16 Juni 2009

Tolak Tambang: Bukan Phobia atau Obsesi

Tanggapan untuk Bapak Aloysius Basri

Oleh P. Alex Jebadu SVD
Dosen STFK Ledalero

Flores Pos edisi Selasa (26/5/2009) menurunkan opini dengan judul “Tambang Mabar Perlu Kajian Rasional” oleh Bapak Aloysius Basri. Entah sadar atau tidak, dengan judul ini, ia mengkleim bahwa semua diskursus menyangkut pertambangan terbuka (catatan: kita tolak tambang terbuka, dan bukan tambang tertutup seperti minyak dan gas bumi) di Flores-Lembata yang pada dasarnya destruktif, lebih banyak merugikan masyarakat setempat ketimbang keuntungan, merupakan diskursus irasional. Semua aspirasi masyarakat Flores yang menolak tambang dianggap Bapak A. Basri sebagai aspirasi yang tidak masuk akal dan tanpa kajian rasional.

Dengan kata lain, semua diskursus selama ini yang menyatakan bahwa tambang terbuka di Pulau Flores yang kecil, berpenduduk padat, bertopografi bergunung-gunung, berada pada zona vulkanik (gunung api) dan berpotensi tinggi untuk terjadinya gempa bumi, beresiko amat tinggi bagi masyarakat Flores-Lembata, menurut Bapak Alo Basri semuanya itu hanya merupakan ketakutan-ketakutan semu, ketakutan yang tidak riil, ketakutan terhadap sebuah obyek yang sebenarnya tidak ada. Dan secara psikologis, biasanya orang yang takut tanpa alasan yang cukup dianggap sakit. Menurut Bapak Alo Basri, entah disadarinya atau tidak, semua orang yang tolak tambang adalah orang sakit jiwa atau psikis.

Terhadap hal ini, mungkin ada orang yang mengatakan bahwa kesimpulan yang dibuat ini terlalu berlebihan. Jawabannya adalah tidak! Tetap tidak percaya? Mari kita lihat. Kesimpulan di atas dibuat berdasarkan premis Bapak Alo Basri sendiri. Dalam opininya Bapak Alo secara cukup repetitif menggunakan kata obsessif dan phobia. Kedua kata ini secara langsung dikenakannya kepada saya. Tapi mungkin dia tidak sadar bahwa saya hanya merupakan representan dari semua orang Flores dan pelbagai elemen masyarakat lain di Flores-Lembata yang menolak tambang terbuka di seluruh daratan Flores-Lembata. Karena itu, dengan ini Bapak Alo Basri telah menganggap semua masyarakat Flores-Lembata yang tolak tambang terbuka (seperti semua umat Kristen Katolik yang aspirasinya diusung JPIC Keuskupan Ruteng, romo-romo projo, pastor-pastor SVD dan OFM, suster SSpS, LSM-LSM, KPM – Kelompok Peduli Manggarai Indonesia, WALHI-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dll) sebagai orang-orang yang tidak rasional, obsesif dan phobik (phobic). Menurut Bapak Alo Basri, semua mereka ini sedang meneriakkan ketakutan-ketakutan semu dan tidak riil. Untuk melihat apakah anggapan Bapak Alo Basri ini benar atau tidak, kita perlu menelusuri makna kata obsesif dan phobia yang telah digunakannya.

Kata obsessif merupakan kata sifat dari kata benda obsesi. American Peoples Enciclopedia menjelaskan kata obsessi demikian. Obsession (Latin obsessio) is an idea or thought that recurs continuously and uncontrollably and that is abnormal in content or degree or both. Most people experience a normal type of repetitive thinking, the most common of which is the constant recurrence of melody. The duration is relatively short. The content of repetitive thinking that is obsessive varies from absurdities to thoughts of doing bodily harm to their loved ones (The American Peoples Encyclopedia: A Modern Reference Work, New York: Grolier Incorporated, 1967, Vol. 14, hlm.94). Versi Indonesianya kurang lebih demikian.

Obsessi adalah pikiran, bayangan atau dorongan yang terjadi berulang-ulang, tak terkontrol dan isinya atau tingkatannya atau keduanya abnormal. Kebanyakan orang mengalami dorongan repetitif yang normal, dan contoh yang paling umum adalah pengulangan melodi sebuah lagu (misalnya dengan bersiul atau mendengung) yang sering tanpa sadar. Isi dari pikiran repetitif yang obsessif bervariasi mulai dari yang mustahil atau tak masuk akal sampai dengan dorongan untuk melukai kekasih sendiri secara fisik.

Sedangkan kata benda phobia berasal dari kata sifat Yunani phobos yang artinya takut. American Peoples Encyclopedia menjelaskannya demikian. Phobia (Latin phobos: fear, afraid) is any persistent, excessive fear of certain objects, places or situations. The variety of phobia is seemingly endless. Some of the more common ones are claustrophobia, acrophobia and nyctophobia. Although the individual possessed by a phobia may realize that this fear is irrational and that no actual danger exists, he is unable to control his feelings. Phobic reactions often are accompanied by physical disturbances such as headache, dizziness and digestive upsets (The American Peoples Encyclopedia: A Modern Refference Work , New York : Grolier Incorporated, 1967, Vol. 14, hlm. 497). Versi Indonesianya kurang lebih demikian. Phobia adalah perasaan takut yang menetap dan yang berlebihan atau irasional terhadap obyek-obyek, tempat atau situasi tertentu. Jenis phobia sangat banyak. Contoh yang paling umum adalah ketakutan untuk tinggal di dalam ruangan tertutup (claustrophobia), takut akan tempat yang tinggi (acrophobia) dan takut akan tempat yang gelap (nyctophobia).

Walaupun individu yang sedang takut itu tahu bahwa ketakutannya tidak rasional dan tak ada bahaya riil yang perlu ditakuti, tapi ia tetap tidak sanggup mengontrol perasaan takutnya. Reaksi takut irasional ini kerapkali disertai dengan gangguan fisik seperti sakit kepala, pusing dan gangguan pencernaan.

Jadi berdasarkan penjelasan ensiklopedi ini, obsesi adalah dorongan-dorongan tidak normal yang terjadi secara berulang-ulang. Sedangkan phobia adalah ketakutan semu yang bisa diidentikkan dengan ketakutan irasional. Kesimpulan selanjutnya jelas.
Kalau dalam opini Flores Pos (26/05/09) Bapak Alo Basri mencap saya sebagai pribadi yang obsessif dan phobik terhadap tambang, maka itu artinya semua organisasi kemasyarakatan yang menolak kehadiran tambang terbuka di seluruh Flores-Lembata termasuk di Mabar juga merupakan orang-orang obsesif dan phobik. Karena menurut Bapak Alo, apa yang mereka risaukan itu absurd, abnormal atau obsesif. Semua orang mulai dari Kedang di Lembata sampai Labuan Bajo di Mabar yang berseru menolak tambang adalah orang-orang yang sedang mengalami ketakutan irasional, ketakutan semu, ketakutan tidak riil. Dan secara psikologis, mereka adalah orang yang sedang mengalami gangguaan jiwa, karena mereka takut dan menganggap bahaya terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya atau takut terhadap sesuatu yang dalam kenyataannya tidak ada. Singkatnya, semuanya itu adalah ketakutan semu.

Kesimplulan lebih lanjut adalah bahwa menurut Bapak Alo Basri semua kajian-kajian berikut juga irasional, absurd, tidak riil atau tidak benar atau semu. Pertama, lokasi kegiatan usaha pertambangan di Manggarai dan di Mabar kalau jadi digali sebagian besar terjadi di dalam lahan pertanian dan perkebunan masyarakat, dan sejumlah kawasan hutan desa dan hutan lindung serta daerah pesisir pantai. Hal ini telah berdampak pada berkurang atau hilangnya lahan produksi petani/nelayan dan berkurangnya produksi petani/nelayan, hilangnya daerah tangkapan hujan dan daerah resapan air yang menyebabkan kemarau berkepanjangan di daerah lingkar tambang, terutama di wilayah Reok dan sekitarnya (bdk. Simon Suban Tukan, “Industri Pertambangan Mesin Penghancur Yang Masif,” Makalah Seminar Setengah Hari di Ledalero 14 Februari 2009, hlm. 9).

Kedua, hasil Kajian Tim Komisi JPIC OFM Indonesia dan SVD Ruteng bersama jaringan yang lain seperti JATAM (Jaringan Advokasi Tambang Indonesia) menunjukkan bahwa proses masuknya investor pertambangan ke lokasi sasaran, terutama di lahan pertanian dan perkebunan masyarakat, sebagian besar tidak diketahui oleh masyarakat. Karena itu masuknya investasi pertambangan ke lokasi sasaran telah menimbulkan konflik di tengah masyarakat, baik itu dengan sesama warga, warga dengan perusahaan maupun warga dengan pemerintah. Sejumlah komunitas warga telah meminta secara resmi pendampingan dari Tim Komisi JPIC dan Jaringan Advokasi tambang, seperti komunitas masyarakat adat Tumbak, masyarakat adat Bajak, masyarakat adat Repu, Masyarakat adat Gincu-Robek, sekadar untuk menyebut beberapa saja (bdk. ibid, hlm. 10).

Ketiga, hasil kajian lapangan juga menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal ini dinas terkait, hampir tidak pernah melakukan sosialisasi mengenai industri pertambangan dan seluruh dampaknya, bahkan pengalaman advokasi menunjukkan kecenderungan pemerintah setempat berpihak kepada pihak perusahaan. Eksplorasi mangan di Bajak, desa Watu Tango Kec. Reok, adalah salah satu contoh. Warga menolak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sana, tetapi karena berbagai cara bujukan, tiga warga kemudian menyerahkan lokasinya untuk dibor dengan ganti rugi lahan Rp 500.000,- per lubang, tekanan meningkat sampai warga bersama pemuka adat setempat mengijinkan pengeboran sampai dengan 11 titik dengan janji ganti rugi Rp.1.000.000,- per lubang. Tekanan terburuk dialami oleh bapak Philipus Ndaek. Tanah perkebunannya hampir saja menjadi milik umum dan dieksplorasi. Sikapnya yang konsisten dengan kesepakatan warga seluruhnya pada 21 Agustus 2008 (tidak mengijinkan adanya kegiatan pertambangan di wilayah kampung Bajak) dan bantuan dari Tim JPIC dan Jaringan telah berhasil mendesak PT Nusa Energi Raya (PT NER) keluar dari kampung Bajak (bdk. ibid.).

Keempat, Penambangan Mangan oleh PT Sumber Jaya Asia, dengan ijin KP Nomor HK/168/2005 yang berkerja sama dengan PT Prima Mining Manganese, sebuah perusahaan dari Cina, dilakukan dalam kawasan Hutan Lindung RTK 103, hutan Kedindi, tanpa Ijin Pinjam Pakai Kawasan dari Menteri Kehutanan RI. Selain itu, aktivitas penambangan dilakukan dengan metode penambangan terbuka (open pit mining), yang pada saat laporan ini dibuat telah mencapai kedalaman 60-an meter, sehingga menimbulkan lubang menganga yang sangat dalam dan luas (bdk. ibid. hlm. 11).

Kelima, Industri Pertambangan di Manggarai telah melanggar Hak-Hak Asasi Manusia: Investasi pertambangan di Manggarai telah melanggar hak-hak masyarakat lokal atas tanahnya, karena tanah-tanah masyarakat lokal dicaplok oleh perusahaan-perusahaan dengan alasan telah memiliki ijin kuasa pertambangan dari pemerintah. Dengan demikian hak-hak budaya masyarakat pun dilanggar karena sebagian dari kawasan investasi pertambangan adalah tanah-tanah adat atau suku (bdk. ibid. hlm. 12).

Keenam, investasi pertambangan di Manggarai menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup secara keseluruhan. Sistem pertambangan terbuka (open pit) telah menghilangkan ribuan hektar lahan pertanian dan perkebunan warga, hutan lindung dan hutan produksi Manggarai. Akibatnya terjadi pengurangan yang signifikan atas lahan dan produksi masyarakat lingkar tambang, hilangnya daerah tangkapan hujan dan daerah resapan air, sehingga kekeringan mulai melanda daerah lingkar tambang. Di Luwuk dan Satar Teu, misalnya, sumber-sumber air mengering yang berakibat pada tidak berproduksinya lahan-lahan sawah penduduk dan masyarakat kekurangan air minum. Sistem penambangan terbuka dengan metode ledak telah merusak bentang alam Manggarai secara permanen dan pada waktunya mengancam kehidupan di pulau yang tidak seberapa besarnya ini (bdk. Ibid. hlm. 14) dan masih ada banyak ketimpangan lainnya.

Jadi menurut Bapak Alo Basri, semua temuan di atas termasuk kontroversi penggalian tambang di Batu Gosok di Labuan Bajo belum lama ini adalah ketakutan irasional, ketakutan yang tidak riil atau absurd, semu, obsessif dan phobik melulu. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apa yang menghalangi Bapak Alo Basri untuk tidak bisa melihat semua ini sebagai hal-hal nyata dan sebaliknya menganggap semuanya absurd? Saya tidak tahu. Hanya Bapak Alo Basri sendiri yang tahu.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar