13 Maret 2009

Potret Buram Polisi Kita

*Dari Kefamenanu ke Bajawa

Oleh Cyrilus Bau Engo
Anggota DPRD NTT

Ini ceritera dari Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Paulus Usnaat ditahan di ruang tahanan Kepolisian Sektor (Polsek) Nunpene wilayah hukum Kepolisian Resor (Polres) Timor Tengah Utara. Usnaat disangka telah melakukan tindakan melanggar hukum dengan menghamili seorang gadis.

Dari berbagai berita media cetak dan elektronik, diketahui bahwa selama sepuluh hari ditahan dia tidak diperiksa atau dibuatkan berita acara pemeriksaan sampai akhirnya dia diketemukan tewas dalam tahanan dengan leher tergorok dan kemaluan dipotong. Jenazahnya diatur sedemikian rupa sehingga terkesan dia bunuh diri meskipun dengan keganjilan bahwa di dalam ruang tahanan, tidak ada percikan darah.
Kemudian terungkap (menurut versi polisi) bahwa Paulus Usnaat menjadi korban pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Baltasar Talan dan kawan-kawan dan terungkap pula bahwa Agus Talan, Ketua DPRD Timor Tengah Utara disangkakan sebagai otak pembunuhan berencana tersebut.

Dari rekonstruksi yang dilakukan oleh polisi bersama para tersangka terungkap bahwa para pelaku pembunuhan begitu leluasa melakukan pembunuhan. Padahal, Paulus Usnaat berada dalam sel tahanan milik Polsek Nunpene. Pertanyaan kita ialah dimanakah polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi sang tahanan yang masih berstatus tersangka demi menghormati asas praduga tak bersalah.
Ironis memang. Setelah tertangkapnya Baltasar Talan dan kawan-kawan beserta Agus Talan, semua perhatian tertuju kepada bagaimana membuktikan bahwa mereka memang bersalah membunuh Paulus Usnaat. Tidak ada lagi orang yang mempertanyakan tanggung jawab polisi terhadap keamanan dan perlindungan terhadap Paulus Usnaat yang berstatus tahanan Polsek Nunpene. Apalagi, menurut penasihat hukum Agus Talan yaitu Gustaf Yacob, tempat kejadian perkara telah dirusakkan melalui usaha renovasi sel tahanan di Polsek Nunpene. Apakah ini tidak tergolong upaya mengaburkan tempat kejadian perkara karena ada kejadian yang terungkap kemudian ternyata sel tahanan tidak terkunci. Pengusutan terhadap polisi yang bertugas menjaga tahanan dan jajaran polisi yang bertanggung jawab luput dari pemberitaan dan dengan demikian luput dari perhatian publik. Mereka mungkin saja akan dikenakan sanksi disiplin karena mereka lalai menjalankan tugas. Tetapi kita semua tahu kelalaian mereka telah menyebabkan hilangnya nyawa Paulus Usnaat yang harusnya mereka lindungi dan amankan.
Ceritera dari kota dingin Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada lain lagi. Senin, 13 Oktober 2008, jenazah Romo Faustinus Sega Pr. ditemukan sudah membusuk di Dena Biko, Kelurahan Olakile, Kecamatan Boawae. Entah bagaimana penanganan polisi di tempat kejadian perkara, apakah diamankan atau tidak, jenazah dibawa ke Rumah Sakit Umum Bajawa, kemudian divisum dan beberapa saat sesudah itu polisi menyatakan Romo Faustinus meninggal wajar karena serangan jantung.
Memang beberapa hari kemudian, Theresia Tawa menyerahkan diri karena takut diadili oleh umat Katolik di Paroki Raja karena kemudian ketahuan bahwa dialah yang bersama-sama dengan Romo Faustinus pada hari Sabtu, 11 Oktober 2008. Dan sejak saat itulah Romo Faustin tidak lagi kembali ke Paroki Raja tempatnya bertugas. Dia menyerahkan diri setelah jenazah Romo Faustin diketemukan, bukan karena ditangkap polisi berkat penyelidikan polisi atau oleh upaya investigasi polisi dari hasil olah tempat kejadian perkara.
Sejak jenazah Romo Faustin diketemukan, sampai berbulan-bulan kemudian, tidak tampak keseriusan pihak Polres Ngada untuk mengusut tuntas kasus ini. Pemeriksaan terhadap saksi kunci Theresia Tawa tidak menunjukkan titik terang. Malahan timbul kesan ada upaya membelokkan kasus ini ke masalah moral. Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada terkesan tidak serius mengusut kasus ini. Ini terbukti ketika beliau tidak mau hadir pada pertemuan Musyawarah Pimpinan Daerah bersama Bupati Ngada dan juga tidak menghadiri Rapat Kerja dengan DPRD Kabupaten Ngada. Beliau sangat reaktif terhadap tanggapan masyarakat misalnya dengan akan menindak Ketua dan Sekretaris KNPI Kabupaten Ngada.
Keuskupan Agung Ende ingin membantu polisi dengan membentuk Tim Pencari Fakta dan Tim Investigasi. Namum hasil pekerjaan tim ini tidak diperhatikan oleh Polres Ngada. Baru setelah dua orang polisi dari Kepolisian Daerah (Polda) NTT turun ke Ngada mulai ada titik terang. Hasil autopsi mendukung hasil kerja penyidik dari Polda NTT. Romo Faustin ternyata mati dibunuh.
Berita terbaru, dua orang anggota polisi dari Pores Ngada mengajak masyarakat di Kecamatan Wolomeze Kabupaten Ngada untuk melakukan penebangan dan pengangkutan kayu cendana secara ilegal. Ketika ditangkap oleh masyarakat dan petugas Kecamatan Wolomeze dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) Kecamatan Wolomeze dan Kecamatan Soa, kedua oknum polisi tersebut berusaha memberikan uang suap kepada salah seorang Babinsa. Mereka pun mengaku bahwa mereka menyuruh masyarakat menebang kayu cendana secara ilegal atas suruhan Kapolres Ngada.
Kasus-kasus di atas merusak citra Polri. Kasus-kasus itu ibarat potret buram polisi kita di tengah-tengah upaya polisi memperbaiki citra di era reformasi setelah polisi bukan lagi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Untuk mengetahui apakah benar kasus-kasus tersebut di atas merusak citra polisi, marilah kita melihat hal ihwal tentang polisi menurut UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 2 UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan.
Doktor Sadjijono, SH,M.Hum, dalam bukunya Seri Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance menulis, fungsi kepolisian secara umum dan mendasar adalah bagian dari administrasi pemerintahan yang fungsinya untuk menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan, dalam arti: (a) Menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku, (b) Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat, warga masyarakat dan negara, (c) Mengayomi dan melindungi masyarakat, warga masyarakat dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu dan merugikan, (d) Memberikan pelayanan kepada masyarakat. (Laksbang Mediatama, 2008, hal 197)
Pasal 13 UU No. 2/2002 menjelaskan tugas pokok kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dan untuk melaksanakan tugas pokok ini, dalam pasal 14 UU No. 2/2002 dijelaskan ada 12 tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam tulisan ini saya hanya mengutip beberapa butir tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti : (e) memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum, (g) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya, (h) menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian, (j) melindungi keselamatana jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sadjijono juga menulis tentang doktrin Polri yaitu Tri Brata, baik yang lama maupun yang telah mengalami perubahan. Tri Brata yang lama, Polisi adalah: (1) Rastra Sewa Kotama, Abdi utama dari pada Nusa dan Bangsa, (2) Nagara Yanotama, warganegara teladan dari pada negara dan (3) Yana Anusyasana Dharma, Wajib menjaga ketertiban pribadi dari pada rakyat. Sedangkan dalam Tri Brata yang sudah mengalami perubahan, berbunyi: Kami Polisi Indonesia: (1) Berbakti Kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam meneggakkaan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (3) Senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban (Ibid, hal 318)
Selanjunya Sadjijono menulis tentang kemungkinan maladministrasi (maladministration) yang dilakukan oleh lembaga kepolisian. Sebagai lembaga negara, kepolisian dapat saja melakukan maladministrasi eksternal kepada masyarakat seperti: (1) menolak laporan masyarakat (2) melakukan penganiayaan atau kekerasan kepada masyarakat (3) keberpihakan dalam penanganan perkara (4) merubah arah kebenaran materil perkara (5) penyalahgunaan wewenang (6) menelantarkan perkara (floating case) (7) pungutan liar (8) menerima suap (juga memberi suap: pen) (9) penerbitan surat yang menimbulkan hak tanpa prosedur (Ibid, hal 281)
Itulah beberapa pengertian dan ketentuan yang mengatur tentang polisi kita. Dengan sedikit pengatahuan yang saya gambarkan ini mudah-mudah-mudahan masyarakat bisa menilai apa yang dilakukan oknum polisi di Kefamenanu dan Bajawa. Saya katakan oknum karena saya berharap masyarakat tetap mempunyai rasa memiliki dan mencintai polisi. Jangan kita menggeneralisir bahwa Polri kita semuanya buram. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Bravo Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar