29 Maret 2009

Partai Bandit dan Bandit Partai

Oleh Pius Rengka

Prof. Dr. William Reno (1998), melakukan penelitian di sejumlah negara di benua Afrika. Ia, professor ilmu politik pada Florida Internasional University. Reno melukiskan kondisi negara-negara di benua Afrika tatkala dipimpin oleh para bandit yang menang dalam perang politik di sejumlah negara di kawasan itu.

Menulis politik dengan lesson learning Afrika, tentu saja, ada niat jelas untuk tidak ditiru. Ia tak beda jauh dengan pengalaman serupa di negara-negara lain, terutama setelah perang dingin. Apalagi kondisi politik di negara dunia ketiga, umumnya masih tidak stabil. Rakyatnya pun masih sangat miskin. Pemerintahannya masih kacau balau, reformasi birokrasinya rentan terhadap penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme dan bahkan konsolidasi demokrasinya masih sangat rapuh. Karenanya, aparatus pemerintah tak sanggup memecahkan problem sosial yang dihadapi negaranya.
Konflik kepentingan, terutama perebutan sumber-sumber kekuasaan dan posisi strategis negara beriringan dengan pertarungan kepentingan sempit para aktor partai yang relatif masih sangat lapar dan dahaga (hungry party). Aparat partai tak sanggup berbuat banyak kecuali memanfaatkan simbol-simbol partai untuk kepentingan “bisnis”. Para pengurus partai memperlakukan stempel partai sebagai komoditas untuk memburu nafkah dan rejeki jangka pendek.

Problem hukum, juga demikian. Aparat penegak hukum sungguh sibuk membisniskan wewenangnya. Umumnya mereka tidak dapat disebut profesional dan bahkan mereka cenderung hidup tanpa moral yang becus. Mereka memeras para pencari keadilan. Mereka percaya teguh bahwa memeras para pihak yang sedang berperkara (sengketa) merupakan pilihan rasional yang terbaik. Mereka tidak lagi percaya pada apa yang diyakini secara moral sebagai hal yang baik dan benar untuk dilakukannya, melainkan mereka percaya pada apa yang buruk yang sering dilakukannya sebagai hal yang baik dan benar. Maka, nyawa para pencari keadilan pun dijadikan komoditasi politik dan ekonomi untuk melayani kepentingan mereka.

Aparat penegak hukum tidak lebih dari jaringan para bandit yang membisniskan kewenangannya untuk memproduksi uang. Peristiwa hukum dan penegakan atasnya bukan lagi sebagai bagian dari upaya untuk menjaga moralitas (perihal baik dan benar), melainkan dipakai sebagai mesin produksi kekayaan untuk dirinya atau jaringannya (untung dan rugi). Para bandit ini tidak segan-segan menjadikan aturan hukum sebagai alat untuk menindas rakyat.

Kedaulatan hukum kehilangan energi moralnya seiring dengan merendahnya moralitas para aparat penegak hukum. Karenanya prinsip manusia bermoral yang akan dengan sendirinya merasa malu jika melanggar hukum, sehingga akan bertumbuh kembang shame culture yang menopang dan menjamin dipatuhinya hukum tanpa meninggalkan cita-cita utamanya yaitu keadilan perlahan redup.

Contoh-contoh kasus sebagaimana praktek di Liberia, Nigeria, Sierra Leone dan Congo, sekaligus cermin bagi negara-negara lain serupa yang baru keluar dari konflik politik. Rejim demokrasi belum tumbuh subur dan belum ada partai politik yang sungguh demokratik. Para aktor partai politik menjadikan mesin partai hanya untuk maksud memeras para pencari kekuasaan. Singkatnya, party is a tool or machine to get money.

Maka, partai politik tidak lebih dari sekadar instrumen pemuas dahaga para pengurusnya (oligarkhis). Mereka memakai partai sebagai mesin produksi kekayaan, bukan instrumen pengawal ideology. Aktor partai, terutama para elitnya, membawa dirinya seperti komplotan sebuah institusi birokrasi eksekutif. Haus hormat dan seringkali membuat keputusan politik tanpa melalui debat perspektif dengan para anggotanya.

Ancaman hadirnya negara gagal (fail state), negara lemah (weak state) dan negara bandit (prabandal state) pun tak jarang jadi praktek bernegara pada siatuasi serupa itu.

Fakta-fakta politik, dan hukum di Siera Leone bisa berceritera banyak. Di negara itu, memang ada pemerintah artinya struktur kekuasaan Negara yang formal, bahkan ada aturan main, malah ada aparat penegak hukum, bahkan ada juga partai politik. Tetapi, sayangnya semua aktornya tidak fungsional karena mereka ternyata menjadi komplotan yang berkolaborasi dalam satu rumpun komplotan sekutu untuk menguasai seluruh instrumen politik. Akibatnya, sumber daya alam di negeri itu dieksploitasi secara serampangan dan hasilnya dijual bebas ke luar negeri. Maka pasar gelap (black market) pun lebih menggoda mereka tinimbang pasar-pasar legal.

Partai politik, sama saja. Partai dipakai sekadar alat untuk memberi kesan bahwa ada praktik demokrasi di negara itu. Padahal yang sesungguhnya terjadi, partai politik tidak fungsional untuk mengontrol penyelenggaraan negara. Malah para aktor politiknya sibuk terlibat dalam gerombolan para bandit lain. Mereka pun menjarah kekayaan sumber daya alam, termasuk, tentu saja, menjarah uang negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Urusan utama partai politik bukan mengerjakan fungsi-fungsinya demi memuliakan martabat manusia, malah para aktor pengurusnya justru menjadikan partai politik sebagai alat untuk ladang bisnis. Mereka menenteng cap partai untuk “dijual” ke para aktor ambisius. Stempel dijadikan komoditas. Atau cap partai dijadikan modal usaha para pengurusnya. Kerjaan pokok ketua partai ialah menyebar ancaman, bahkan menjarah uang partai.

Ketua partai menganggap dirinya sebagai pustaka final keputusan politik. Ia pun diam-diam menegosiasikan klaim dukungan rakyat demi rejekinya sendiri. Ia menjarah dan kian serakah. Padahal di banyak negara beradab, ketua partai tak lebih dari seorang pemimpin rombongan ziarah politik. Ketua adalah dinamisator, fasilitator dan administrator politik.

Ketua Partai Politik (atau elite partai) dianggap kuat bukan karena ia (mereka) sanggup membisniskan cap partai politik demi keuntungan pribadi, tetapi mereka dianggap kuat justru karena mereka mendapat dukungan luas (legitimasi) dari anggota dan memiliki pengaruh luas pada ruang publik politik. Para elite sama sekali haram mengambil keputusan sendiri atas nama partai. Mereka dilarang merampok dan membajak proses demokrasi. Malah mereka diwajibkan untuk melayani dan mengembangkan gagasan-gagasan demokratik dalam seluruh proses keputusan politik partai. Dengan kata lain, Ketua Partai adalah seorang pendengar yang baik, pengelola manajemen resolusi konflik yang setia.

Contoh kecil ada di sekitar kita. Kita melihat ada para aktor politik yang menjadikan stempel partai sebagai komoditas. Bisnis stempel dengan para kandidat calon bupati atau gubernur terjadi seperti bisnis gelap. Mereka tidak mencari kandidat terbaik, malah yang diusung adalah orang yang diharapkan sanggup beri upeti. Perilaku serupa inilah yang disebut Reno William sebagai perilaku bandit. Dan, biasanya kultur ikutannya adalah korupsi, dan implikasi lebih jauh dari itu adalah rakyat menjadi miskin secara masif.

Para aktor partai merebut posisi ketua atau pengurus dengan uang, bukan dengan program partai. Hirarki organisasi dijadikannya sumber rejeki. Sebaliknya, para kandidat yang ikut proses Pilkada pun berperilaku aneh-aneh. Mereka bertindak dan memperlakukan Ketua Partai dan para pengurusnya sebagai para pemimpin perang (warlord).

Hasil pemilihan melalui partai di kelak kemudian hari menuai kemungkinan empat kategorisasi negara.


Pertama, strong state. Strong state adalah situasi dimana negara dapat menjalankan fungsi kepemerintahannya dengan baik dan efektif. Negara kuat bukan terutama karena para aktornya menjalankan kekuasaannya secara represif, tetapi karena para aktornya mendapatkan legitimasi sangat kuat dari rakyat sebagai ikutan masuk akal dari pengelolaan partai yang sangat bagus. Aktor-aktor state serupa ini dilahirkan dari rahim proses partai politik yang benar, karena partailah yang telah mencari (koleksi), dan melakukan seleksi sesuai dengan fungsi-fungsi partai politik. Partai pun tidak meminta kontribusi uang.

Kedua, weak atau quasi state. Weak state atau quasi state adalah sejenis pemerintahan boneka yang perolehan kemenangannya sangat ditentukan oleh mesin uang dari pihak-pihak lain di luar arena negara. Pemerintahan jenis ini akan sangat lemah karena pengelolaan negaranya (daerahnya) sangat bergantung pada pihak lain di luar dan dari luar arena state (pemerintahan). Jadi yang memerintah adalah orang-orang lain di luar jalur resmi. Contoh pemerintahan Negara serupa ini adalah Kongo dan Rwanda. Bahkan posisi-posisi strategis di pemerintahan ditentukan oleh para pemilik uang. Praktek serupa itu, secara kecil-kecilan ada di sekitar kita juga.

Ketiga, shadow state atau prabandal state atau bandit state. Pemerintahan di negara sejenis ini, aktor negara hanya menjadi alat dari sekelompok orang untuk mendapatkan kepentingan ekonomi. Karena itu, pemerintahan dibajak oleh sekelompok orang dalam negeri demi kepentingan ekonomi mereka sendiri. Contoh negara sejenis ini adalah Siera Leone dan Liberia.

Perbedaan penting dari tipe negara dengan kategori weak state dan shadow state atau bandit state ialah bahwa pemerintahan pada weak state dikendalikan oleh aktor-aktor dari luar negeri, sementara shadow state dikendalikan oleh aktor-aktor dari dalam negeri sendiri.

Keempat, complex political emergencies state atau juga disebut collaps state. Pemerintahan di negara jenis ini, tak berfungsi sama sekali. Macet total. Hukumnya tidak fungsional, meski ada aparat hukum. Partai politik tidak berfungsi sama sekali, bahkan partai politik sungguh-sungguh tidak kontributif sedikit pun untuk penciptaan good governance atau effective governance. Sialnya, negara seperti ini masih disebut sebagai sebuah pranata sosial resmi.

Mencermati semua itu, para pengurus partai politik dan juga para aktor state, perlu merefleksikan peran mereka masing-masing. Apakah di negeri (atau daerah kita) ini ada gejala hadirnya aktor bandit ataukah justru instrument partai sebagai penyumbang utama effective governance?

Soal pokok ialah bagaimana memulihkan situasi dan kondisi itu agar para bandit tidak menguasai sumberdaya politik? Banyak jawaban yang bisa ditawarkan. Tetapi satu hal disepakati, bahwa para bandit akan tersingkir jika kultur demokrasi deliberasi tumbuh subur. Kultur demokrasi deliberasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat sipil atas seluruh kebijakan publik. Untuk itu, masyarakat perlu terlibat dalam politik Pemilu untuk menentukan arah perbaikan. Karena itu pilihan Golput adalah sesuatu yang kurang bijaksana.

Protes
Instrumen utama masyarakat sipil adalah voice (suara, protes), dan mekanisme utamanya adalah movement (gerakan). Maka metode gerakan sosial dengan strategi advokasi harus terus dikembangkan agar rakyat tidak lagi menjadi pihak yang terus-terusan ditipu. Karena itu, para aktor masyarakat sipil, aktor prodemokrasi, tidak boleh tidur nyenyak dalam situasi itu. Sekali lagi kontrol, kontrol dan kontrol.

Contoh keberhasilan gerakan masyarakat sipil di Amerika Latin dapat ditiru. Misalnya di Mexico Tenggara, Chili dan Brasil. Tetapi, konteks kultur politik Indonesia tidak perlu meniru konteks Afrika, terutama tidak meniru praktek politik di Siera Leone, Liberia dan Congo. Tiga Negara ini telah menjadi contoh terbaik untuk praktek kepemerintahan yang sangat buruk di masa lampau.

Pius Rengka, Alumni Sekolah Pascasarjana konsentrasi Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik, di UGM Yogyakarta.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar