13 Maret 2009

Dilema Kematian Romo Faustin dan Habitus Baru

Oleh Melky Koli Baran
Aktivis LSM

Padang rumput Dena Biko, Kelurahan Olakile, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo jadi saksi sejarah. Satu lagi sejarah tampilan aparat yang belum profesional. Sejarah itu tercatat Senin 13 Oktober 2008.

Bulan Oktober yang terik dan panas untuk alam Flores. Di padang nan terik itulah Romo Faustin Sega ditemukan tergeletak kaku. Lalu secara dini dan tergesah-gesah Polres Ngada dengan dukungan visum Rumah Sakit Bajawa membuat pernyataan final dan pasti bahwa Romo Faustin mati wajar. Sebabnya adalah serangan jantung. Polisi dan dokter Rumah Sakit, dua otoritas profesional telah membuat keputusan yang tergesah-gesah, tidak cermat, sangat keliru dan karena itu tidak profesional.

Keputusan keliru dan fatal atas nyawa manusia, dan karena itu pula menjadi keputusan yang tidak bernurani dan tidak bertanggung jawab secara manusiawi. Padahal keduanya mengatasnamai institusi dan profesionalitas. Institusi polisi dengan profesionalitas intelijen dan penyidikan serta Rumah Sakit dengan profesionalitas medis-kedokteran dan kemanusiaan. Analisa intelijen dan diagnosa yang ternyata boleh dikatakan telah tidak mewakili profesi yang diembannya untuk memberikan kepastian pada masyarakat yang telah mempercayai profesi tersebut.
Keputusan ini dipandang final. Dengan itu Polres Ngada menutup kasus ini. Karena itu pula, maka ketika Tim Pencari Fakta (TPF) mengungkap sejumlah temuan, Kapolres Ngada seakan kebakaran jenggot. Dengan percaya diri, ia sempat membuat panggilan menghadap pada ketua TPF. Tindakan ini kemudian mendapatkan tanggapan, kritik dan protes dari berbagai pihak. Dapat diduga, panggilan atas ketua TPF dilatari kepanikan karena sadar keprofesionalannya sedang digugat. Diduga pula, pamor Polres Ngada semakin melorot ketika berbekal temuan-temuan awal masyarakat dan TPF penyidikan ditangani langsung oleh Polda NTT, yang kemudian memperlihatkan fakta yang bertolak belakang dengan keputusan dini sebelumnya.
Akhirnya, yang benar akan muncul sebagai kebenaran dan sulit ditutupi sekalipun oleh institusi dan otorita profesional. Di sisi lain, kebohongan yang telah dilakoni dengan sendirinya terbongkar dan memperlihatkan dirinya di depan umum untuk menerima ejekan dan cercaan. Di tangan seorang polisi dengan jabatan Kapolres, wibawa institusi ini telah dipertaruhkan kredibilitasnya ketika kebenaran kembali menguak.
Padahal dalam prosedur penyidikan oleh kepolisian dikenal asas praduga tak bersalah, yang seharusnya berlaku juga untuk para korban. Jika para pelaku sebuah tindak kriminal dilindungi asas praduga tak bersalah, maka korban yang sudah matipun seharusnya mendapat hak yang sama sebelum menjatuhkan vonis tentang sebab-sebab kematiannya.
Sebuah vonis harus dijatuhkan secara hati-hati, teliti dan didukung berbagai referensi awal yang benar dan meyakinkan. Dalam kasus ini, telah berbulan-bulan almarhum Romo Faustin divonis secara tidak profesional oleh polisi dan dokter. Ia divonis mati karena serangan jantung, padahal bukan. Karena itu hukumnya jelas: rehabilitasi. Setelah penyidikan oleh Polda NTT mengungkap kebenaran bahwa Romo Faustim mati dibunuh, maka Polres Ngada dan Rumah sakit Bajawa wajib melakukan rehabilitasi. Rehabilitasi kepada almarhum Romo Faustin, rehabilitasi kepada keluarga, rehabilitasi kepada umat Katolik dan rehabilitasi kepada masyarakat seluruhnya.
Dalam proses penyidikan, polisi yang profesional akan melakukan olah TKP secara teliti, kemudian melakukan analisis cermat atas data dan fakta lapangan di TKP sebelum membuat sebuah keputusan pemolisian. Selain tanda-tanda fisik dan posisi korban, juga suasana TKP seharusnya menjadi dasar analisis sebelum membuat kesimpulan. Di tangan seorang polisi penyidik profesional, sekecil apapun tanda atau gejala yang ada di lokasi TKP, akan dijadikan alat analisis atau petunjuk.
Ada kesan, dalam sejumlah kasus dan pengalaman, polisi mungkin karena tidak profesional lalu menyederhanakan kasus dengan membuat keputusan-keputusan yang gegaba dan tidak masuk akal. Tahun 1990-an, di Lembata, Stefen Manuk, anak Danramil Lembata saat itu, ditemukan sekarat di jalan dengan luka memar hampir sekujur tubuh. Oleh polisi di Lewoleba, dengan mudah menyimpulkan bahwa korban tergilas sepeda motor temannya.
Tahun 2004 silam di Ngada juga heboh dengan kasus kematian tak wajar nona Olga, yang oleh polisi di Ngada disimpulkan sebagai korban lalu lintas. Hingga kini kasus kematian Olga dianggap selesai, walau sejumlah pihak tentu menyimpan ceritera aneh dalam kasus ini. Penulis juga punya sedikit ceritera tentang keanehan kematian Olga dan dugaan kelompok pelaku kriminal dari seorang anggota DPRD Ngada saat itu dalam penerbangan bersama dari Waingapu ke Maumere tahun 2004 silam.
Lalu di Flores Timur tahun 2008 kemarin, Sekretaris DPC PDIP Flores Timur Yoakim Gestruli Atamaran ditemukan mati di jalan. Penyidik Polres Flotim juga mendukung dugaan bahwa almarhum adalah korban kecelakaan lalu lintas, padahal sepeda motor yang dikendarainya dalalam keadaan utuh di dekat jenashnya. Kemudian, oleh Polda NTT kasus ini mengarah ke pembunuhan berencana. Lagi-lagi, olah TKP kurang profesional.
Demikian juga dokter sebagai sebuah profesi. Secara medis seharusnya seorang dokter bisa mempertanggungjawabkan visum yang ia keluarkan. Apa jadinya jika kemudian visum seorang dokter dimentahkan. Artinya dokter bersangkutan tidak bisa diandalkan sesuai keahlian dan disiplin ilmu yang ia miliki. Dokter demikian patut diragukan masyarakat. Korban serangan jantung tentu disertai tanda-tanda fisik pada jenasah. Hal ini sangat dipahami para petugas medis walau berijasah SPK sekalipun. Lalu bagaimana dengan seorang dokter? Atas dasar pertimbangan medis manakah, ia menyatakan korban mati wajar karena serangan jantung.
Kini, keputusan polisi maupun visum dokter telah tidak berarti di mata masyarakat. Kini wibawah seorang Kapolres di Ngada sekurangnya mengalami penurunan. Karena itu, wartawan yang hendak meliput kasus ini setelah terbongkar kebenarannya dioper dari satu ruangan ke ruangan lain di Polres Ngada. Saling tolak memberikan keterangan pers bisa dibaca bahwa polisi di Ngada sedang tidak perecaya diri untuk memberikan keterangan di depan umum. Padahal masyarakat menunggu apa sikap profesional polisi dalam kasus ini. Seorang profesional akan tampil berani di muka umum untuk meralat kekeliruan yang pernah dilakukannya. Dan pers merupakan salah satu mitra untuk hal ini. Menolak wartawan dengan alasan tidak jelas bukanlah citra profesional.
Jika kasus ini bisa terungkap selain kerja keras masyarakat, tetapi juga Polda NTT yang bekerja secara profesional. Campur tangan Polda NTT dalam kasus ini sedikitnya memberi kepastian pada publik tentang negeri ini masih memiliki polisi profesional bernurani.
Sebab di tengah dilema moral dan nurani yang terus terombang ambing oleh berbagai kepentingan instant, diperlukan aparat yang bukan saja pintar dan berpangkat tetapi juga bernurani. Orang bernurani tidak asal menjatuhkan vonis tanpa dasar kuat. Orang bernurani memiliki integritas diri yang mampu berpikir dan bertindak melindungi hak setiap orang, termasuk jenasah sekalipun.
Dalam kasus ini, almarhum Romo Faustin berhak untuk mendapatkan pengakuan bahwa dirinya meninggal karena dibunuh dan bukan serangan jantung. Akan menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat seutuhnya jika profesi-profesi yang sangat menentukan kenyamanan dan keselamatan masyarakat justru bertindak tidak profesional dan tidak bernurani.
Ancaman dan tantangan kehidupan ke depan semakin kompleks dan rumit. Sejumlah kasus publik di NTT sangat membutuhkan sentuhan hati aparat yang bernurani. Karena itu, untuk masa depan dan keselamatan martabat rakyat NTT, kita tidak saja membutuhkan sejumlah aparat yang berpangkat dan bergelar akademis.
atas semuanya itu, sangat dibutuhkan profesional-profesional bernurani. Birokrat bernurani, legislatif bernurani, dokter dan paramedis bernurani, polisi bernurani, hakim dan jaksa bernurani, guru dan dosen bernurani, petani bernurani, aktivis LSM bernurani, agamawan dan rohaniwan bernurani dan masyarakat seluruhnya bernurani. Di atas semuanya kita bangun habitus baru negeri ini.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar