21 April 2009

Artis Indonesia Adopsi Bakat Lokal

Oleh Matt Crook
Sindikasi Pantau

YAHIYA Lambert tak akan meninggalkan Timor Timur hingga keinginannya mendirikan akademi seni yang pertama di negeri ini terwujud. Dia sudah tinggal di sana selama 28 tahun, sehingga sedikit waktu lagi tak jadi masalah bagi orang Indonesia berusia 37 tahun yang berasal dari Kepulauan Maluku ini.

"Hidup saya pertama-tama untuk seni dan akademi impian saya. Begitu berhasil mendirikan akademi, saya akan kembali ke Indonesia," ujarnya.

Di lantai dua bangunan terlantar di Dili ada studio seni milik Lambert, yang sekaligus menjadi rumahnya. Lantainya tak rata dan sudah lama tak memiliki atap. Tapi inilah markas Sanggar Masin, sebuah kelompok seni yang jadi rencana besar Lambert.

Lambert mendirikan sekolah seni yang fokus pada puisi di distrik Manatutu pada 1996, bernama Sanggar Matan, kini beroperasi sebagai studio di Dili. Dia juga memiliki Sanggar Cultura yang menangani batik di Becora, Dili, dan Sanggar Cusin yang fokus pada lukisan cat minyak di distrik Oecussi. Sanggar Masin menjadi pusat dari semua sanggar.

"Di seluruh Timor Timur saya memiliki 346 murid. Saya punya empat sanggar yang aktif. Saya mendirikan sanggar karena dengan seni Anda bisa menggerakkan jiwa Anda," ujarnya.

Baltazar Alemeida Baptista, berusia 22 tahun, adalah satu dari delapan murid yang tinggal di studio Sanggar Masin. Dia masuk sekolah seni itu pada 2008 setelah ditemukan di Same. "Salah seorang guru di sanggar itu mengatakan bahwa saya punya bakat dan saya bisa masuk ke sini di Dili untuk mengoptimalkannya. Menurut saya, Timor (Timur) perlu banyak artis karena saat ini hanya sedikit. Saya punya kesempatan untuk melukis di sini."

Lambert mengerjakan proyek-proyek dari LSM dengan murid-muridnya, mengajar fotografi dan desain grafis, serta membantu anak-anak didiknya menjual karya-karya mereka. Tapi dia sering tak punya cukup uang karena sebagian besar keuntungan sanggar dikirimkan ke Indonesia, tempat Lambert mengirim selusin pelajar Timor-Timur ke universitas.

"Kini kami punya 12 mahasiswa di Yogyakarta. Saya mengirim pemuda Timor dari kelompok saya di Manatutu dan beberapa lainnya dari sanggar lain ke universitas untuk mengambil jurusan seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Juni mendatang saya ingin mengirim tujuh orang lagi,” katanya.

“Orang Timor Timur bisa berbahasa Indonesia dan di Indonesia biaya sekolah lebih murah. Saya sebenarnya lebih suka mengirim mereka ke Australia atau tempat lain tapi saya tak punya uang. Kami tak mendapat dukungan pemerintah. Dukungan datang dari murid-murid di sini yang bekerja bersama kami.”

Dalam enam bulan, Lambert menghasilkan 4.000 dolar dari kerja kerasnya. Dalam enam bulan itu pula dia harus mengeluarkan 500 dolar untuk biaya kuliah per orang dari 12 mahasiswa dan mengirimkan uang makan dan keperluan lainnya.

“Saya tak punya cukup uang. Saya berbicara dengan rektor universitas dan untuk satu semester itu saya tak harus membayar seluruhnya. Saya membayar, katakanlah, 50 persen dan bulan berikutnya, bila saya punya uang, saya akan bayar. Saya punya kesepakatan dengan rektor. Saya katakan padanya, ‘saya orang Indonesia, dan Anda harus membantu saya. Saya sedang membangun dunia seni di Timor.’ Saya punya utang di Indonesia sekitar 8.700 dolar.”

Impian Lambert adalah sebuah akademi seni yang independen di Timor Timur. Dengan tenggat 2014, dia hanya mengirim murid paling berbakat dan loyal untuk belajar di Indonesia.

Mereka belajar selama lima tahun hingga meraih gelar. Mereka sepakat kembali dengan membawa ketrampilan dan pengetahuan baru untuk membantu Lambert mewujudkan akademi.
Dia pernah ditampik pemerintah dan mencari tempat lain yang mau mendukungnya.
“Saya pernah datang dan berbicara dengan pemerintah pada 1998. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka tak hendak memberi dukungan uang untuk murid-murid saya. Pemerintah mengatakan tidak, karena prioritas mereka bukanlah seni. Saya tak patah arang. Anda berbicara seperti ini kepada saya tapi hati saya seperti batu, seperti besi. Saya ingin mewujudkan impian saya di Timor [Timur],” ujarnya.

“Kini saya pikir, jika kami mendirikan akademi seni dengan pemerintah, itu akan menyulitkan orang dari negara lain yang ingin datang dan bekerja sama karena akan ada banyak proses (birokrasi). Menurut saya, seni harus bebas dan independen. Dengan demikian negara lain bisa datang dan bekerja sama dengan kami.”

Meski akademinya penuh hambatan, Lambert mempersiapkan sebuah acara di Dili untuk memamerkan karya seni dari 12 muridnya yang belajar di Indonesia.

Pameran itu akan digelar Mei mendatang. Lokasinya masih belum diputuskan. Lambert sendiri harus menunggu apa saja karya yang muridnya usulkan dan kirimkan ke Timor Timur.

Lambert juga berencana membangun situsweb. Sehingga dia bisa berhubungan dengan orang-orang yang tertarik untuk membantu dunia kesenian di Timor Timur.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar