13 Maret 2009

Polisi Bidik Situs yang Menghina Raja

Oleh Marwaan Macan-Markar
Sindikasi Pantau

JIKA UU lese-majeste (penghinaan terhadap raja) drakonian negara ini kurang keras, polisi Thailand punya senjata lain: UU kejahatan komputer (cyber crime), untuk membatasi ruang kebebasan berekspresi.
Jumat lalu, sebuah kemunduran terjadi di negara di Asia Tenggara ini. Polisi menggerebek kantor Prachata” –sebuah situs berita alternatif yang populer– di Bangkok dan menangkap editornya, Chiranuch Premchaiporn.
Dia dituduh melanggar pasal 15 UU lese-majeste, yang diberlakukan secara paksa pada 2007, ketika negara ini berada di dalam cengkeraman junta militer, yang merebut kekuasaan setelah kudeta militer September 2006.

Dengan pasal itu, para moderator situs web seperti Chiranuch menghadapi ancaman hukuman kurungan bila situs mereka menampilkan tulisan-tulisan yang dianggap "mengancam keamanan nasional" dan tak menghilangkannya dengan segera. Komentar yang menodai citra kerajaan, sebuah tindakan penghinaan terhadap raja, juga dianggap sebagai pelanggaran yang sama.
Yang memicu penangkapan itu adalah sebuah komentar di message board “Prachatai” pada 15 Oktober tahun lalu. Polisi menuduh situs itu membiarkan komentar itu selama 20 hari. Komentar itu dianggap mengacu pada keluarga kerajaan.
"Itu sebuah posting panjang (dalam bahasa Thai) penuh metafor. Tak jelas apakah ia melanggar UU lese-majeste atau tidak," ujar Chiranuch, berusia 42 tahun, yang dibebaskan dengan jaminan, kepada IPS.
"Saya terkejut ketika membaca surat perintah penahanan. Saya tak menyangka," ujar editor situs web yang diluncurkan pada 2004 untuk menyajikan berita dan komentar yang dihindari media cetak dan media penyiaran mainstream.
"Penangkapannya menimbulkan ketegangan komunitas internet di Thailand," ujar Supinya Klangnarong, aktivis hak-hak media yang mengepalai Thai Netizens Network, sebuah kelompok yang memperjuangkan hak-hak pengguna internet. "Jika masyarakat Thailand tak bisa mendapatkan kebebasan alami internet, kita menghadapi masalah besar."
"Terlalu berlebihan menggerebek kantor berita dan menggelandangnya ke kantor polisi," ujar Supinya dalam wawancara dengan IPS. "Kami tak ingin melihat orang dipenjara karena menggunakan internet."
Penahanan Chiranuch, yang bisa dipenjara selama lima tahun jika terbukti bersalah, menunjukkan gejala tak menyenangkan. Sebelumnya empat warga Thailand lain juga dituntut atas kejahatan dunia maya. "Mereka pengguna internet individual; sementara Chiranuch adalah moderator situs berita online pertama yang dituntut," ujar Supinya.
Ini belum semuanya. Kementerian Informasi dan Komunikasi menyebutkan, 2.300 situs web telah ditutup karena menampilkan komentar-komentar yang menodai citra kerajaan dan lebih dari 400 situs web lainnya masuk dalam daftar yang terancam penutupan.
Kementerian Kehakiman mengungkapkan, lebih dari 10.000 situs web telah dipantau terkait pemuatan komentar-komentar yang mencemarkan nama baik kerajaan. Menurut laporan, pemerintah juga telah menginvestasikan 1,28 juta dolar AS untuk membangun firewall internet guna menghalangi situs-situs web yang memuat komentar antimonarki.
Iklim ketakutan dan sensor ini memicu reaksi keras dari banyak pihak. Pada 4 Maret, lebih dari 50 cendekiawan internasional menggelar kampanye yang menyerukan penghentian "penyalahgunaan UU lese-majeste", karena "menyebabkan kemerosotan kebebasan sipil yang mendasar."
"Tolong hentikan segala upaya yang menindas hak-hak individu, situs web, dan ekspresi gagasan secara damai," tulis para cendekiawan dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. "Menuntut wartawan, akademisi, dan warga negara lainnya atas pandangan dan tindakan mereka semata-mata karena dugaan bahwa mereka menghina keluarga kerajaan, akan menghalangi diskusi terbuka mengenai isu-isu publik yang publik."
"UU lese-majeste ditafsirkan dan disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab," ujar Thongchai Winichakul, akademisi Thailand yang tinggal di Amerika Serikat, yang mempelopori kampanye itu, dalam sebuah konferensi pers lewat internet. "Pemerintah Thailand meyakini bahwa penindasan total adalah jawabannya."
Para cendekiawan yang mencantumkan nama-nama mereka dalam kampanye itu berasal dari Australia, Inggris, Hong Kong, India, Italia, Belanda, dan Amerika Serikat. Termasuk figur terkemuka Noam Chomsky dan ahli Thailand yang dihormati Charles Keyes.
Sebelum UU kejahatan komputer (computer crime) untuk melindungi citra kerajaan disahkan, UU lese-majeste yang berusia 100 tahun tetap diperlakukan. Siapapun yang terbukti bersalah menghina atau mencemarkan nama baik kerajaan dengan kata-kata atau tindakan akan dihukum penjara maksimal 15 tahun.
Sejak kudeta September 2006, tuntutan atas pelanggaran UU lese-majeste meningkat. Antara lain menimpa seorang filsuf Buddha terkemuka, mantan juru bicara pemerintah, koresponden BBC, dan dua aktivis politik perempuan.
Pada Februari, korban lain UU lese-majeste, Giles Ungpakorn, meninggalkan negeri ini untuk hidup dalam pengasingan di Inggris. Giles, ahli politik Chulalongkorn University di Bangkok, dituduh mencemarkan nama baik kerajaan lewat buku yang ditulisnya setelah kudeta 2006, kudeta ke-18 di Thailand.
Bentuk sensor yang menempatkan Thailand dalam gabungan unik tak hilang dari pantauan pemantau hak-hak media internasional. "Pemerintah Thailand terus menghukum siapapun yang menghina keluarga kerajaan, khusunya Raja Bhumibol Adulyaked yang berusia 80 tahun," ujar Committee to Protect Journalists (CPJ) dalam survei dunia tahunannya, “Serangan terharap Pers pada 2008”.
"Thailand mempertahankan salah satu dari UU lese-majeste terkeras di dunia," ujar CPJ yang bermarkas di New York. "Polisi Thailand juga melakukan penyelidikan terhadap situs-situs web yang isinya dianggap pemerintah berpotensi menghina kerajaan."*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar