25 Mei 2009

STFK Ledalero Harus Transformasi Diri

Buku Kenangan Pancawindu STFK Ledalero Diluncurkan

Oleh Kristianto Naben


LEDALERO (FP) -- Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero yang telah berusia 40 tahun diharapkan terus ber-metanoia, yakni terus berubah, mentransformasikan diri, mengubah pola hidup untuk kembali menjadi manusia yang autentik, berbela rasa, solider dan terlibat dalam praksis kehidupan masyarakat dan umat.

Tujuan STFK Ledalero sebagai sebuah lembaga pendidikan adalah mengarahkan seluruh civitas academica secara tuntas dalam teori dan praksis untuk ber-metanoia, karena kita berilmu untuk menemukan pegangan hidup yang jelas dan pasti. Di samping itu, para alumninya pun diharapkan untuk terus ber-metanoia dan punya pegangan yang pasti.

Pendapat ini disampaikan P. Dr. John M. Prior SVD yang menjadi pembicara pada seminar dalam rangka Pancawindu STFK Ledalero di Aula Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Jumat (22/5). Pembicara lain adalah Dr. Nobertus Jegalus yang membawakan makalah berjudul “Studi Filsafat-Teologi dan Perannya dalam Transformasi Sosial Politik di Indonesia”. Seminar ini diikuti dosen, alumni dan mahasiswa STFK Ledalero serta sejumlah tamu dan undangan lainnya.

Dalam makalah berjudul “Cabut Pohon, Geser Gunung: Peran Lembaga Ilmiah dalam Transformasi Rohani dan Sosial Politik”, Pater John mengatakan, seringkali pendidikan ditawarkan kepada mahasiswa tanpa penyadaran sosial. Ini terjadi kalau yang disajikan cuma rumusan-rumusan. Sementara pelayanan sosial kepada kaum miskin diberikan tanpa penyadaran.

“Kita butuh pelayanan pembebasan bagi orang miskin dan orang kaya. Pendidikan yang membebaskan orang kecil dari kemiskinannya, sekaligus pendidikan yang bebaskan orang kaya dari hartanya, yaitu melepaskan keduanya dari kecenderungan ingat diri dan kumpulkan harta bagi diri sendiri. Lembaga ilmiah berdiri di antara kaum miskin yang pasrah dalam kemiskinannya dan kaum kaya yang puas dengan kekayaannya. Jadi, pendidikan tidak akan berhasil tanpa penyadaran kaum miskin dan penelanjangan kaum kaya oleh kaum miskin yang sadar,” katanya.

Lebih lanjut Pater John mengatakan, sebagai homo faber kita melibatkan diri dalam isu-isu yang mendesak seperti soal tambang dan Markas Yonif/Brigiv di Timor. Ini bukan hobi oknum-oknum STFK tetapi merupakan bagian integral dari sifat ilmu dari lembaga STFK.

Sebagai homo sapiens, kita berpikir dan bertindak dengan bijaksana. “Cendekia yang beriman tidak mungkin berkolusi dengan penggandaan kekayaan yang ditumpuk di atas punggung kemiskinan masalah,” katanya.

Mengutip salah satu misi yang diemban STFK Ledalero yaitu menghasilkan orang yang mampu berfilsafat, berteologi dan berpastoral, Pater John menandaskan bahwa sebuah lembaga ilmiah merupakan simpul pokok dalam jaringan kaum aktivis dan ilmuwan. Aktivis menyumbangkan pengalaman dan aksinya serta cara-cara praktikal sedangkan ilmuwan mengupayakan suatu simbiosis di antara pendekatan yang tenang, tekun dan intelektual dengan realitas kaum marginal yang sedang digubris oleh para aktivis.

“Jadi, STFK berperan sebagai salah satu simpul jejaring dari pusat-pusat pastoral, institusi gerejani, dan seterusnya. STFK Ledalero dapat dan malah sudah mempertemukan petugas dan pegiat pastoral di tingkat komunitas basis, LSM-LSM akar rumput, dengan gagasan ilmiahnya. Lembaga ilmiah harus menjadi lokus kunci bagi kritik sosial. Ini sumbangan para akademisi bagi para aktivis agar jangan terbawa pada opurtunisme. STFK Ledalero dapat turut mengupayakan alternative-alternatif yang berbasis iman dan berasaskan etika publik atau kita sendiri tidak bersifat opurtunistik dan menjalankan fungsi sebagai pusat intelektual, moral dan religius,” tegasnya.

Sementara Nobert Jegalus dalam pemaparannya mengatakan bahwa filsafat dan teologi perlu melibatkan diri dalam menanggapi dan memecahkan persoalan sosial politik bangsa Indonesia . Filsafat dan teologi tidak bisa tidak sebagai filsafat terlibat dan teologi terlibat. Filsafat sebagai filsafat terlibat memang bisa membongkar mitos, tetapi ia juga bisa menciptakan mitos baru. Filsafat bisa mengeritik ideologi-ideologi tetapi juga melahirkannya.

“Agar filsafat bisa benar-benar mentransformasikan sosial politik Indonesia maka ia harus benar-benar terdeferensiasi dari teologi. Ini berarti metodologi filsafat haruslah netral dari keyakinan agama. Sedangkan teologi terlibat tidak mengarah kepada satu bentuk teokrasi. Yang hendak dicari adalah di dalam segala sesuatu nilai religius yang adalah nilai kemanusiaan tetap dipertahankan,” katanya.

Salah seorang alumni STFK Ledalero, Aloysius Kelen, mengucapkan terima kasih dan terima kasih kepada STFK Ledalero karena ia telah dibentuk dan dibina di lembaga tersebut sehingga kemudian dapat terlibat dalam dunia pendidikan. STFK Ledalero, menurutnya, telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat dan Gereja.

Buku Kenangan Diluncurkan
Pada momen perayaan pancawindu STFK Ledalero ini, Penerbit Ledalero sebagai mitra dari STFK Ledalero meluncurkan dua buku yang khusus diterbitkan sebagai buku kenangan. Kedua buku itu adalah buku “Demi Tuhan dan Sesama” yang diedit oleh Rm. Rikhard M. Buku Pr dan Yosef M. Florisan dan buku “Menukik Lebih ke Dalam” yang diedit oleh P. Paul Budi Kleden SVD dan P. Otto Gusti SVD.

Peluncuran buku ini ditandai dengan pembukaan selubung papan berisikan kover kedua buku oleh Direktur Penerbit Ledalero, P. Georg Kirchberger SVD. Selanjutnya Pater Georg menyerahkan kedua buku tersebut diserahkan kepada masing-masing editor. Para editor kemudian membagikan buku tersebut kepada sejumlah tokoh di antaranya Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San, Pr, Bupati Sikka, Sosimus Mitang, Wakil Bupati Sikka Wera Damianus, Vikjen Keuskupan Agung Ende, P. Yosef Seran SVD, Kristo Blasin sebagai wakil alumni STFK Ledalero dan E. P. da Gomez sebagai wakil tokoh masyarakat Sikka.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar