07 April 2009

Perempuan Lebih Banyak, Lelaki Punya Kekuasaan

Oleh Blanca Rosales
Sindikasi Pantau

PADA awal tahun ajaran baru di universitas-universitas Peru bulan ini, jumlah perempuan berkisar antara 65 dan 72 persen dari total mahasiswa yang mengambil jurusan komunikasi dan jurnalisme di tahun pertama. Fenomena ini menunjukkan peningkatan keberadaan wartawan perempuan di suratkabar-suratkabar di negeri ini.
Tapi mayoritas posisi pengambil keputusan di media cetak dan penyiaran tetap di tangan laki-laki.

“Kita harus menghadapi kenyatan ini: perempuan punya keunggulan dalam jumlah di ruang-ruang pemberitaan, tapi mereka bukan pengambil keputusan,” ujar Zuliana Lainez, sekjen National Association of Journalists (ANP), kepada IPS pada National Meeting of Women Journalists ke-3 di Lima awal bulan ini.
“Seperti juga yang dialami negara lain seperti Rusia atau Swedia, perempuan di Peru merupakan angkatan kerja dalam jurnalisme, tapi mereka tak menjadi pengambil keputusan,” ujarnya.

Tak satu pun suratkabar komersial di Peru dikepalai seorang perempuan. Hanya majalah yang fokus pada isu perempuan atau hiburan dan dunia pertunjukan yang memiliki pemimpin redaksi perempuan.

Hanya tiga dari 49 stasiun radio milik National Radio Coordination Committee (CNR), asosiasi stasiun radio komunitas, yang punya direktur perempuan, dan perempuan hanya mengepalai sedikit program radio di media penyiaran seluruh negeri.

Di televisi, perempuan hanya mengepalai dua program berita nasional, satu di antaranya mengudara pada hari Minggu. Tapi perempuan hampir selalu dipilih untuk membawakan program berita dan membacakan berita di radio, dan biasanya bersama seorang lelaki.

Hingga kini tak ada data rinci mengenai proporsi laki-laki dan perempuan yang bekerja sebagai wartawan di Peru. Tapi organisasi nonpemerintah Calandria mengatakan, perubahan drastis terjadi sejak 1997, ketika mereka merilis sebuah laporan mendalam mengenai gender dan pasar tenaga kerja di media.

Studi mereka, “Comunicadoras: Competencias por la Igualdad” (Komunikator Perempuan: Potensi untuk Kesetaraan), menyebutkan bahwa 31 persen wartawan yang bekerja di suratkabar adalah perempuan. Di televisi, proporsinya 26,8 persen.

Rosa Maria Alfaro, penulis studi itu, mengatakan bahwa peningkatan keberadaan perempuan di ruang pemberitaan dan lulusan jurusan komunikasi atau jurnalisme di 34 universitas di Peru setiap tahunnya sama sekali berkontradiksi dengan proporsi perempuan yang menjadi editor, produser, eksekutif, atau pemimpin redaksi.

Kini, sebagaimana tahun 1997, “Ada ketidakseimbangan antara persepsi publik mengenai partisipasi perempuan di media dan kekuatan mereka dalam industri media,” ujar Alfaro, yang mengkoordinasi studi mengenai gender dan media di Amerika Latin, kepada IPS.

Calandria, yang didirikan pada 1984, adalah asosiasi jaringan sosial yang mendukung kesetaraan gender di bidang komunikasi sebagai cara mendorong kepemimpinan perempuan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan.

Langit-Langit Kaca Universal
Global Media Monitoring Project (GMMP) mengkaji keterwakilan perempuan di sektor media dalam perspektif gender setiap lima tahun. Ia dilakukan oleh World Association for Christian Communication (WACC), organisasi profesional yang berkaitan dengan gereja dan berbasis di London yang bekerja atas dasar agama dan partner sekuler untuk mempromosikan hak-hak komunikasi bagi perubahan sosial.

Kajian terbaru GMMP, dirilis pada 2005 dan berjudul “Who Makes the News?”, melaporkan bahwa 57 persen presenter televisi adalah perempuan. Tapi hanya 29 persen berita televisi yang ditulis oleh perempuan.

Sementara itu, hanya 32 persen dari apa yang dinamakan “berita keras” ditulis atau diliput oleh perempuan, yang lebih sering mendapatkan laporan bertema “ringan”, seperti isu-isu sosial, keluarga, atau seni dan “gaya hidup”. 40 persen berita “ringan” diliput oleh perempuan.

Pada 2002 sebuah laporan Canadian Newspaper Association (CNA) menyebutkan bahwa perempuan hanya menguasai delapan persen posisi pemimpin redaksi, dan 12 persen editor. Eastern Africa Journalists Association (EAJA) mengatakan pada 2008 bahwa kurang dari 20 persen posisi editor di kawasan itu yang diduduki perempuan.

Lainez mengaitkan fakta ini dengan situasi di Amerika Latin, yang menurut International Federation of Journalists (IFJ), 27,3 persen wartawan adalah perempuan –kecil sekali untuk mencapai posisi puncak pengambil keputusan.

Apa yang harus dilakukan untuk mematahkan mantera ini, yang menjadikan ruang-ruang pemberitaan sebagai tempat perbudakan? IFJ punya jawabannya, yang muncul pada Pertemuan Wartawan Perempuan di Peru: serikat-serikat dan asosiasi profesional harus bekerja dengan kebulatan terkad untuk meningkatkan jumlah perempuan yang duduk di badan pengambil keputusan di media.

Buku panduan wartawan IFJ, “Getting the Balance Right: Gender Equality in Journalism,” dirilis bulan ini, menekankan perlunya memperlakukan perempuan di tempat kerja, dan bagaimana mereka memperlakukan sesamanya, yang menunjukkan solidaritas gender.

Hanya inilah cara untuk membangun kepemimpinan perempuan di media, yang akan membuka pintu dan kesempatan bagi perempuan yang berkualitas baik, tulis buku tersebut.

Melawan Prasangka
Enith Fasanando, direktur program radio di Tarapoto, sebuah kota di daerah hutan di utara Peru, mengatakan kepada IPS tentang pengalaman pribadinya, dan banyak wartawan perempuan tentu akan setuju dengannya.

“Sulit untuk mengepalai satu tim dengan lima lelaki dan memberi mereka arahan. Sebab, mereka tak akan mau menerima perintah dari seorang perempuan. Sebagai contoh, ketika seorang kolega dan saya sedang menyajikan berita, dia akan membuat saya terlihat buruk atau meremehkan pendapat saya,” ujarnya.

“Sangat menyakitkan mengalami diskriminasi dari orang seprofesi, yang menolak untuk menghargai Anda, sekalipun Anda pantas menerimanya, hanya karena Anda seorang perempuan, dan Anda mendapatkan posisi itu dengan usaha Anda sendiri,” ujarnya. Fasanando harus membawa masalah itu ke pemilik (laki-laki) stasiun radio untuk menyelesaikannya.

Zenaida Solis, salah seorang wartawan ternama di negeri itu, yang selama tiga dekade menyapa pemirsanya setiap hari di televisi dan radio, mengatakan kepada IPS bahwa dia harus berontak terhadap upaya akan menjadikannya pajangan dan berperan sebagai “gadis cantik”.

Ketika dia mulai bekerja di televisi, lelaki memegang tanggung jawab pemberitaan dan wawancara penting. Tapi secara bertahap dia memasukkan komentar dan opini-opininya, menciptakan gaya unik yang dia pertahankan “tanpa mengkhianati hati nurani.”

Dengan cepat Solis menjadi penanggung jawab program radio hariannya selama 15 tahun, yang sempat dia tinggalkan untuk mengasuh anak-anaknya, karena jam kerja yang melelahkan dan menyita waktu. Politisi, pengusaha, dan pemimpin opini tampil di program bincang-bincang yang menjawab telepon dari pendengar.

“Saya selalu punya masalah dengan pemilik media tempat saya pernah bekerja,” ujar Solis, yang yakin bahwa konfrontasi akan selalu datang pada wartawan perempuan. Anggota-anggota komunitas bisnis sering menghindarinya ketimbang politisi, “tapi tak satu pun dari mereka bisa dengan mudah diwawancarai,” ujarnya.

Dalam pandangannya, pada akhirnya kekuatan ekonomilah yang menentukan keberlangsungan atau tidaknya proyek jurnalistik beserta timnya. Pemilik media tradisional selalu mencoba membangun hubungan dengan wartawan, sejalan dengan kepentingan finansial mereka,” dan terkadang mereka mendapatkannya, terutama jika bekerja sama dengan profesional muda,” ujarnya.

“Jika Anda jujur dan bekerja dengan integritas, dan lebih dari itu Anda seorang perempuan, saatnya tiba ketika Anda harus meninggalkannya, dan Anda pergi,” ujarnya, menyimpulkan.

Pekerjaan Sama, Bayaran Beda
Apakah perempuan menikmati kondisi setara dalam jurnalisme? Fasanando tak ragu untuk mengulang: “Tidak. Kami bekerja sesuai komitmen kami pada profesi ini, tapi tetap saja ada bermacam hambatan; bayaran menjadi yang pertama dan terpenting.”

“Kolega saya, yang memikul tanggung jawab sama seperti saya, dibayar tiga kali lebih banyak, sekalipun saya yang bertanggung jawab penuh di depan audiens,” ujarnya.

Solis menceritakan sebuah anekdot tentang pemilik penerbitan yang membayar pria lebih besar karena “pria adalah pencari nafkah keluarga,” dan tidak mempekerjakan banyak perempuan karena “mereka hanya bekerja dengan baik hingga mereka jatuh cinta.”
Untuk level dan tanggung jawab yang sama, perempuan dibayar lebih kecil ketimbang pria. Pada saat yang sama, ketika banyak perempuan bekerja paruh waktu atau lepas untuk menyeimbangkan tanggung jawab keluarga, perempuan lebih rentan dalam hal jaminan kerja, promosi, dan status hukumnya, ujar para peserta dalam Pertemuan Wartawan Perempuan itu.

Tapi tampaknya ada oasis dalam keadilan gender dalam serikat-serikat jurnalisme. “Ada dua perempuan yang memimpin serikat dan sisanya pria, tapi kami bekerja sama secara setara, mempromosikan tujuan yang sama, dan mereka mendorong tuntutan kami,” ujar Fasanando.

Perempuan Korban Reproduksi Stereotipe
Pertemuan Wartawan Perempuan di Lima juga menyinggung masalah korban sebagai pelaku (victimiser), seperti perempuan yang mengalami diskriminasi dan stereotipe seksis di ruang-ruang pemberitaan dan melalui media, dan lalu cenderung untuk mereproduksi seperti diskriminasi dalam pekerjaan mereka sebagai reporter.

Perempuan, yang merupakan korban diskriminasi, dalam hidup dan profesinya bisa terasing, mengulang, dan memaksakan “machista” atau persepsi perempuan yang seksis, dan memerankan diri sebagai objek di ruang pemberitaan, ujar studi Calandria tahun 1997, yang setiap detilnya sesuai kondisi saat ini, ujar wartawan-wartawan perempuan.

Ini seolah-olah banyak wartawan perempuan setuju untuk “tetap pada peran mereka sebagai pencuci piring, tapi kali ini di depan publik,” ujar seorang peserta pertemuan itu.

Media perempuan ternama, proporsi terbesarnya pada apa yang dijalankan perempuan, memperkenalkan perempuan sebagai objek dan reproduksi yang anakronistis dan macho (machista) klise mengenai peran perempuan: “anak kucing seksi yang menarik, ibu yang suci, penyihir yang misterius, orang yang gila jabatan politik dan perusahaan,” sebagaimana daftar dalam buku panduan IFJ.

Beragam stereotipe yang membatasi kekuatan perempuan dalam masyarakat ini dikutuk dalam sebuah deklarasi yang diadopsi pada Konferensi PBB mengenai Perempuan ke-4 di Beijing pada 1995.

Dalam Platform Aksinya, Konferensi Beijing menyerukan agar pemilik media dan profesional mengembangkan mekanisme pengaturan yang menampilkan gambaran perempuan secara lebih positif, akurat, seimbang, dan beragam di media.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar