21 April 2009

Pembelajaran dari Pileg 2009

Oleh Theofilus Woghe
Mantan Kadis PPO Nagekeo

Pemilu kali ini adalah momentum dalam mempertegas arah konsolidasi demokrasi dan penguatan pelembagaan politik. Harapan kita, Pemilu 2009 tidak berhenti pada sekadar ritual sirkulasi elite dan power sharing kekuasaan, tetapi lebih dari itu dapat memberi pesan penting bahwa demokrasi bekerja untuk perbaikan kesejahteraan bangsa.

Pasca-pemungutan suara pemilu legislatif, kinerja KPU disorot. Mereka menilai pemilu legislatif cacat teknis karena telah menyebabkan hilangnya jutaan hak pilih warga negara. Kesemrawutan DPT tak urung menimbulkan berbagai dugaan mengenai siapa yang berada di balik itu semua. Disengaja atau tidak? Sistematik atau acak?

Berbagai cacat yang terungkap membuat perasaan kita campur aduk. Pada satu sisi, kita mengapresiasi pemilih yang telah melaksanakan hak pilihnya dengan damai. Namun, pada sisi lain, kita bertanya-tanya mengapa banyak warga negara tak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). Bagaimana semua itu bisa dipertanggungjawabkan KPU?

Empat Salah Kaprah

Menurut Eep Saefulloh Fatah dalam Analisis Politik ( Kompas, 14 April 2009) ada empat salah kaprah. Pertama, kisruh DPT lebih banyak dipahami sebagai bencana administrasi. Ini jelas salah besar! Kisruh ini bukanlah bencana administrasi, melainkan pelecehan atas hak politik rakyat! Mereka yang memahaminya sebagai sekadar perkara administratif tak paham bahwa bagian terpenting dalam setiap pemilu demokratis adalah terpenuhinya hak-hak politik para pemilih. Kedua, kisruh DPT dipahami sebagai muasal persoalan. Sejatinya, kisruh ini adalah konsekuensi logis dari kekacauan administrasi kependudukan kita. Itu bukanlah sebab, melainkan akibat. Ketiga, kisruh DPT dipahami sebagai buah kekeliruan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja KPU punya andil memfasilitasi tak terkelolanya kisruh itu. Namun, KPU bukan biang keladi sendirian. Menteri Dalam Negeri (yang membawahkan otoritas pendataan dan administrasi kependudukan) dan Presiden (sebagai penanggung jawab tertinggi pengelolaan administrasi pemerintahan), gubernur, bupati/ wali kota adalah pihak-pihak yang selayaknya ikut bertanggung jawab. Keempat, banyak partai politik berasumsi bahwa kisruh DPT menyebabkan mereka kalah. Padahal, sungguh sulit mengaitkan serta-merta kisruh itu dengan perolehan suara setiap partai. Tak ada satu teori pun yang bisa membuktikan bahwa kisruh ini menguntungkan secara konsisten partai tertentu dan merugikan partai yang lain. Kisruh ini pun akhirnya hanya sekadar topeng pemanis untuk menyembunyikan ketidaksiapan sebagian partai untuk kalah.

Tiga perkembangan menarik pasca pemilu legislatif.

Pertama, pemilu 2009 dibiayai uang yang sangat mahal (Bdk Kleden, Kompas, 10 April 2009). Bukan rahasia lagi bahwa persiapan pemilihan umum kali ini menelan biaya yang amat besar, baik dari pihak KPU sebagai penyelenggara dan penanggung jawab maupun dari para kontestan pada berbagai tingkat pemilihan umum. Khusus, untuk pemilu legislatif uang rakyat dianggarkan lebih dari Rp4,5 triliun, di luar biaya untuk menyusun DPT yang memakan anggaran negara yang tidak kalah besarnya. Maka, patut diantisipasi bahwa biaya uang sebelum pemilihan umum bakal disusul dengan biaya manusia yang sama tingginya setelah pemilihan umum, yaitu biaya yang diakibatkan oleh kekecewaan dan frustrasi para kontestan yang kalah bersaing dalam pemilihan legislatif. Untuk mendapat gambaran dalam angka, 560 kursi yang ada di DPR RI diperebutkan oleh 11.225 kontestan. Jadi, yang akan kalah dalam pemilihan adalah sebanyak 10.665 orang. Seterusnya, 1.998 kursi yang merupakan jumlah total kursi di semua provinsi diperebutkan oleh tidak kurang dari 112.000 kontestan. Ini artinya ada 110.002 orang yang akan mengalami kekecewaan. Paling fantastis adalah pemilihan legislatif untuk tingkat kabupaten/ kota, di mana yang menjadi kontestan adalah 1.500.000 orang yang memperebutkan total kursi sebanyak 16.720. Mereka yang tidak beruntung dan mengalami kekecewaan besar adalah sebanyak 1.483.280 orang.

Kedua, akibat DPT mengakibatkan banyak orang yang tidak ikut memilih baik karena Golput karena kesadaran sendiri mau pun golput karena kesalahan sistem. Sebagai gambaran disajikan data golput (M Fadjroel Rachman Kompas, 14-4-2009) bahwa sejak 1955 hingga 2009, jumlah golput terus meningkat meski alasan untuk golput berbeda. Bila golput dihitung dari pemilih yang tidak datang dan suara tidak sah, tercatat 12,34 persen (1955), 6,67 persen (1971), 8,40 persen (1977), 9,61 persen (1982), 8,39 persen (1987), 9,05 persen (1992), 10,07 persen (1997), 10,40 persen (1999), 23,34 persen (Pemilu Legislatif 2004), 23,47 persen (Pilpres 2004 putaran I), 24,95 persen (Pilpres 2004 putaran II). Pada pilpres putaran II, angka 24,95 persen setara dengan 37.985.424 pemilih. Sedangkan pada Pemilu Legislatif 2009, bila jumlah golput sekitar 30 persen atau dikalikan dengan DPT sesuai dengan Perppu No 1/2009 sebesar 171.265.442 jiwa, maka jumlah golput pada 2009 setara dengan 51.379.633 pemilih. Artinya, golput mengalahkan Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P, yang berdasarkan hitung cepat Lembaga Survei Indonesia diramalkan meraih suara nasional masing-masing 20,29 persen, 14,77 persen, dan 14,28 persen. Jadi, golput secara de facto memenangi Pemilu Legislatif 2009.

Ketiga, sejak Wiranto ke Megawati setelah sehari hasil quick count diumumkan --Sudah mulai perang koalisi antar kubu---apapun alasannya akhirnya mengerucut antara dua kubu yakni SBY- Megawati. Semula diharapkan ada 3 kubu yakni dengan JK namun Golkar sampai dengan saat ini urungkan niatnya. Yang paling aktif saat ini kubu Mega, Wiranto, Prabowo, Rizal Ramli, Gus Dur, Sri Sultan meski tidak ikut menandatangani. Persaingan ketat yang disebabkan bukan saja oleh tipisnya mayoritas antar kedua aliansi pilpres, tetapi juga oleh sosok kepribadian anggota aliansi. Persaingan menarik karena melibatkan sesama pensiunan jenderal.

Pembelajaran apa yang diambil? Pertama, ”Devil is in the details”---Setan pada detailnya. Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk.

Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju. Kita lemah dalam detail operasionalnya. Banyak rencana strategis yang disampaikan namun setan muncul pada operasional detailnya yang tidak terfokus dan tidak tterukur. Ke depan, administrasi kependudukan menjadi agenda prioritas bagi gubernur, bupati/ wali kota sebagai sumber utama data pembangunan daerah.

Kedua, Ujian para negarawan. (Bdk Gumilar Rusliwa Somantri Kompas, Senin, 13 April 2009 ) Pemilu 2009 juga akan menjadi ujian kualitas elite politik Indonesia.

Momentum ini menegaskan tentang siapa yang memiliki kualitas kepemimpinan sebatas politisi dan siapa berkualitas negarawan. Sejarah akan mencatat sikap menerima kemenangan dan kekalahan, memberi selamat dan dukungan moral kepada ”pemenang”, dan mengajak serta yang ”kalah” untuk berkontribusi. Itulah bentuk sikap dan tindakan yang dirindukan bangsa ini. Untuk itu, sikap elite politik mengajak masyarakat untuk mengikuti dan menerima hasil pemilu secara damai. Konsensus elite ini amat penting guna mendorong pendulum kematangan demokrasi.
Penulis, tinggal di Malalaja, Kelewae Nagekeo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar