26 Oktober 2007

OPINI:Tuhan Berkarya dalam Sejarah

(Refleksi 75 Tahun Paroki Mangulewa)
Oleh Juan Orong

PADA tanggal 21 Oktober 2007 Paroki Mangulewa, Bajawa genap 75 tahun usianya. Untuk maksud itu gedung gereja paroki sekarang sedang direhabilitasi seperlunya. “Tuhan Berkarya dalam Sejarah” digodok sebagai tema perayaan intan.
Sehubungan dengan tema itu, tentu tidak gampang menjelaskan hal ikhwal Tuhan berkarya dalam sejarah. Setidaknya mesti dimengerti secara korelatif sejarah dalam konteks kehidupan umat Kristiani dalam lingkup Paroki Mangulewa dan Gereja dalam artian universal.
Pengertian modern tentang Gereja universal memang tak pernah terlepas dari pembincaraan mengenai gereja lokal yang secara fragmentaris juga termaktub di dalamnya unit gereja yang paling kecil semacam paroki. Dalam konteks pemahaman ini perbincangan tentang bagaimana Tuhan berkarya dalam sejarah paroki (seperti Mangulewa) mengandung implementasi lebih luas. Yakni bagaimana pembicaraan itu mempunyai sangkut pautnya dengan gereja universal. Korelasi itu dirumuskan dengan mengacu pada hermeneutika sejarah yang secara konseptual diterima oleh segenap umat Kristiani secara universal.
Bagi penafsiran sejarah yang kristiani, arti sejarah tak pernah terlepas dari pemahaman mengenai upaya mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Sehubungan dengan itu ada tiga teka-teki besar mengenai sejarah. Sejarah mengalir menuju suatu tujuan yang tidak pernah terjadi dalam sejarah. Sejarah berjalan menuju suatu arah dan arah ini tidak dapat dikembalikan. Kewaktuan sejarah bergerak maju menuju sesuatu yang baru. Harus diingat bahwa apabila ditanyakan “Ke arah apakah sejarah itu bergerak?” - sedapat mungkin jawab kristiani mesti teRarah bagi terealisasinya Kerajaan Allah melalui dan mengatasi sejarah.
Memang tak mudah dihubungkan secara konseptual sejarah sebagai sesuatu yang manusiawi dan duniawi dengan realisasi Kerajaan Allah. Lebih sukar pula berdiskusi mengenai penggenapan Kerajaan Allah dalam sejarah secara menyeluruh dan konsekuen. Karena bagaimana pun dalam sejarah suatu pertarungan selalu berlangsung antara kekuatan-kekuatan yang berusaha mendorong ke arah penggenapan Kerajaan Allah dan konflik antara upaya ke arah itu dengan kekuatan-kekuatan jahat. Sejarah selalu terdapat suatu perpaduan antara yang baik dan yang jahat. Setiap kurun waktu dan dalam setiap aktualisasi sejarah di mana pun kedua kekuatan itu senantiasa hadir menunjukkan perlawanan.
Ketika hakikat sejarah dipahami seperti di atas maka Kerajaan Allah mesti ditempatkan sebagai pemurnian atas sejarah, di dalamnya kekuatan-kekuatan jahat ditaklukkan. Pemurnian tanpa memiliki arah ke mana sejarah bergerak akan membuatnya kehilangan orientasi. Karena itu cita-cita bagi terwujudnya Kerajaan Allah di dunia (dalam sejarah) mesti ditegaskan. Dengan demikian Kerajaan Allah itu dapat dilihat sebagai penggenapan sejarah. Penggenapan itu kendati terjadi di dalam dan melalui sejarah, tetapi pada hakikatnya ia bergerak melangkai sejarah.
Hermeneutika sejarah kristiani seperti di atas menuntut suatu pergumulan praktis yang tidak mudah. Pertarungan antara yang baik dan yang jahat dalam sejarah dimurnikan oleh konsep tentang penegakan Kerajaan Allah dalam sejarah. Tapi muncul persoalan mendasar lebih lanjut. Bagaimana penegakan, pemurnian, dan penggenapan Kerajaan Allah itu dapat terealisir?
Jawaban atas pertanyaan ini dicapai dengan mengandaikan adanya tanda atau wadah melaluinya cita-cita itu dapat terwujud. Di sinilah fungsi gereja diposisikan. Setidaknya haruslah disadari bahwa gereja memang memiliki tugas mewujudkan suatu sejarah baru, suatu tatanan dunia baru yang mewakili Kerajaan Allah. Gereja itu sendiri bukanlah Kerajaan Allah, tetapi ia adalah saluran, antisipasi dan realisasi fragmentaris dari cita-cita penggenapan sejarah. Gereja bertarung dalam sejarah, dan oleh karena itu, ia mewakili Kerajaan Allah. Dalam posisinya yang seperti itu ia tak dapat terhindar dari adanya distorsi sejarah. Tapi diharapkan ia tak boleh ditaklukan.
Barangkali pada posisi inilah kontekstualisasi parokial dari sejarah gereja Katolik semacam Mangulewa ditempatkan. Pada usianya yang ke-75 ini, mata, pikiran dan hati segenap umat tertuju bukan saja pada perayaan seremonial intan yang bakal digelar pada hari puncak. Tapi terutama pada pergumulan mengenai aktualisasi Kerajaan Allah melalui gereja yang berarti melalui fungsi keberadaannya sebagai sebuah paroki.
Esensi sejarah di dalamnya dan melaluinya Tuhan berkarya memang didefinisikan sebagai sesuatu yang tak pernah terhindar dari adanya percaturan antara yang baik dan yang jahat. Fungsi parokial gereja Katolik dirumuskan sebagai fragmentarisasi dari gereja universal yang mempunyai tugas utama merealisasikan Kerajaan Allah dalam sejarah. Fungsi itu haruslah secara riil mengandung upaya mengerjakan transformasi atas sejarah (dunia), dalam hal ini di lingkungan mulai dari unit terkecil seperti keluarga dan KUB (Komunitas Umat Basis) sampai pada dunia yang lebih luas.
Pada usia parokinya yang ke-75 bagi segenap umat di Mangulewa patutlah diajukan pertanyaan ini. Sudahkah gereja Mangulewa (baca: umat) menjalankan fungsi itu? Sesungguhnya bukan untuk menginfentarisasi jawaban pasti. Namun seyogyanya hal itu haruslah dipikirkan sebagai bagian inti dari Perayaan Intan.
Apabila kita kembali menengok ke sejarah masa lalu, barangkali tak ada catatan sejarah yang secara tekstual dapat menjelaskan bagaimana periodisasi sejarah paroki (Mangulewa). Uraian-uraian lisan sedikit banyak menyinggung soal karakteristik sejarah paroki seturut karakteristik para pastor yang pernah berkarya sebagai pastor paroki. Seorang misionaris Austria yang paling banter diceriterakan secara turun-temurun dan karena itu hampir identik dengan masa lalu Paroki Mangulewa adalah Pater Yakob Kobberl, SVD (Nenek Yakob, panggilan manisnya oleh umat Mangulewa). Kenangan akan sosok Nenek Yakob, sang misionaris menyedot perhatian kolektif umat Mangulewa untuk menelusuri jejak keberadaannya sebagai pastor paroki pertama. Tentang tugas dan fungsinya membaptis orang-orang Mangulewa dari kekafiran menjadi Katolik. Tentang perjuangan melawan posisi yang kokoh dari agama-agama tradisional. Tentang perselisihan menyangkut aturan perkawinan adat dan konfrontasinya dengan perkawinan Katolik. Tentang kunjungan-kunjungannya ke kampung-kampung tradisional Mangulewa. Tentang kebangkitan religius, yang masih tetap ambigu, bahkan hingga ke “keabadian waktu”. Antara menerima Yesus sebagi Tuhan dan pertarungan melawan takhyul-takhyul khayalan manusia.
Ingatan kolektif akan peran Nenek Yakob pada perayaan intan sekarang ini mempunyai implementasi historik yang mendorong kita untuk terus berjuang melanjutkan karya Allah dalam sejarah paroki Mangulewa ke depan. Apabila putaran sejarah selalu bergerak dari masa lalu ke masa kini dan melangkah ke hari esok, maka apa yang dilakukan para misionaris tua dahulu sesuai dengan konteks dunia tradisionalnya menjadi acuan relektif bagi kita di masa sekarang untuk meneruskan pemurnian sejarah ke hari esok.
Kita tidak mengingat Nenek Yakob sekadar membelokkan kembali haluan waktu ke tempo dulu. Tapi ingatan atasnya serentak mengandung pemutaran arus ke tempo sekarang dan ke masa depan. Apabila misionaris dulu dengan segala ceritera heroiknya membawa umat keluar dari belenggu-belenggu kegelapan, maka yang dapat kita lakukan sekarang adalah melanjutkan karya yang baik itu. Sebaliknya apabila heroisme misionaris tua dahulu itu telah meninggalkan catatan sejarah yang gelap, dengannya kita barangkali kehilangan sesuatu yang patut dibanggakan sebagai warisan nenek moyang kita, maka tentu kita tidak mesti mengutuki sejarah itu. Kita memahami masa lalu secara lebih bijaksana, yakni dengan tidak menciptakan model sejarah kelam yang sama. Tapi secara kritis melakukan sesuatu yang baik untuk sebuah sejarah baru di masa mendatang.
Apabila apa yang menjadi bagian dari sesuatu yang ditaklukan oleh misionaris dahulu seperti politeisme, poligami, takhyul, jin, perjudian, penyembahan berhala, dan hal-hal lain semacamnya masih terbawa hingga ke “keabadian waktu”, maka sesungguhnya kita butuh proses yang lebih sungguh-sungguh agar pembaharuan dan transformasi betul-betul menjadi bagian dari perealisasian Kerajaan Allah di dunia. Tanpa itu sulit bagi kita untuk melihat bagaimana Tuhan berkarya dalam sejarah. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar