07 April 2009

Bercermin pada Jati Diri Politisi Sejati

Oleh P Markus Tulu SVD
Anggota JPIC SVD Ende

SOKRATES, seorang politisi kawakan Yunani menegaskan kebijaksanaan politiknya demikian; “Seorang politisi yang bijaksana adalah seorang politsi sejati. Politisi sejati adalah orang yang mengerti bahwa hal yang paling buruk dalam kehidupan bersama adalah bukanlah menderita ketidakadilan, melainkan melakukan ketidakadilan.” Sokrates yang dikenal sangat mahir dalam seni berargumentasi dan kritis-tajam mempertanyakan pandangan-pandangan politik tradisional dan memprotes soal moralitas khususnya etika politik seringkali diremehkan oleh para politisi bangsanya.

Kegigihan Sokrates memperjuangkan nilai keadilan dan kebenaran selalu berlangsung dalam suhu politik yang dialogis. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan tajam dan dengan mimbar dialog, Sokrates mengupayakan untuk menghantar sekian banyak orang sebangsanya dari paham-paham yang dangkal, karena sudah dikaburi dengan pelbagai kepentingan, dan paham-paham yang dinodai dengan politik etnis dan kelompok, kepada paham-paham dan pengertian yang mendalam, kritis, jernih dan objektif, yakni paham-paham untuk kepentingan umum, kepentingan bangsa. Bukti kesungguhan Sokrates dalam mengusahakan keadilan dan kebenaran adalah sikapnya terhadap kematiannya.

Oleh kegigihannya mengusahakan soal keadilan dan kebenaran, dirinya diperhadapkan dengan penjara dan kematian. Dalih yang paling busuk untuk mematikan perjuangannya menegakan keadilan dan kebenaran adalah bahwa dirinya dituduh oleh musuh-musuhnya sebagai ateis, bahwa ia mengajar orang-orang muda untuk tidak percaya kepada dewa-dewa. Kendatipun berisiko penjara dan kematian, Sokrates tetap berdiri tegak mengajarkan yang benar dan yang adil. Itulah kesejatian Sokrates dalam pandangan dan sikap politiknya. Banyak tawaran dari orang-orang yang berpihak padanya untuk melarikan diri, tetapi tetap saja Sokrates menolak dan bahkan ia mau mendidik dan memberikan contoh bahwa orang harus taat kepada negara, entah yang dituntut negara sesuai atau tidak dengan soal keadilan dan kebenaran. Baginya keadilan dan kebenaran adalah hal yang termahal untuk kehidupan karena itu sekalipun harus dibayar dengan nyawa ia rela. Karena bagi Sokrates, terlibat dalam berpolitik berarti membaktikan hidupnya untuk kesejahteraan bersama dan kebaikan umum.

Realitas politik bangsa ini menunjukkan bahwa betapa banyak warga bangsa yang menyebut-nyebut dirinya ataupun disebut-sebut pihak lain sebagai politisi-politisi bangsa, atau sekurang-kurangnya politisi daerah. Akan tetapi apakah politisi-politisi yang ada sungguh merupakan politisi sejati? Saya ragu! Walau untuk mengakui kesejatian seorang politisi, memang bukan sebuah pekerjaan ringan. Karena selalu mengandaikan pengenalan secara komprehensif tentang seluruh kepribadian dan kapasitas intelektual serta moralitasnya secara mendalam.

Tidak dapat disangkal bahwa saat-saat menjelang Pemilu Legislatif, juga merupakan saat-saat menjamurnya para calon anggota legislatif, dan bisa sangat mungkin menjadi saat-saat yang membuat masyarakat kita akan menjadi tidak kritis berpolitik. Partisipasi politik memang merupakan esensinya sebuah negara demokrasi, tetapi partisipasi politik tanpah pencerahan politik menjadi sangat mungkin munculnya ketidakcerdasan berpolitik. Lalu pertanyaan, menjadi tanggung jawab siapakah untuk memberikan pencerdasan politik kepada masyarakat? Sejauh mana institusi-institusi dalam masyarakat kita merasa bertanggung jawab dengan realitas politik yang masih begitu memprihatinkan it? Bukan lagi rahasia bahwa institusi-institusi yang menurut kewenangan legal pun terkadang tidak paham harus bagaimana melaksanakan tanggung jawab yang sebenarnya.

Politisi-politisi bangsa dan juga daerah ini, memang tidak berlebihan kalau dibilang terbanyak lahir dari faktor “keberuntungan.” Banyak politisi sering sampai bisa tampil ke panggung politik bukan karena kesejatian perjuangannya dan atau karena jasa-jasa gemilang masa lalunya. Bukan juga karena kualitas intelektual yang mengagumkan dan atau integritas dan kapasitas kepribadian yang membanggakan. Tetapi lebih hanya karena ikatan emosional dan bahkan sentimen politik kedaerahan, kelompok, golongan dan juga etnis. Dampaknya bahwa kita hanya lebih banyak mempunyai politisi-politisi “penggembira” tapi kemudian melepaskan banyak keluhan artinya pandai menghibur tapi pasti munafik dan tipu daya, oportunis, tidak bergigi, gampang disuap dan sering memperjuangkan kepentingannya sendiri, bahkan menjadikan kursi DPR sebagai tempat untuk mencari makan.

Pertanyaan refleksif bagi masyarakat pemilih, “mengapa kita tidak mengubah sikap dan cara pandang kita, dalam kita berpartisipasi di bidang politik, dalam memilih wakil-wakil kita pada pemilu legislatif yang akan datang?” Beranikah kita untuk membongkar dan menyingkirkan ikatan-ikatan primordial, yang sesungguhnya hanya mengkerdilkan cara berpolitik kita, dan membuat kita tidak menjadi kritis dan militan dalam berpolitik? Lebih dari itu, ketika kita salah memilih wakil kita, itu sama halnya dengan sadar kita membuka peluang untuk semakin maraknya terjadinya praktek KKN dan konspirasi politik dalam tubuh penguasa yang serakah dan arogan, sementara kita masyarakat pemilih terus dibiarkan tidak terurus dan bahkan bisa terjadi hak-hak kita orang kecil dirampas dengan cara sewenang-wenang pada gilirannya.

Menjadi seorang politisi sejati di zaman reformasi sekarang ini, mestinya pertama-tama merasa terpanggil untuk membaktikan hidupnya demi kebaikan bersama dan kesejahteraan masyarakat. Seorang politisi sejati, mestinya menjadi pejuang yang militan, yang setia memperjuangkan keadilan dan menegakkan kebenaran. Politisi sejati, adalah orang yang dengan sikap kritis dan tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat, dan dengan gigih berjuang untuk membela rakyat kecil yang hak-haknya seringkali dilecehkan, dan bahkan dirampas hak hidupnya oleh arogansi sebuah rezim yang represif dan otoriter. Seorang politisi sejati tidak berpikir untuk mengutamakan kepentingan pribadi, tetapi bakti diri untuk kepentingan umum dan kesejahteraan bersama.

Seorang politisi sejati mesti menyadari bahwa punggungnya adalah tempat topangan yang kokoh untuk menopang berbagai persoalan masyarakat . Dada dan hatinya adalah benteng pertahanan kuat untuk menampung pelbagai aspirasi masyarakat yang datang. Kepala dan otaknya adalah sumber inspirasi untuk menghasilkan solusi-solusi dan kebijakan-kebijakan yang realistis dan akurat untuk perubahan hidup masyarakat banyak. Mata dan telinganya adalah “cahaya” untuk tetap dan terus saja melihat dan mendengarkan apa yang terjadi dan yang terus meliliti hidup masyarakat. Kaki dan tangannya adalah perwujudan dari inspirasi, aspirasi dan sikap kritis serta tanggap terhadap psersoalan-persoalan masyarakat banyak.

Kehadiran politisi sejati memang tuntutan mendesak bagi kelompok masyarakat kritis masa kini. Tapi apakah masyarakat umum sudah mendapatkan pencerahan atau pemberdayaan politik yang memadai untuk akhirnya bisa secara bersama mengusung politisi-politisi harapan itu? Kenyataan adalah bahwa kelompok masyarakat kritis adalah kelompok yang minoritas dalam masyarakat kita. Seringkali kelompok masyarakat kritis ini berhadapan dengan kelompok yang punya kuasa, punya uang dan punya senjata. Berhadapan dengan pihak-pihak yang punya kuasa, uang dan senjata, kelompok minorotas intelektual dicap sebagai penantang kebijakan pemerintah dan penghalang pembangunan bangsa. Kendatipun cap yang ada sebenarnya cuma dalih yang menutupi kelemahan dan kebobrokan dalam mereka mengelola politik. Dan itulah buruknya pemerintah kita.

Akan tetapi kekuasaan yang sewenang-wenang dan dianggap kuat bukan berarti terlalu sulit untuk ditumbangkan. Menghadapi realitas politik yang seperti sekarang ini adalah konsistensi sikap politik dari masyarakat banyak menjadi yang terpenting dan mendesak. Masyarakat banyak harus bersatu sikap melawan segala yang jahat secara bersama. Dan untuk mendapatkan kesatuan sikap masyarakat, atau masyarakat tidak gampang dipolarisasi oleh kekuasaan yang serakah, maka sejak sekarang dan pada pemilu legislatif ini kita perlu tampilkan politisi-politisi sejati, yakni politisi-politisi yang mengutamakan masyarakat banyak, yang bertekad adanya perubahan dan yang berani berseberangan dengan kekuasaan yang tidak merakyat, dan dengan pemodal yang serakah serta dengan senjata yang dipakai secara sewenang-wenang. Kendatipun akhirnya politisi-politisi sejati itu harus berhadapan dengan risiko politis dan jabatan yang harus dipertaruhkan, tapi bercermin pada kesejatian sikap politik Sokrates, mudah-mudahan politisi-politisi yang akan kita usung adalah orang-orang yang cerdas secara intelektual dan emosional, bermartabat, dan mempunyai integritas moral, sehingga pada waktunya mereka sungguh menunjukkan kesejatian sikap politiknya sebagai bakti hidupnya bagi kesejahteraan masyarakat banyak. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar