30 Maret 2009

Di Balik Gambar Caleg

Oleh Peter C. Aman
Direktur JPIC-OFM Indonesia

DEKORASI pesta demokrasi tahun 2009 ini kelihatannya jorok dan romol. Artis Leony merasa tak tertarik pada hingar-bingar politik karena ulah para caleg yang memasang gambarnya di mana-mana, menghilangkan keindahan ruang bersama di kota-kota. Nyaris tak ada pohon di tepi-tepi jalan, yang tidak dilukai paku supaya wajah sang caleg dapat terpampang dan kelihatan, tak peduli yang dilukai adalah pohon hidup. Padahal dengan memaku pohon hidup, dimensi ekologis pembangunan sudah disepelekan sejak sebelum memangku kekuasaan.

Kampanye kita menjadi “ritus memperkenalkan diri” atau sosialisasi diri, supaya si caleg dikenal, terutama wajahnya, karena pemilu kita memilih “wajah” orang. Salah satu keluhan berhubungan dengan mutu kampanye adalah “tersembunyinya” visi dan program partai serta gagasan brilian caleg sebagai pemikiran alternatif-efektif untuk membebaskan rakyat dan bangsa ini dari berbagai belenggu sosial-ekonomi. Wacana kampanye tidak lebih dari menghambur-hamburkan kata-kata, yang mendendangkan kehebatan partai atau figur politisi sendiri, bukan buah pemikiran dan gagasan politik pembangunan yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa ini.

Indah Berita dari Fakta
Kampanye sebagai medium sosialisasi partai serta ideologinya, direduksi menjadi perkara pasang tampang caleg, pesona diri, bukan “isi kepalanya” yang tertuang dalam gagasan alternatif yang efektif dan aplikatif bagi kebaikan dan kemajuan bersama. Dampaknya jelas, kampanye menjadi arena gerombolan massa atau warna-warni bendera, bukan ruang publik serta arena wacana bernas dan jujur untuk disajikan kepada khalayak secara meyakinan dan rasional.

Model kampanye seperti ini menuntut kecerdasan pemilih untuk menelisik sang caleg, bukan saja latar-belakang serta track-record-nya, tetapi membaca dengan cermat makna dari fenomena “jual tampang”, agar pemilih tidak terjebak dan mudah terbuai oleh suatu tampilan atau tebar pesona. Membaca gejala “jual tampang” para caleg bersama Edmund Husserl berarti mencoba menyingkap apa substansi (noumenon) dari balik gejala (fenomenon) jual tampang itu.

Fenomenologi Husserl mungkin tak tepat dicerna dalam konteks kampanye kita, tetapi satu hal yang sulit ditampik adalah bahwa dia membantu kita untuk sadar bahwa apa yang kelihatan (gejala, fenomen) bukanlah seluruh kebenaran dari dia yang menampilkan diri itu. Penampilan atau visualisasi lahiriah itu barulah sekadar gejala dan bukan substansi. Indahnya gambar dari perspektif seni fotografi sekalipun, tidak identik dengan “indahnya” integritas diri. Maka berlaku pepatah ”indah berita dari fakta”.

Tentang hal ini para pemilih sudah mulai cerdas. Mereka tidak lagi begitu saja mau dikerahkan ke lapangan-lapangan kota untuk mendengar cuap-cuap jurkam. Apatisme politik pada masyarakat semakin meluas justru karena pemilu menjadi sekadar acara periodik lima tahunan untuk berebut kekuasaan, bukan tonggak sejarah bangsa untuk suatu perubahan menuju kondisi yang lebih baik dan lebih sejahtera. Inilah argumen dasar untuk menjelaskan mengapa angka golput dari pemilu ke pemilu terus bertambah dan tidak berkurang.

Realitas ini diperparah, ketika menyimak perilaku politisi yang berambisi menjadi pemimpin. Mereka tidak sibuk berdiskusi dan kemudian menggelontorkan ide-ide cerdas untuk dijadikan wacana, diskusi atau debat publik. Yang dibuat adalah silaturahmi, persekongkolan atau koalisi membentuk kelompok kekuatan untuk merebut kekuasaan. Ketika kelak berkuasa, kekuasaan dipahami sebagai “berkah” atau kesuksesan mereka sendiri, bukan mandat atau amanah rakyat. Kesibukan pokok adalah membagi jatah-jatah kekuasaan di antara mereka dengan segala kemudahan yang mengikutinya.

Karena itu tak mudah mematahkan sinyalemen yang menegaskan bahwa pemilu kita baru sekadar instrumen dari demokrasi bukan demokrasi seutuhnya. Hasil dari instrumentalisasi demokrasi adalah kekuasaan oligarkis: komplotan para penguasa yang menghayati kekuasaan sebagai kesempatan memperjuangkan kepentingan diri serta komplotannya dan bukan rakyat banyak.

Di Balik Gambar Caleg (?)
Fenomena pasang gambar memancarkan suatu kecenderungan psikologis tertentu. Gambar diri yang ditampilkan tentu saja yang paling menyenangkan dan memuaskan si caleg sendiri. Proses auto-seleksi menjadi niscaya, sehingga gambar yang diloloskan ke ruang publik hanyalah gambar dengan tampilan prima. Si caleg puas melihat gambar dirinya. Dia senang melihat dirinya sendiri dan dia menikmatinya.

Asumsi di balik kenyataan ini sesungguhnya sederhana saja. Sebagaimana si caleg suka dan senang dengan foto dirinya, maka si pemilih pun diharapkan demikian juga. Si pemilih diharapkan menjadi seperti si caleg, suka akan foto dirinya, lantas “tergoda” untuk memilih atau mencontreng foto yang dipampangkan itu. Proses membuat si caleg akan yakin, bahwa dia dipilih karena orang menyenangi dia (baca = foto dirinya). Pemilih menyenangi si caleg (fotonya) sebagaimana dia sendiri menyenangi foto diri yang ditampilkannya ke publik. Para pemilih ditarik ke sekitar si“aku”.

Hal ini akan menyingkapkan kecenderungan psikologis lain yakni egosentrisme, yang lain terpusat pada “aku”, menyukai dan menyenangi “aku”. Si”aku” menikmatinya dan melalui pemilu kecenderungan (psikologis) untuk menyukai dirinya sendiri mendapatkan legitimasi sosial-politik. Gambar dirinya dicontreng atau dipilih. Dia menjadi pemimpin karena gambarnya dicontreng (disukai). Persepsi tentang kekuasaan politik seperti ini sudah terjangkit virus irrasionalitas dan demoralisasi.

Kalau persepsi seperti ini mendekati kebenaran, maka ada yang cacat dalam realitas politik kita. Politik (polis : kota, warga seluruhnya) kehilangan makna hakikinya. Politik kehilangan hakikatnya. Politik tidak lagi berarti mengurus kepentingan “polis” (warga, rakyat banyak), tetapi mengurus kepentingan si “aku”. Pemilu bukan lagi aset sosial politik untuk suatu perubahan demi pencapaian kesejahteraan umum. Pemilu menjadi medium memperjuangkan kepentingan si “aku” dan komplotannya. Kecenderungan egosentris (pribadi dan kelompok) ini sukses meraih legitimasi sosial-politik dari pemilih, melalui pencontrengan gambar si “aku”.

Lantas, seluruh peristiwa dan hingar bingar kampanye serta pemilu tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan akan kepuasan si“aku”, baik aku individual maupun aku comunal (kelompok kepentingan) yang memaknai pemilu sebagai sarana pencapaian kepentingan itu. Pemilu menjadi medium aktualisasi kecenderungan ‘narsis’ si “aku” baik kepentingannya maupun pandangan, ideologi atau gagasan sempit yang berputar sekitar diri dan keyakinan-keyakinan pribadi maupun kelompok.

Kecenderungan ini mestinya diwaspadai sungguh-sungguh karena kecemasan akan si”aku” atau kelompok, yang memanfaatkan pemilu untuk kepentingan diri dan kelompoknya, sudah menjadi pengetahuan umum. Demokrasi di tangan manusia jelas tidak sempurna, tetapi rasionalitas dan kecerdasan sosial, mesti mampu menangkal pencederaan demokrasi. Demokrasi mesti ‘dipersenjatai’ rasionalitas dan moralitas yang tertuang dalam konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mudah dicerna, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Itu yang diharapkan dari para caleg kita, bukan sekedar foto diri yang lebih terasosiasi ke kecenderungan narsis dalam perspektif Freudian, dan bukan kecerdasan sosial.

Kecerdasan intelektual dan emosional tentu saja penting, tetapi itu belum sempurna kalau tanpa kecerdasaran sosial-moral. Jangan lupa, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah harga mati. Caleg yang hanya memampang wajah dan bukan gagasan belum memenuhi syarat untuk dicontreng. Biarkan dia menikmati dirinya dan gambar dirinya. Taruhan pemilu adalah kesatuan dan kepentingan kesejahteraan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Caleg narsis termasuk politisi sesat yang menyesatkan. Ini kecemasan yang wajar di balik sekian banyak gambar yang menyesakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar