan hak pilih dalam pemilu. Menurut dia, di tengah keraguan mengenai kemampuan para calon dan moralitas politik mereka yang mencemaskan, orang bisa memilih orang yang kebaikannya lebih banyak daripada yang kebaikannya sedikit. Konsep ini di dalam etika lebih dikenal dengan konsep minus malum, yakni memilih orang “yang keburukannya lebih kecil”. Kalau semua orang buruk, maka pilihlah orang yang keburukannya paling sedikit (kecil).

Partipasi dalam pemilu dengan menggunakan hak pilih, kata Basirun Samlawi, seorang panelis akan memberikan justifikasi pada pemimpin yang dipilih melalui Pemilu. Karena itu logikannya sedikitnya warga yang berpartisipasi atau memberikan suara dalam Pemilu akan mempengaruhi legitimasi atas kepempinan yang terpilih. Bagi dia apatisme (kemasabodohan) ini akan dapat merugikan proses demokratisasi, terutama dalam proses transisi demokrasi yang lagi terjadi di Indonesia.


“Dalam konteks Islam memilih jadi wajib jika pemilu itu memang diperlukan dan sebagai sesuatu yang wajib atau menggunakan hak pilih itu jika memang ada keharusan untuk menyempurnakan yang wajib itu,” katanya. Meski dia mengakui bahwa ada varian di dalam sikap boleh tidak menggunakan hak pilih ini. Karena itu dia menegaskan perlunya kecerdasan dan proses penyadaran bagi para pemilih.

Anom Triyandnya dari Parisada Hindu menegaskan pentingnya warga menggunakan hak pilihnya. Meski demikian dia juga mengatakan bahwa manusia juga punya hati nurani. Namun hak dan kewajiban di dalam konteks pemilu seperti ruas dan buku pada bambu.

Sedangkan Pendeta Yan Leymani dari GMIT Ende mengatakan, tidak menggunakan hak pilih itu adalah juga bagian dari pemilu damai. Menurut dia, jika ada kewajiban memilih, maka di sana ada paksaan untuk menggunakan hak pilih. Hal ini tentu akan menimbulkan konflik dalam batin. “Tidak boleh ada paksaan dan biarkan orang bergerak menurut hati nurani dan pilihan politiknya”.

Menurut dia, kecenderungan untuk tidak menggunakan hak pilih adalah ekspresi dari apatisme politik di kalangan warga. “Harapan kita adalah tidak ada warga yang memilih golput (golongan putih) namun jika ada yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah juga merupakan hak yang patut dihormati”.

Sedangkan Pater Budi Kleden menegaskan, menggunakan hak dalam pemilu adalah hak warga negara yang harus dihormati. Dalam demokrasi menghargai hak orang lain itu sesuatu yang penting. “Kalau saya merasa ada hal yang membuat saya tidak bisa menggunakan hak pilih saya, maka saya tidak bisa menggunakan hak saya”.

Dengan ini, katanya, dia tidak sedang menganjurkan orang untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Namun, dia ingin menegaskan bahwa menghormati hak orang lain itu sesuatu yang penting bagi demokrasi. Namun dia menegaskan lagi bahwa kalau seseorang tidak menggunakan hak pilihnya, pilihan itu tidak didasarkan pada apatisme politik, karena malas, melainkan didasarkan pada pertimbangan tertentu yang mendasar. “Jika didasarkan pada pertimbangan yang bertanggung jawab, maka ini kita harus hormati”. Konferensi Wali Gereja Indonesia pada Pemilu 1997 mengatakan bahwa tidak menggunakan hak pilih bukanlah dosa.
Prinsip dasar dari pemilu damai dan prinsip dasar demokrasi adalah menghargai hati nurani. Meski kita tahu bahwa pemilu adalah medium terbaik untuk memilih pemimpin. “Orang tidak bisa dipaksa untuk menggunakan haknya. Kalau ada paksaan berarti melanggar martabat orang”.

Menurut dia, tugas pemimpin adalah melindungi hak warga negara, sehingga negara tidak boleh memaksa warga negaranya untuk menggunakan hak pilihnya. “Ini kita ingatkan agar jangan ada polisi dari rumah ke rumah untuk mengecek orang pilih atau tidak. Sebab kalau negara memaksakan hal itu, maka akan ada petugas yang mengecek penggunaan hak pilih warga negara. Karena dalam negara demokrasi hanya negaralah yang satu-satunya diizinkan menggunakan kekerasan,” katanya.

Namun, “Saya ingatkan bahwa tidak dibenarkan orang tidak menggunakan hak pilihnya karena sikap malas tapi berdasarkan pertimbangan yang bertanggung jawab”.
Romo Stef Wolo Itu Pr, Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Katolik Keuskupan Agung Ende dalam sesi kedua minta panelis untuk tidak saja melihat masalah ini dari perspektif agama masing-masing, melainkan ada sikap inklusif, namun permintaan itu tidak dijawab secara eksplisit. Namun secara implisit ada satu keinginan untuk menghargai hak pemilih dan hati nurani orang dalam pemilu mendatang.

Mengenai kapabilitas calon saat ini dan pembinaan etika sebagaimana diangkat Philipus Hami, Pater Budi mengatakan, bagi Gereja sendiri politik adalah medan karya yang ditahbiskan sehingga keterlibatan para politisi Katolik di dalam politik adalah suatu panggilan. Di tingkat Konferensi Wali Gereja Indonesia, ada usaha untuk mengumpulkan calon legislatif dari Katolik agar mereka memperhatikan etika dalam berpolitik. Namun usaha ini bukan soal mudah karena seleksi calon dilakukan oleh partai politik. Karena itu dianjurkan agar induk partai yang melakukannya. Calon yang disodorkan kepada masyarakat luas mencerminkan atau menunjukkan kualitas partai politik yang mencalonkannya. Sehingga kita perlu kerja sama dengan ketua-ketua partai. Menurut dia, ada dua kemungkinan bisa terjadi dengan calon kita yakni terjadi perubahan watak saat menjadi calon dan saat setelah jadi calon.

Sedangkan Pendeta Yan berkelakar, “Kalau caleg tidak paham politik, repot. Kalau terlalu paham repot. Dia harus menempatkannya dalam moral politik yang sehat”. Namun dia lihat amat mengkhawatirkan kapabilitas calon, sejauh dia tahu.
Basirun mengatakan, untuk melihat kapabilitas calon, “Saya kira bisa diukur”.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar