16 Februari 2009

Manggarai Dapat Maju Tanpa Tambang

Kristianto Naben

LEDALERO -- Manggarai yang kini terdiri dari tiga kabupaten, Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur dapat berkembang maju tanpa harus ada investasi pertambangan di wilayah tersebut. Ada banyak potensi dan sumber daya lain selain tambang yang masih dapat dikembangkan. Tambang bukan kebutuhan nyata orang Manggarai.

Penegasan ini disampaikan Koordinator JPIC (Justice, Peace, and Integration Creation/Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) Kongregasi OFM Indonesia, Pater Peter Aman OFM dalam seminar sehari di Aula Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.


Seminar ini diselenggarakan oleh Forum Cendekiawan asal Manggarai di Maumere (FORCAM). Pembicara lain yang tampil adalah Direktur Eksekutif INFID (International NGO Forum on Indonesia Development), Don K. Marut dan Koordinator Komisi JPIC Provinsi SVD Ruteng, P Simon Suban Tukan SVD.

Seminar ini diikuti para mahasiswa asal Manggarai di Sikka, baik yang belajar di STFK Ledalero maupun di Unipa Maumere dan sejumlah anggota Ikatan Keluarga Besar Manggarai (IKBM) di Maumere. Hadir juga dalam seminar tersebut sejumlah biarawan dan biarawati asal Manggarai dan para dosen STFK Ledalero.

Menurut Pater Peter Aman, orang Manggarai memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Misalnya, potensi sawah sangat menjanjikkan dan bisa menghasilkan padi dalam jumlah yang cukup. Juga potensi peternakan dapat dikembangkan. Selain itu, dalam lingkup rumah tangga bisa dikembangkan juga tenun ikat yang memiliki mutu dan kualitas yang terjamin. Di samping itu, potensi pariwisata perlu mendapat sentuhan dan pengelolaan yang baik.

Namun, semua potensi di atas sekarang ini terancam oleh karena adanya tambang di Manggarai, khususnya di Serise dan Torong Besi, yang sudah memasuki tahap eksploitasi. Hutan sudah dirusakkan sehingga timbunan limbah tambang mengancam pemukiman penduduk serta menyebabkan hilangnya sumber air untuk warga.

Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dan perkebunan terancam kehilangan lahan mereka karena lahan telah digunakan untuk areal pertambangan. Pantai Robek yang dulu sering digunakan wisatawan untuk berekreasi kini tidak dapat menjadi lokasi pariwisata karena telah terjadi pencemaran di pantai.

Pater Peter mengungkapkan juga kebohongan-kebohongan dari investasi tambang antara lain tambang membawa kesejahteraan, tambang dapat memulihkan ekologi dengan program reklamasi, dengan investasi tambang infrastruktur seperti ketersediaan air, sekolah, klinik, sarana ibadat, dll terjamin dengan baik. Selain itu, tambang juga tambang memberi ganti rugi yang adil, limbah tambang atau polusi yang diakibatkan oleh tambang dapat diatasi dengan sempurna, hak-hak masyarakat dijunjung tinggi dan ada lapangan kerja untuk masyarakat lokal.
“Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Tidak satupun dari proyek tambang di dunia ini yang menyejahterakan masyarakat lokal. Papua yang punya Freeport, misalnya, sampai sekarang masyarakat tetap miskin dan sederhana. Di Manggarai juga sama. Ada seorang satpam dan istrinya yang bekerja di tambang, tetapi mereka tinggal di sebuah gubuk reot sekitar 20 meter dari lokasi tambang. Sekarang masyarakat juga terancam oleh limbah tambang dan sumber air mereka pun mengering serta terancam oleh limbah,” kata Pater Peter yang pernah melakukan investigasi di lokasi tambang di Manggarai.

Don K. Marut dalam presentasinya mengungkapkan beberapa contoh konflik di masyarakat yang muncul sebagai akibat dari investasi tambang dari perusahaan-perusahaan besar. Ia mencontohkan sebuah kasus pembunuhan di Jawa Timur yang muncul sebagai akibat dari upaya menciptakan rasa takut di antara petani-petani dan masyarakat lokal yang resisten dan tidak mau menyerahkan tanahnya ke perusahaan Exxon Mobil dan Santa Fe. Konflik yang sama juga terjadi di Maluku. Di sana ada upaya untuk menyingkirkan masyarakat lokal dari sumber daya alam komunal sehingga perusahaan-perusahaan tambang bisa mengambil alih tanah tanpa kompensasi.

“Konflik itu sengaja diciptakan untuk menghancurkan ikatan-ikatan komunal lokal yang menghambat investasi besar. Hambatan utama untuk investasi di Maluku adalah kepemilikan komunal yang sulit ditransfer ke pihak lain,” katanya.

Menurut Don Marut, problem yang akan terjadi berkaitan dengan tambang itu adalah setelah tambang selesai beroperasi, masyarakat lokal akan kehilangan sumber ekonomi lokal serta lingkungan sosial mereka menjadi rusak.

“Ke mana orang-orang lokal ini mencari nafkah? Apakah pendapatan mereka selama tambang beroperasi bisa diinvestasikan untuk sumber penghidupan baru setelah tambang selesai?” katanya.

Karena itu, demikian Don Marut, perlu advokasi tambang untuk menyadarkan masyarakat lokal tentang berbagai hal menyangkut tambang ini dengan memperhatikan tiga hal. Pertama, berkaitan dengan isi, yaitu memahami secara keseluruhan dengan seksama dan serta memiliki informasi yang lengkap tentang operasi tambang dan dampak-dampaknya.

Kedua, berkaitan dengan struktur, yaitu mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat di dalam operasi tambang dan kebijakan yang mendukung serta menentang operasi tambang tersebut. Ketiga, berkaitan dengan budaya, yaitu memberikan penyadaran kepada masyarakat dan mengorganisasi komunitas masyarakat untuk bersikap terhadap persoalan tambang dan dampaknya.

“Tantangan di Manggarai untuk advokasi tambang yang berkaitan dengan budaya adalah bagaimana mengorganisasi masyarakat yang masing-masing masyarakat adat punya otonomi. Ini yang cukup sulit karena bisa saja terjadi, satu kelompok masyarakat adat menerima dan yang lain menolak. Atau bisa juga terjadi, ada masyarakat yang menolak sedangkan para tua adat menerima. Ini yang harus diperhatikan betul agar advokasi itu bisa berjalan maksimal,” katanya.

P. Simon Suban Tukan, SVD dalam presentasinya mengungkapkan beberapa masalah yang ditemukan dalam advokasi tambang di Manggarai. Lokasi tambang di Manggarai itu dekat dengan pemukiman penduduk dan areal pertanian. Ini berarti masyarakat lokal terancam kehilangan tempat tinggal dan lahan pertanian untuk kelanjutan hidup dan masa depan mereka. Untuk proses eksplorasi dan eksploitasi tambang di Manggarai, perusahaan masuk lokasi tambang tanpa diketahui pemilik lahan. Tanah masyarakat dicaplok dan ini bisa membuat budaya masyarakat lokal setempat menjadi hilang.

“Untuk investasi tambang ini, pemerintah tidak melakukan sosialisasi sebelumnya. Ketika perusahaan sudah masuk lokasi dan masyarakat ajukan protes, baru pemerintah lakukan sosialisasi,” katanya.

Masalah lain yang timbul adalah pengambilalihan mineral tambang dengan cara peledakan dengan menggunakan dinamit sehingga mengganggu masyarakat sekitar lokasi tambang. Banyak ibu dan anak-anak yang tidak merasa nyaman karena terus mendengar bunyi ledakan dinamit.

Di lokasi tambang itu juga, demikian Pater Simon, ada ketidakadilan yang timbul misalnya tidak seimbangnya upah buruh dan beban kerja yang mereka emban. “Buruh tambang bekerja dari pagi hingga sore dan mereka diupah Rp27.500/hari untuk buruh laki-laki dan Rp25.000/hari untuk buruh perempuan. Selama bekerja mereka tidak diberikan masker. Mereka dibagikan masker hanya kalau ada kunjungan petugas dari dinas terkait,” kata Pater Simon.

Tolak Tambang
Hingga saat ini JPIC SVD dan OFM serta gereja lokal Manggarai tengah berusaha terus mengadvokasi tambang di Manggarai. Sikap dasar yang diambil adalah menolak tambang di Manggarai.

Menurut Pater Peter Aman OFM, alasan penolakan itu antara lain tambang menyengsarakan masyarakat Manggarai kini dan nanti. Topografi Manggarai dan Flores umumnya tidak cocok untuk tambang.

“Tambang bukan kebutuhan nyata orang Manggarai. Kehadiran tambang di Manggarai itu adalah suatu pelecehan terhadap masyarakat Manggarai, serta merusak dan menghancurkan potensi nyata untuk kemajuan Manggarai. Di mana-mana, tambang lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat,” katanya.

Penolakan tanpa syarat terhadap tambang di Manggarai juga dinyatakan dengan tegas oleh Forum Cendekiawan asal Manggarai di Maumere (FORCAM). Ketua FORCAM, P.Alex Jebadu SVD mengatakan, FORCAM melihat bahwa eksploitasi tambang di Manggarai sungguh merusak lingkungan hidup dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat rakyat Manggarai dan masalah ini harus menjadi perhatian pastoral Gereja.

“FORCAM dengan tegas menolak tambang di Manggarai. Karena itu FORCAM bertekat untuk bekerja sama dengan semua pihak yang terkait seperti JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ende, JPIC SVD Ruteng, JPIC SSpS Flores Barat, JPIC OFM di Jakarta, Walhi dan semua orang yang mempunyai keprihatinan terhadap masalah perusakan lingkungan hidup oleh eksploitasi tambang,” katanya.

FORCAM, demikian Pater Alex, mendukung rencana para mahasiswa Frater Dioses Ruteng di Ritapiret dan mahasiswa Frater SVD Ledalero asal Provinsi Ruteng untuk masing-masing mengadakan kunjungan pastoral ke sebuah paroki di Manggarai. Selama kegiatan kunjungan pastoral itu, para mahasiswa frater akan menjadikah masalah ekologi dan masalah tammbang di Manggarai sebagai tema utama katekese. Seminar ini adalah satu bentuk penyadaran kepada para mahasiswa agar memiliki pemahaman yang memadai terhadap masalah tambang di Manggarai dan kemudian bisa membantu umat memberikan informasi yang benar berkaitan dengan dampak-dampak negatif tambang.



1 komentar:

  1. Ada tambang yang dapat bermaanfaat untuk negara kita, tapi untuk tambang di manggarai barat saya sangat tidak setuju, karena disana tempat pariwisata...
    apa jadinya tempat pariwisata kalau ada aktifitaas eksplor di manggarai barat. diharapkan pemerintah berpikir panjang untuk masarakat kecil.

    BalasHapus