27 Maret 2009

Pemilu Legislatif: Antara Ambisi dan Apatisme

Oleh Yakob Dere Beoang

SAAT ini warga bangsa Indonesia baik yang berada di tanah air maupun di luar negeri sibuk mempersiapkan kegiatan besar. Kegiatan lima tahunan yang berlangsung tanggal 9 April yang akan datang itu adalah pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih anggota DPR, DPRD propinsi dan kabupaten/kota serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dikatakan besar karena kegiatan itu melibataktifkan banyak pihak dalam persiapan dan pelaksanaannya. Komisi pemilihan umum (KPU) mulai dari pusat sampai ke daerah propinsi dan kabupaten/kota; panitia pemilihan kecamatan (PPK); panitia pemungutan suara (PPS) di desa/kelurahan dengan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Masih ada lagi badan pengawas pemilu (Bawaslu) di tingkat pusat dan panitia pengawas pemilu (Panwaslu) untuk tingkat propinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Di ting-kat desa/kelurahan ada pengawas pemilu lapangan (PPL).

Kegiatan ini melibataktifkan pula partai-partai politik sebagai peserta pemilu. Secara istimewa para calon legislatif pusat (DPR) dan daerah (DPRD propinsi dan kabupaten/kota) yang diusung partai politik dan calon anggota DPD. Tak kalah pentingnya adalah para pemilih yakni “warga Negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah pernah kawin” (pasal 1 ayat 22 UU RI no.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Tahun 2009).

Kelompok terakhir yakni calon legislatif dan calon DPD serta pemilih yang menjadi sorotan dalam tulisan ini mempunyai kepentingan. Caleg dan calon DPD berkepentingan karena pemilu menjadi ajang penentu perjuangannya selama ini, apakah berhasil menjadi anggota DPR, DPRD dan DPD atau tidak. Baginya, pemilu yang bersifat umum, langsung, bebas dan rahasia ini menjadi saat ujian untuk dapat lulus atau tidak.
Sementara pemilih juga berkepentingan karena di satu sisi pemilu menjadi saat yang tepat untuk mengungkapkan kedaulatannya sekaligus pernyataan paling konkret tentang kehidupan demokrasi bangsa ini dan di sisi lainnya menjadi saat yang tepat untuk memilih orang-orang yang diharapkan menjadi penyalur aspirasi politiknya (ketika menjadi anggota DPR dan DPRD) dan aspirasi keaneka ragaman daerahnya (ketika menjadi anggota DPD).

Karena itu, saat-saat menjelang pemilu seperti sekarang ini, dua pihak tersebut saling melirik. Caleg dan calon DPD melirik dan berusaha merebut simpati pemilih dengan berbagai cara sejauh tidak berten-tangan dengan aturan dan rambu-rambu yang ditetapkan penyeleng-gara. Sebaliknya, pemilih melirik dan menentukan caleg dan calon DPD yang diharapkannya.

Ambisi
Secara leksikal ambisi (ambition, Inggris) berasal dari akar kata bahasa Prancis dan Latin. Akar kata ‘amb’ (Prancis) berarti tentang. Bila ditambah sufiks ‘ire’ menjadi ambire berarti pergi. Dan jika ditambah sufiks ‘itus’ menjadi ambitus berarti cara atau kecepatan kerja. Sementara bentuk dasar kata Latin ‘ambitus’ (masculinum) berarti jalan mengelilingi sesuatu, jalan berputar dan ‘ambitio’ (femininum) berarti hal pergi berkeliling (yang dilakukan para kandidat untuk mendapat suara dari rakyat).

Aslinya kata ini menjelaskan praktek politisi berkeliling kota untuk meminta sokongan suara warga negara atau warga kota. Ambisi, dengan demikian menjadi kata yang digunakan untuk menjelaskan tindakan-tindakan politisi. Dalam abad ke 15 ketika kata itu masuk dalam literatur Inggris ia dipahami sebagai suatu hasrat atau keinginan yang besar dari seseorang untuk mendapatkan kehormatan, pangkat, kedudukan, posisi sekaligus harapan untuk mencapai cita-cita atau tujuan khusus. Sejalan dengan itu, Alfred Adler seorang psikoanalist dalam bukunya The Education of Children menjelaskan ambisi sebagai hasrat alami untuk mencapai tingkat kepenuhan atau kesempurnaan yang lebih tinggi.

Dalam perkembangannya, kata ini pun mengalami pergeseran makna. Ia dimengerti sebagai suatu energi yang dipusatkan pada sasaran dan harapan, tujuan dan cita-cita. Joseph Epstein menyebutnya sebagai bahan bakar dari sukses yang dicapai. Ia menegaskan bahwa ambisi adalah bagian dari hidup tiap orang yang bila diaktifkan akan mengembangkan motivasi dan energi untuk mencapai tujuan dan memenuhi cita-cita hidup (bdk. Epstein dalam Ambition: Friend Or Enemy, hlm. 20).

Bertolak dari pemahaman di atas, jelas bahwa ambisi itu sesuatu yang bersifat alami. Ambisi itu tak terpisahkan dari kehidupan seorang anak manusia. Ambisi itu ada dan menjadi bagian dari hidup tiap orang. Ia harus ada pada setiap orang. Ia ada sebagai daya atau energi yang menggerakkan seseorang untuk melaksanakan tindakan tertentu demi memenuhi hasrat atau keinginan dan mencapai harapan, tujuan dan cita-cita tertentu. Meminjam istilah Epstein tiadanya ambisi dalam hidup seseorang ibarat kendaraan yang kehabisan bahan bakar.

Dalam konteks pemilu 2009, ambisi itu ada dan melekat pada para pihak yang berkepentingan. Ia ada pada penyelengara pemilu sebagai daya yang menggerakkan penyelenggara baik pribadi-pribadi maupun bersama dalam komisi atau panitia supaya dapat mempersiapkan dengan tekun dan cermat segala ikhwal berkenaan dengan seluruh tahapan pemilu. Ambisi pun ada dan melekat pada setiap orang dan badan pengawas pemilu sebagai energi untuk menggerakkan mereka dalam melaksanakan tugas kepengawasan dengan baik dan benar.

Lebih dari itu, ambisi ada dan melekat pada setiap pengurus parpol. Setiap parpol peserta pemilu berambisi agar dapat memperoleh kursi di legislatif, bahkan berambisi memperoleh jumlah kursi yang meme-nuhi persyaratan terbentuknya satu fraksi di DPR. Karena itulah, parpol peserta pemilu menempuh berbagai cara yang menguras waktu, tenaga dan biaya.

Ambisi yang sama ada dan melekat juga dalam diri setiap calon legislatif dan calon DPD (meski kadarnya berbeda dari satu calon ke calon yang lain, karena ada caleg yang berambisi menjadi anggota parlemen; ada yang sekadar memenuhi kuota dan ada pula yang ikut-ikutan). Harapan dan cita-cita, hasrat dan keinginan inilah yang melahirkan berbagai bentuk aktivitas seperti mengeliling dari satu desa/kelurahan ke desa/kelurahan lain; dari satu kecamatan ke kecamatan lain; dari satu kebupatan/kota ke kabupaten/kota lainnya bahkan dari satu propinsi ke propinsi lainnya.

Pada tataran inilah patut diingat bahwa menjadi anggota legislatif atau anggota DPD bukanlah tujuan akhir atau cita-cita final, melainkan menjadi tujuan antara, cita-cita menengah. Tujuan akhir adalah pelayanan kepada masyarakat demi kesejehteraan umum dan kebaikan bersama (bonum commune). Menjadi anggota parlemen merupakan media sekaligus momen perjuangan mencapai tujuan akhir ini. Jika tujuan atau cita-cita akhir adalah “menjadi anggota parlemen”, maka ia menjadi sangat egosentrik dan tidak representatif. Tujuan atau cita-cita perjuangan seorang caleg dan calon DPD bukanlah ego-oriented, melainkan social oriented. Para caleg dan calon DPD seyogyanya mempertanyakan ‘menjadi apakah masyarakat dan warga bangsa ini lima tahun kedepan?’ Bukan saatnya mempertanyakan menjadi apakah saya ini setelah pemilu?

Apatis
Kalaulah ambisi mengacu pada daya atau energi, keinginan atau hasrat, tujuan atau cita-cita dan tindakan tertentu, maka apatis lebih mengacu pada sikap. Sebab secara leksikal apatis (apathy, Inggris) berarti sikap masa bodoh, yakni sikap yang “tidak peduli apa-apa”, sikap yang “tidak turut memikirkan perkara orang lain” (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1961).

Menilik pada pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan pemilu legislatif, maka pihak yang apatis adalah masyakarat pemilih. Dalam konteks pemilu legislatif 2009, para pemilih berpotensi mengambil sikap masa bodoh, tidak peduli pada berbagai tahapan pemilu teristimewa pada tahapan pemungutan suara. Sikap demikian tampak sekurang-kurangnya dalam fenomena berikut.

Pertama, tidak mampu mengakui dan tidak menerima tanggung jawab dalam kegiatan pemilu. Kedua, perasaan yang samar-samar, susah, tidak aman bahkan terancam kalau mengikuti kegiatan yang bersifat politis. Ketiga, membentuk satu pola sikap dan tindakan yang cocok dengan diri sendiri. Pergi ke tempat kerja bersamaan dengan saat voting atau golput di samping sebagai hak politik tetapi juga merupakan bentuk ekspresi sikap masa bodoh.

Sikap dan fenomena ini muncul sekurang-kurangnya karena alas an-alasan berikut. Pertama, banyaknya parpol peserta pemilu 2009 yang berimplikasi langsung pada besarnya jumlah caleg dalam pemilu kali ini. Kalau dalam pemilu legislatif 2004 tercatat 24 parpol, maka tahun ini bertambah 14 sehingga menjadi 38 parpol diluar 6 parpol lokal di propinsi Aceh. Banyaknya parpol dan caleg ini membuat para pemilih bingung dan apatis terutama kalau minimnya informasi mengenai referensi parpol dan caleg dari pihak penyelenggara. “Masyarakat punya kebingungan yang sangat besar jadinya”, ujar Sebastianus Salang, koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), sebagaimana dilansir dalam situs kompas.com.

Kedua, pengalaman atau sekurang-kurangnya informasi yang diperoleh para pemilih mengenai angota-anggota legislatif masa-masa atau periode-periode sebelumnya. Bukan rahasia umum lagi bahwasannya anggota legislatif tertentu malas mengikuti sidang; mengantuk atau tertidur saat berlangsungnya sidang; berkelahi atau ribu dalam meng-adu argumentasi saat sidang; terlibat dalam kasus-kasus penyuapan, manipulasi dan korupsi; ngotot memperjuangkan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Dengan demikian – seperti diakui Morris Rosenberg - para pemilih menganggap aktivitas politik umumny dan pemilu khusunya “sebagai sia-sia saja” (Morris Rosenberg dalam Some Determinants of Politik sebagaimana dilansir oleh Michael Rush & Phillip Althoff dalam Pengantar Sosiologi Politik). Pengalaman dan informasi ini bagi pemilih menjadi pengalaman traumatis yang melahirkan sikap apatis.

Ketiga, kecenderungan masyarakat pada usaha-usaha memenuhi kebutuhan pribadi dan materil. Keterlibatan politik khusunya dalam pemilu hanya memberikan kepuasan secara tidak langsung sedangkan hasil langsung yang diperoleh sedikit sekali bahkan tidak ada. Masih ada pemilih yang beranggapan bahwa keterlibatan dalam aktivitas politik termasuk pemilu sama sekali tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan materiil.

Keempat, dalam konteks NTT dan dalam bingkai toleransi keagamaan, penentuan moment pemilu tanggal 9 April yang bertepatan dengan hari Kamis Putih orang Kristen menjadi salah satu faktor pemicu apatisme di kalangan masyarakat pemilih yang menyiapkan bathinnya untuk mengikuti kegiatan keagamaan dimaksud.

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita mengha-rapkan kiranya masyarakat pemilih mengambil sikap yang tepat dan menjauhkan apatisme dari dirinya dengan proaktif dalam kegiatan-kegiatan pemilu terutama saat pemungutan suara. Kita pun berharap kiranya parpol dan caleg-caleg yang diusung serta calon DPD sungguh mengenakan ambisi yang benar yakni menjadi besar dengan menjadi pelayan dan menjadi terkemuka dengan menjadi hamba (bdk. Mrk.10:43-44)*

1 komentar:

  1. Ya benar kata Anda.

    Para caleg harus memperhatikan kepentingan rakyat ketimbang diri sendiri dan partainya.

    www.spiritual-motivasi.blogspot.com

    BalasHapus