13 Maret 2009

Kebijakan yang Lebih Ramah dan Lembut

Oleh Daniel Luban
Sindikasi Pantau

HUBUNGAN antara AS dan Rusia, yang mencapai titik nadir Agustus lalu selama perang di Georgia, tampaknya mulai melunak pada bulan pertama pemerintahan Barack Obama.
Meski ada sedikit gesekan –khususnya penutupan pangkalan udara AS di Kyrgyztan atas tekanan Rusia–beberapa minggu terakhir ini kedua pihak mulai menggunakan nada damai dalam retorika mereka. Di pihak AS, dinamika ini telah dimulai oleh tujuan pemerintahan yang baru untuk memperbaiki hubungan diplomatik dengan negara-negara di seluruh dunia, dan keinginan pragmatis untuk bekerja sama dengan Rusia dalam persoalan Afghanistan dan Iran.
Masih ditunggu apakah perubahan retorika ini akan membuahkan kesepakatan penting mengenai pendirian di antara kedua negara. Janji Obama mengenai kebijakan Rusia sejauh ini mengindikasikan adanya berbagai kendala yang akan menghadang di depan: timnya masih diisi sejumlah tokoh yang punya pandangan garis keras dan moralis mengenai hubungan Washington-Moskow.

Hubungan Obama dan Kremlin dimulai dengan awal yang keras. Beberapa jam setelah pemilihannya November lalu, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menyampaikan pidato agresifnya. Dia mengancam akan memasang sistem rudal Iskander di kota Kaliningrad kecuali Obama mengurungkan rencana pemasangan perisai antirudal di Polandia dan Republik Czech.
Sejak itu, nada hubungan keduanya membaik. Pada awal Februari, Wakil Presiden AS Joe Bidden menyampaikan pidato yang disiarkan secara luas pada Konferensi Keamanan Munich. Dia berniat "memencet ulang tombol" terkait hubungan AS-Rusia.
Pidato Biden menuai pujian dari Wakil Perdana Menteri Rusia Sergei Ivanov. Moskow memberi sinyal bahwa pihaknya bisa dibujuk untuk tidak menyebarkan misil di Kaliningrad. Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri AS William Burns menyatakan dua pekan lalu, saat kunjungannya ke Moskow, bahwa AS akan mempertimbangkan kembali rencana pemasangan perisai antirudal di Eropa Timur.
Tapi sejumlah pengamat mempertanyakan apakan nada hangat ini mengindikasikan perubahan kebijakan yang sebenarnya. Strobe Talbott, yang mengarahkan kebijakan Rusia di Departemen Dalam Negeri selama pemerintahan Clinton dan kini mengepalai Brookings Institution, mencatat bahwa pernyataan Kremlin mengenai Kaliningrad baru-baru ini sudah menjadi tuntutan kongkret yang sama seperti pernyataan awal mereka; mereka selalu mengutarakannya dalam bentuk janji-janji ketimbang ancaman.
"Tensinya sudah agak menurun, tapi saya tak yakin substansi dari sikap Rusia benar-benar berubah," ujar Talbott, 19 Februari lalu, dalam sebuah panel mengenai kebijakan Rusia di Brookings.
Sebagian masalah mendasar dan tantangan yang Obama hadapi sama dengan apa yang dihadapi pemerintahan Bush. Sebagai imbalan kerja sama mengenai masalah Afghanistan dan Iran, Medvedev dan Perdana Menteri Vladimir Putin diduga menuntut AS menangguhkan rencana Ukraina dan Georgia bergabung dengan NATO, sejalan dengan rencana pemasangan perisai antirudal di Eropa Timur.
Secara lebih luas, Rusia melihat tanda berakhirnya apa yang disebutnya sebagai campur tangan Barat di negara-negara bekas Uni Soviet, dan akhir dari tuntutan perbaikan sistem pemerintahan dan HAM di Rusia sendiri.
Situasi yang memburuk di Afghanistan memaksa pemerintahan baru bekerja sama dengan Moskow yang hampir berganti pemerintahan.
Beberapa bulan terakhir, jalur suplai utama NATO melalui Pakistan kian tak aman, membuat AS terpaksa mencari rute lain melalui Asia Tengah.
Pada 20 Februari lalu, militer AS mengumumkan pihaknya akan mengangkut suplai melalui Uzbekistan dan Tajikistan. Tapi rute ini membutuhkan kerja sama dengan Rusia. Moskow beberapa kali menyatakan akan mengizinkan suplai NATO non-lethal (senjata yang tidak memetikan) melewati wilayahnya.
Kesediaan kerja sama ini, bagaimanapun, diingkari oleh pernyataan Kyrgyztan awal bulan lalu bahwa mereka berencana mengusir AS dari pangkalan udara Manas, pusat logistik penting mereka di Afghanistan. Presiden Kyrgyztan Kurkmanbek Bakiyev kali pertama mengumumkan keputusan itu di Moskow hanya beberapa jam setelah Rusia setuju memberikan paket pinjaman dan bantuan sebesar dua milyar dolar kepada negara tersebut. Para pengamat pun berkesimpulan, tekanan Rusia-lah yang menjadi pemicu penutupan pangkalan tersebut.
AS juga membutuhkan bantuan Rusia untuk menghentikan program nuklir Iran, dan menyatakan bahwa missile defence system semata-mata untuk mencegah serangan Iran. Tapi sejauh ini, Rusia menunjukkan sedikit kemauan untuk bersikap lebih keras terhadap Tehran.
Dengan menjadikan Afghanistan dan Iran sebagai prioritas utama dalam kebijakan luar negeri pemerintahan baru ini, para pengamat berharap Obama lebih serius ketimbang Bush dalam membuat konsesi guna mempererat kerjasama dengan Rusia.
Tapi beberapa pejabat yang ditunjuk Obama bisa saja menahan segala upaya untuk mencapai penyesuaian pragmatis. Timnya, termasuk sejumlah tokoh utama yang condong menggunakan kekuatan AS secara agresif untuk mendukung demokratisasi, bersikap skeptis terhadap pengaruh Rusia atas negara-negara bekas Uni Soviet, dan mengkritik keras sistem pemerintahan dan HAM di Rusia.
“Sayangnya, kebijakan luar negeri yang benar-benar multilateral bertentangan dengan gaya diplomasi Clinton/Albright –asal mengambil penasehat-penasehat puncaknya,” tulis analis kebijakan luar negeri Anatol Lieven dalam harian the Nation, Januari lalu. “Hillary Clinton… juga beberapa kolega penting Hillary dan Obama dalam kebijakan mengenai Rusia, punya catatan buruk terkait hubungan AS dengan Rusia.”
Salah satu “penyerang” Rusia dalam pemerintahan Obama adalah Michael McFaul, yang akan memimpin kebijakan mengenai Rusia dan Eurasia di Dewan Keamanan Nasional. McFaul cenderung memandang hubungan ionternasional sebagai perjuangan Manichean antara kebebasan dan tirani. Dalam keyakinannya –yang dinyatakan dalam esainya yang berpengaruh pada 2002 berjudul “Doktrin Kebebasan”– AS harus bertindak lebih agresif untuk menghapus rezim tirani.
Beberapa tahun terakhir, dia melontarkan kritik blak-blakan atas apa yang disebutnya sebagai model pemerintahan otoritarian Putin.
Sejumlah tokoh dalam pemerintahan Obama, termasuk Direktur Perencana Kebijakan Anne-Marie Slaughter dan duta besar untuk NATO Ivo Daalder, adalah pendukung utama Concert of Democracies sebagai alternatif bagi PBB dan NATO. Ide ini mengemuka saat kandidat presiden dari Republik Senator John McCain mengadopsinya, atas pengaruh penasehat neokonservatifnya, Robert Kagan.
Kagan berpendapat bahwa abad ke-21 akan didominasi oleh perjuangan antara kekuatan demokrasi (dipimpin AS) dan otoritarianisme (dipimpin Rusia dan China). Liga Demokrasi-nya disusun secara eksplisit sebagai salah satu cara melawan kekuatan Rusia. Banyak realis kebijakan luar negeri menolak ide itu karena terpaku pada pendekatan yang sangat moralis dan konfrontatif untuk berhubungan dengan Rusia.
Panel di Brookings mengindikasikan, perbedaan pandangan gaya neokonservatif Bush dengan liberal Obama tak begitu lebar.
Pidato Kagan dalam pertemuan itu sangat tajam seperti yang diduga. Dia mengingatkan “konsekuensi serius” jika AS gagal menghukum Rusia atas aksinya selama perang Georgia. Dia juga menuduh pemerintahan Obama “terlalu mencemaskan pandangan Rusia” dalam berhadapan dengan Moskow.
Para pengamat mengharapkan sikap lebih moderat dari Talbott. Dia telah lama jadi orang kepercayaan Clinton, dan diharapkan bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri Hillary Clinton mengenai Rusia, ya atau tidaknya dia akhirnya kembali ke Departemen Luar Negeri.
Tapi Talbott segera menekankan bahwa dia “tak begitu setuju” terhadap pidato Kagan yang keras.
Jika mungkin, dia ingin memprotes Kagan, dengan memperingatkan bahwa UU “kompatriot” yang diusulkan Rusia justru akan mengingatkan pada justifikasi yang dipakai ekspansionisme Nazi pada 1930-an dan mengatakan bahwa Rusia yang otoriter mungkin menjadi Rusia yang agresif.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar